Teungku Abi Hanafiah. | DOK IST

Mujadid

Teungku Abi Hanafiah, Sang Alim dari Bumi Serambi Makkah

Tokoh ulama ini berasal dari Aceh dan turut berjuang melawan penjajah.

Aceh melahirkan banyak ulama besar yang berkhidmat untuk syiar Islam. Sebagai pewaris nabi, mereka menyebarkan ilmu dan amal di tengah masyarakat. Pada masa silam, umpamanya, Tanah Rencong memunculkan sejumlah alim yang masyhur.

Sebut saja, Syekh Hamzah Fansuri, Syamsudin al-Sumatrani, Nuruddi ar-Raniri, dan Abdul Rauf al-Singkili. Berlanjut pada era kolonialisme Barat di Nusantara, sejumlah tokoh Aceh berkiprah di dunia dakwah. Di antaranya adalah Teungku Abi Hanafiah bin Abbas.

Namanya mungkin tidak sepopuler ulama-ulama besar yang berdakwah pada masa Kesultanan Aceh. Namun, jasa dan pengabdiannya untuk umat dan bangsa tidak bisa dipandang sebelah mata. Perannya cukup besar khususnya dalam bidang pendidikan Islam.

 
Namanya mungkin tidak sepopuler ulama-ulama besar yang berdakwah pada masa Kesultanan Aceh.
 
 

Teungku Abi Hanafiah merupakan seorang pimpinan Dayah Mudi Masjid Raya Samalanga. Sosok yang biasa dipanggil Teungku Abi itu lahir di Aceh. Akan tetapi, tanggal dan tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti.

Ia adalah putra Teungku Abbas, seorang dai keturunan Arab. Nasabnya bersambung hingga seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar ash-Shiddiq. Di tengah masyarakat, bapakanya itu merupakan pendakwah yang alim dan rendah hati.

Teungku Abi memulai pendidikannya dengan belajar agama Islam pada Teungku Chik Di Pasi. Madrasahnya berlokasi di Ie Leubeu, Kecamatan Kembang Tanjong, Pidie. Hingga usia belasan tahun, ia melakukan rihlah keilmuan. Di antara guru-gurunya ketika itu adalah Teungku Idris di Tanjongan, Kecamatan Jangka, Bireuen.

Gurunya itu memiliki seorang putri yang bernama Juwairiah. Teungku Abi kemudian dijodohkan dengan gadis tersebut. Dari pernikahannya dengan anak Teungku Idris itu, dirinya dikaruniai enam anak. Mereka adalah Amanuddin, Badriah, Mahyeddin, Jalaluddin, Fatimah, dan Aisyah.

Pada masa awal pernikahannya, Teungku Abi sempat merasa malu kepada kedua mertuanya. Mereka dipandangnya begitu alim, sedangkan dirinya hanyalah seorang dengan keterbatasan ilmu.

Pernah pada suatu hari, sang ibu mertua yang bernama Ummi Fatimah menegurnya. Sebab, Teungku Abi dinilai keliru saat membaca salah satu bagian dari kitab Alfiyah. Pelafalan yang dilakukannya belum sesuai dengan kaidah ilmu nahwu. Ia pun merasa malu.

Sejak saat itu, Teungku Abi menguatkan niat dan tekadnya untuk dapat meneruskan pendidikan. Ternyata, doa dan harapannya mewujud. Beberapa tahun kemudian, ia berkesempatan untuk pergi ke Makkah al-Mukarramah untuk menunaikan ibadah haji.

 
Beberapa tahun kemudian, ia berkesempatan untuk pergi ke Makkah al-Mukarramah untuk menunaikan ibadah haji.
 
 

Tentunya, hal itu pun dimanfaatkannya untuk menimba ilmu kepada para syekh di Tanah Suci. Selama di kota kelahiran Rasulullah SAW tersebut, Teungku Abi belajar dengan penuh ketekunan. Hasilnya, ia mengambil berbagai sanad keilmuan. Dalam hal tasawuf, misalnya, ia memperoleh ijazah tarekat dari Sayyid Abu Bakar Syatta, pengarang kitab I’anatut Thalibin.

