Fatahillah | istimewa

Tokoh

Fatahillah, Ulama dan Panglima Perang

Berdirinya Kota Jakarta merupakan upaya Fatahillah saat menaklukkan Sunda Kelapa dari tangan Portugis.

OLEH ALWI SHAHAB

Pada tahun 1511 M, bangsa Portugis merebut Malaka yang merupakan pelabuhan penting dan strategis bagi jalur pelayaran ke Eropa. Bersamaan dengan itu, Portugis juga berhasil menaklukkan daerah Pasai (Aceh).

Keberadaan Portugis bukan saja untuk merebut jalur perdagangan rempah-rempah yang sangat laku di pasar Eropa, tapi juga punya kaitan untuk memperluas pengaruh agama Kristen.

Kala itu, sisa-sisa Perang Salib masih terasa dan negara di Eropa Selatan ini paling gigih memerangi Islam. Pendudukan Portugis terhadap Pasai ini menimbulkan dendam membara di dada seorang pemuda bernama Fatahillah yang juga dikenal dengan nama Falatehan dan Fadillah Khan.

Kebencian yang mendalam kepada Portugis menyebabkan tekadnya untuk mengusir penjajah yang berlaku sewenang-wenang terhadap wilayah dan agamanya. Hal inilah yang menyebabkan Fatahillah menyingkir dari Pasai dan pergi ke Tanah Suci Makkah. Dia menuntut ilmu dan memperdalam pengetahuan tentang agama. 

Tiga tahun lamanya ia menetap dan merantau ke tanah Arab dengan harapan sekembalinya ke Tanah Air, orang-orang Portugis sudah meninggalkan Tanah Pasai. Tapi, kenyataannya, orang-orang Portugis masih berada di sana dan menguasai sebagian besar wilayah Pasai.

photo
Warga berwisata di area Museum Fatahillah Kota Tua, Jakarta, Sabtu (3/4). - (Republika/Thoudy Badai)

Kemarahan Fatahillah makin bergelora dihatinya. Melihat kondisi tersebut, Fatahillah untuk kedua kalinya meninggalkan Pasai dan menuju Jawa. Ia pun mendatangi Kerajaan Islam Demak yang pada masa itu diperintah oleh Raden Trenggono (1521-1526).

Kedatangan Fatahillah disambut baik oleh raja. Bahkan, dia dinikahkan dengan adik perempuannya yang membuat hubungan kekeluargaan bertambah erat. Apalagi, keduanya sama-sama membenci penjajah. Ketika itu, Kerajaan Demak dalam masa kejayaannya. Di bawah pimpinan Dipati Unus (1518-1521), Demak pernah menyerang Portugis di Malaka, namun tidak berhasil. 

Pada masa Trenggono, beberapa daerah di Jawa Barat dapat diislamkan dan langsung berada di bawah kekuasaan Demak. Salah satu yang berjasa dalam segala pencapaian itu adalah Fatahillah. Panglima perang ini juga pernah diutus oleh Raja Trenggono untuk menaklukkan Banten.

Dalam penyebaran Islam ini, para ulama melakukannya dengan damai dan mengajak para resi bertukar pikiran hingga mereka menerima Islam. Penguasa setempat dengan sukarela menyerahkan wilayah Banten yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.

 
Dalam penyebaran Islam ini, para ulama melakukannya dengan damai dan mengajak para resi bertukar pikiran hingga mereka menerima Islam.
 
 

Pada masa itu, Sunda Kelapa (Batavia) yang merupakan pelabuhan penting bagi jalur perdagangan internasional berada di bawah Kerajaan Pajajaran yang berpusat di Pakuan (Bogor). Merasa Islam merupakan rintangan bagi kerajaan yang menganut agama Hindu, kerajaan ini mengadakan perjanjian dengan pihak Portugis—musuh utama Islam dan Kerajaan Demak.

Tentu saja hal ini membuat kecewa Fatahillah. Tanpa ampun, Fatahillah yang juga seorang ulama dan panglima perang ini berusaha keras untuk menguasai Sunda Kelapa. Ketika armada Portugis berlabuh di Sunda Kelapa, tanpa mengenal ampun Fatahillah dan para pejuang Islam berhasil mengusirnya.

Ketika itu, panglima perang pasukan Portugis adalah Fransisco De Silva. Kekalahan itu merupakan duka besar bagi Portugis. Mereka pun kembali ke Malaka—peninggalannya yang sampai saat ini masih kita dapati di negara bagian Malaysia ini. 

Kalangan sejarawan berbeda pendapat tentang hari ketika Fatahillah mengusir armada Portugis dari Teluk Jakarta. Tapi, beberapa sepakat bahwa peristiwa bersejarah ini terjadi pada Juni 1527. Sedangkan, penetapan 22 Juni 1527 sebagai hari lahir Kota Jakarta berdasarkan pada saat itu merupakan hari kelahiran (maulid) Nabi Muhammad SAW.

Nama Jayakarta oleh Fatahillah didasarkan pada saat penaklukan Kota Makkah dari musuh-musuh Islam. Dalam surah Alfath, disebutkan, Innafatahna laka fathan mubinan. Artinya, “Sesungguhnya, kemenangan ini adalah kemenangan yang sempurna.” Yang sempurna, menurut Fatahillah, adalah “Jayakarta”. Sejak saat itulah, nama Sunda Kelapa diganti dengan nama Jayakarta.

 
Nama Jayakarta oleh Fatahillah didasarkan pada saat penaklukan Kota Makkah dari musuh-musuh Islam.
 
 

Kembali mengenai penetapan Hari Ulang Tahun Jakarta, Hoesein Djayadingrat berpendapat bahwa hari berdirinya Jayakarta adalah 17 Desember 1526. Sedangkan, 22 Juni 1527 merupakan pendapat sejarawan Soekamto.

Setelah berhasil mendirikan kota bandar Jayakarta, Fatahillah atau Fadillah diangkat sebagai bupati Jayakarta oleh Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah atas persetujuan Sultan Demak, Pangeran Trenggono.

Sejak kedudukan Maulana Hasanudin atau Pangeran Sabakingkin, putra Sunan Gunung Jati, dikukuhkan sebagai sultan pada 1552, Jayakarta dianggap bagian dari Kesultanan Banten. Ibu Maulana Hasanudin, yakni Nyai Kawunganten, adalah adik seorang bupati di bawah kerajaan Sunda. 

Falatehan juga dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati. Menurut beberapa ahli sejarah, ia berasal dari Pasai, sebelah utara Aceh. Namun, ada juga yang mengatakan, beliau mempunyai darah keturunan Parsi. Beberapa sejarawan lainnya mengatakan bahwa Sunan Gunung Jati adalah putra dari Raja Makkah (Arab) yang menikah dengan putri Kerajaan Pajajaran (Sunda).

Ada yang memperkirakan, Sunan Gunung Jati lahir tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Lara Santang, putri dari raja Pajajaran, Raden Manah Rasa. Sedangkan, ayahnya Sultan Syarif Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina. 

 
Falatehan juga dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati. Menurut beberapa ahli sejarah, ia berasal dari Pasai, sebelah utara Aceh.
 
 

Di samping itu, Sunan Gunung Jati mempunyai banyak nama, di antaranya Muhammad Nurudin, Syekh Nurullah, Sayid Kamil, Bulqiyah, Syekh Madzkurullah, Syarif Hidayatullah, atau Makdum Jati. Sedangkan, menurut babad-babad (cerita), nama asli Sunan Gunung Jati sangatlah panjang, yaitu Syekh Nuruddin Ibrahim Ibnu Israil, Syarif Hidayatullah, Said Kamil, Maulana Syekh Makdum Rahmatullah. 

Mengenai nama Sunan Gunung Jati, menurut dugaan Prof Hoesin Djajadiningrat, yang dimaksudkan dengan Fatahillah kemungkinan berasal dari bahasa Arab, “Fathan”, dari kata Fath. Hal ini mengingat bahwa dalam tahun 1919, ada seorang naib (semacam penghulu) dari Kewedanaan Singer Lor di Semarang yang bernama Haji Mohammad Fathan. Menurut penyelidikan Dr BJO Schrieke, salah seorang orientalis Barat yang terkenal, nama Falatehan mungkin berasal dari perkataan Arab, Fatahillah.