Jalan salik itu di kemudian hari diijazahkan kepada Abu Usman Ali Kuta Krueng atau Abu Kuta. Adapun tarekat yang diijazahkan Teungku Abi kepada Abu Seulimum bersanad kepada mertuanya, Teungku Idris.

Begitu kembali ke Tanah Air, Teungku Abi menjadi tokoh yang kian dihormati masyarakat. Ia adalah seorang alim yang sering menjadi rujukan dalam penetapan hukum. Ia adalah ulama yang paling dihormati di wilayah utara dan timur Aceh, sebagaimana dihormatinya Abu Krueng Kale di wilayah barat.

Ketika diadakan acara muzakarah, biasanya Teungku Abi hanya sibuk berzikir. Setelah ada keputusan, peserta muzakarah biasanya akan bermusyawarah dulu dengannya untuk meminta pendapat. Terkadang, mereka harus kembali membahas satu persoalan hingga empat kali sebelum akhirnya mendapatkan persetujuan dari Teungku Abi.

 
Begitu kembali ke Tanah Air, Teungku Abi menjadi seorang alim yang sering menjadi rujukan dalam penetapan hukum.
 
 

Memimpin dayah

Daya Mudi Masjid Raya Samalanga adalah sebuah pesantren yang berlokasi di permukiman Masjid Raya, Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen, Aceh. Teungku Abi memimpin lembaga pendidikan Islam ini. Sebelumnya, nakhoda institusi tersebut adalah kakak iparnya, Teungku Syihabuddin bin Idris.

Dayah Mudi Masjid Raya ini pada mulanya berdiri seiring dengan pembangunan masjid raya setempat. Peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) pada masa kerajaan Aceh. Pemimpin pertama dayah ini adalah Teungku Faqeh Abdul Ghani. Namun, tidak diketahui, berapa lama Teungku Faqeh memimpin lembaga ini dan siapa yang menjadi penerusnya kemudian.

Pada 1927, barulah dijumpai secara jelas catatan tentang kepemimpinan pesantren khas Aceh ini. Pada tahun itu, Dayah Mudi dipimpin oleh al-Mukarram Teungku Syihabuddin bin Idris (1927-1935). Jumlah santri pada masa itu mencapai sekitar 100 laki-laki dan 50 perempuan.

Para santri Dayah Mudi diasuh oleh lima tenaga pengajar lelaki dan dua guru putri. Sesuai dengan kondisi zaman pada masa itu, bangunan asrama hunian para mukimin merupakan barak-barak darurat. Struktur itu dibangun dari bahan bambu dan rumbia.

Setelah Teungku Syihabuddin wafat pada 1935, barulah Dayah Mudi dipimpin oleh Teungku Abi Hanifiah. Ia termasuk adik ipar Teungku Syihabuddin. Pada awal masa kepemimpinannya, tidak banyak perubahan yang diterapka pada . Pembangunan asramanya masih berbentuk barak-barak darurat.

 
Jumlah santri pada masa Teungki Abi bertambah yang dulunya 100 orang kini 150 santri. Adapun jumlah santriwatinya mencapai 50 orang.
 
 

Kendati demikian, jumlah santri pada masa Teungki Abi bertambah yang dulunya 100 orang kini menjadi 150 santri. Adapun jumlah santriwatinya mencapai 50 orang. Artinya, ada perubahan yang cenderung berbeda dari zaman sebelumnya, ketika masih dipimpin oleh Teungku Syihabuddin.

Dalam masa kepemimpinan Teungku Abi Hanafiah, tugas memimpin dayah sempat diperbantukan kepada Teungku M Shaleh selama dua tahun. Karena, pada saat itu Teungku Abi berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah Haji dan menimba ilmu pengetahuan.

Meskipun jumlah muridnya tidak terlalu ramai, banyak dari murid Teungku Abi yang di kemudian hari menjadi ulama terkenal. Di antara mereka adalah Abon Aziz, Teungku Muhamad Shaleh, Abu Seulimum, dan Abon Muhammad Amin Arbi Tanjongan. Kemudian, ada pula Teungku Muhammad Jamil, Teungku H Abdul Muthalleb, dan Abu Kuta Krueng.

Di samping itu, ada juga calon-calon ulama yang belajar pada Teungku Abi di waktu-waktu tertentu. Sebut saja Abu Hamid Arongan yang diamanahkan oleh gurunya, Abuya Jailani, agar selalu mengunjungi Teungku Abi untuk mengambil faidah.

Kemudian ada juga Abu Wahab Seulimum yang sangat mengidolakan Teungku Abi Hanafiah. Hampir setiap pengajian, ia selalu menyebut nama gurunya tersebut. Banyak kenang-kenangan yang ia peroleh pada masa menuntut ilmu di Dayah Mudi dan belajar pada Teungku Abi.

 
Salah satu wasiat Teungku Abi adalah perkataan, “Kamu ketika pulang kampung fokuskan diri untuk mengajar, jangan sibuk mencari kekayaan.”
 
 

Ketika Abu Wahab Selimum marah, anak-anaknya terkadang mengingatkan bahwa Teungku Abi tidak pernah marah. Abu Wahab pun langsung teringat pada gurunya itu. Begitulah kecintaan Abu Wahab yang begitu mendalam kepada sosok gurunya. Salah satu wasiat Teungku Abi adalah perkataan, “Kamu ketika pulang kampung fokuskan diri untuk mengajar, jangan sibuk mencari kekayaan.”

Dikisahkan, pada suatu ketika Abu Wahab pergi membersihkan kebun. Tiba-tiba, tangannya terkena parang. Saat itu, Abu Wahab pun langsung teringat pada nasihat gurunya agar jangan mencari kekayaan. Mulai saat itu, ia tidak pernah lagi berpikir soal mencari rezeki. Ia hanya fokus untuk mengajar seperti yang diwasiatkan oleh Teungku Abi.

Di samping belajar ilmu agama, Abu Wahab juga sempat belajar ilmu bela diri kepada Teungku Abi. Sang guru memang dikenal jago bela diri. Beberapa ijazah tarekat pun diambil dari gurunya itu di Desa Meuko, Ulee Gle. Selain kepada Abu Wahab, ilmu bela diri ini juga diajarkan kepada Teungku Muhammad Jamil.

Menolak pemberontakan

Sejak 17 Agustus 1945, Republik Indonesia merdeka. Aceh menjadi bagian dari negara kesatuan ini. Di Tanah Rencong, Teungku Abi Hanafiah termasuk kalangan yang menolak pemberontakan. Di antara bentuk-bentuk gerakan adalah Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).

Teungku Abi berkeyakinan, tidak boleh ada pemberontakan terhadap pemerintah yang sah. Ketika rapat itu digelar untuk mengambil sikap tentang penentuan nasib Aceh. Kemudian, Abu Hasan Krueng Kalee, Teungku Abi dan beberapa ulama lainnya sepakat agar Aceh mendirikan negaranya sendiri.

Namun, hal itu tidak disetujui oleh Abu Daud Beureueh. Kemudian, Abu Hasan Krueng Kale dan ulama lainnya menawarkan solusi lain bila Aceh hendak dijadikan negara bagian. Yakni, dengan membayar pajak kepada pemerintah Indonesia. Bagaimanapun, lagi-lagi hal itu tidak disetujui Abu Daud Bereueh.

Perbedaan sikap politik ini sempat membuat suasana tegang antara pihak Abu Hasan Krueng Kale, Teungku Abi Hanafiah dengan Abu Daud Beureueh. Ketika Abu Daud Beureueh menggerakkan DI/TII, Teuku Abi menolak untuk ikut terlibat di dalamnya. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh Abu Hasan Krueng Kale.

photo
ILUSTRASI Sisi bangunan Masjid Baiturrahman di Banda Aceh, Provinsi Aceh. - (DOK REP PRAYOGI)

Zuhud dan Dermawan

Teungku Abi Hanafiah dikenal sebagai sosok yang zuhud dan menjalani hidupnya dengan sangat sederhana. Ia kerap mengasingkan diri untuk memfokuskan diri dalam beribadah kepada Allah SWT. Teungku Abi juga sering berpuasa. Saat berbuka, ia pun kerap mengajak santrinya untuk menemaninya.

Teungku Abi juga dikenal sebagai seorang qadi yang dermawan. Jabatan qadi di wilayahnya sedikit lebih besar dari Kantor Urusan Agama (KUA) karena mencakup wilayah Samalanga, Ulim, dan Peudada. Setiap Teungku Abi gajian, banyak masyarakat yang datang ke rumahnya. Karena, mereka sudah tahu Teungku Abi akan membagi-bagikan gajinya kepada masyarakat.

Saat akan pergi ke pasar Samalanga, orang-orang desa biasanya akan menghentikan sepedanya untuk menunggu lewatnya Teungku Abi. Hal ini menunjukkan besarnya penghormatan masyarakat kepada ulama pada masa itu.

Namun, Teungku Abi tidak terlalu mengharapkan kemuliaan di sisi manusia. Karena itu, Teungku Abi sengaja mencari jalan-jalan tikus melalui lorong-lorong rumah agar orang-orang tidak menjadi terganggu dan sibuk menunggu kedatangannya.

 
Teungku Abi sengaja mencari jalan-jalan tikus melalui lorong-lorong rumah agar orang-orang tidak menjadi terganggu dan sibuk menunggu kedatangannya.
 
 

Teungku Abi Hanfiah juga dikenal sebagai ulama yang sangat tawadhu. Ia bahkan tidak merasa malu untuk bertanya kepada murid-muridnya. Biasanya ketika ada persoalan tertentu yang tidak bisa dijawab, Teungku Abi akan mengajak murid-muridnya pergi bersama untuk bertanya kepada Abu Di Ulee Ce'ue yang yang akrab disapa Teungku Arabi.

Salah satu hal yang membuat nama Teungku Abi selalu terdengar hingga sekarang adalah sumur yang didoakannya. Hingga sekarang sumur itu menjadi sumber air minum bagi santri-santri yang belajar di Dayah Mudi Masjid Raya.

Sumur ini didoakan Teungku Abi agar layak diminum oleh santri dan menyehatkan. Dengan adanya sumur itu, santri Dayah Mudi tidak perlu memasak air atau membeli air minum isi ulang. Karena, air sumur tersebut sudah cukup untuk seluruh santri Mudi yang kini berjumlah ribuan.

Teungku Abi Hanafiah bin Abbas wafat pada 1964. Jenazahnya dimakamkan di belakang Masjid Raya Samalanga. Setelah Teungku Abi wafat, Dayah Mudi Masjid Raya sempat ditawarkan untuk dipimpin oleh putranya yang bernama Teungku Amanuddin. Namun, ia menolaknya.

Akhirnya, jabatan pimpinan dayah ini diserahkan kepada Abon Abdul Aziz bin Muhammad Shaleh, yang merupakan menantu Teungku Abi Hanafiah. Teungku Abdul Aziz menikah dengan anak kelima dari Teungku Abi Hanafiah, Fatimah binti Hanafiah. Ia memimpin Dayah Mudi sejak 1964 hingga 1989.

Menanti Jariah Baru Republika

Republika dalam hal ini harus mempersonifikasi dengan Ibnu Khaldun, bukan yang lain.

SELENGKAPNYA

Masjid Al Jabbar Kearifan Islam di Jawa Barat

Al Jabbar menjadi tempat sujud yang memancarkan cahaya kearifan.

SELENGKAPNYA

Perjalanan Penuh Makna

Masih banyak sekali hal yang harus disempurnakan dari perjalanan ini.

SELENGKAPNYA