Menurut Ensiklopedi Nasional, Fatahillah juga dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati, salah seorang dari anggota Wali Songo. Disebutkan, ketika tinggal di Jepara, ia pernah menjadi guru.

Kemampuannya dalam merebut Banten dan pada tahun 1527 menduduki Sunda Kelapa merupakan bukti kehebatan dan strategi perang Fatahillah. Sesudah menaklukkan Cirebon, ia bermukim di atas sebuah bukit jati dan mulai mengembangkan agama Islam.

Ia meninggal dunia pada tahun 1570. Jenazahnya dimakamkan di Gunung Jati, dekat Cirebon. Selain pandai dalam ilmu keagamaan, Fatahillah mahir memimpin dan menjalankan siasat perang. Ia merebut sebagian daerah Banten dari kekuasaan penjajah Belanda. Versi lain menyebutkan, ia adalah menantu Sunan Gunung Jati.

 
Kemampuannya dalam merebut Banten dan pada tahun 1527 menduduki Sunda Kelapa merupakan bukti kehebatan dan strategi perang Fatahillah.
 
 

Dari Demak ke Jakarta

Dalam mengangkat sejarah Fatahillah, sebaiknya kita perlu menelusuri keberadaan Kerajaan Islam Demak. Karena, dari tempat inilah, Fatahillah diangkat menjadi panglima perang. Kemudian, dia berhasil membebaskan Sunda Kelapa dari pengaruh Hindu serta mengusir armada Portugis yang berada di Teluk Jakarta.

Pada awal abad ke-16, Kerajaan Besar Majapahit yang rakyatnya memeluk agama Hindu berada di ujung kemunduran. Raden Fatah sebagai adipati (bupati) Islam di Demak secara terang-terangan memutuskan ikatan dengan Majapahit. Ia mendapat bantuan dari daerah-daerah lain yang sudah lebih dulu memeluk Islam (Jepara, Tuban, dan Gresik).

Raden Fatah adalah anak Brawijaya (raja Majapahit) dari seorang ibu keturunan Cina yang beragama Islam. Ia kemudian mendirikan kerajaan Islam di pantai utara Jawa, dengan Demak sebagai ibu kota. Sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa, Kerajaan Demak menjadi pusat penyiaran agama Islam di pulau itu. Perekonomian utama kerajaan ini adalah perdagangan, khususnya perdagangan antarpulau. Karena itu, Kerajaan Demak merupakan kerajaan maritim.

Kerajaan ini berturut-turut diperintah oleh Raden Fatah, Pati Unus (anak Raden Fatah), dan Sultan Trenggono (saudara Pati Unus). Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya pada masa Sultan Trenggono.

Pada masa pemerintahannya, Demak diproklamasikan menjadi kesultanan. Masjid Agung Demak kemudian dibangun sebagai lambang kekuasaan Islam. Di masjid ini, Wali Songo sering bertukar pikiran mengenai masalah agama. 

Seperti juga mertuanya, Raden Trenggono, ketika menaklukkan bandar Sunda Kelapa, Fatahillah membangun sebuah masjid yang letaknya saling berhadapan dengan keraton. Ketika Belanda menaklukkan Jayakarta dan mengganti namanya menjadi Batavia pada Mei 1619, keraton dan masjid dibumihanguskan. Letaknya kira-kira di Jalan Roa Malaka, tidak berjauhan dengan terminal angkutan Jakarta Kota. 

Disadur dari Harian Republika edisi 6 Juni 2010

Paus Benediktus dan Islam

Dunia Islam sempat disengat pernyataan Paus Benediktus.

SELENGKAPNYA

Nabung Saham

Di antara teknis menabung saham dengan membuka rekening efek terlebih dahulu.

SELENGKAPNYA

Dekat Dalam Doa

Doa merupakan sarana komunikasi spesial antara seorang hamba dengan Tuhannya.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya