Warga membaca epaper koran Republika melalui perangkat telepon genggam di Jakarta. | Edwin D Putranto/Republika

Opini

Menanti Jariah Baru Republika

Republika dalam hal ini harus mempersonifikasi dengan Ibnu Khaldun, bukan yang lain.

YUSUF MAULANA; Pensyarah Perpustakaan Samben Yogyakarta, Penulis Buku Mufakat Firasat

Kabar koran Republika akan berhenti hadir dalam format cetak sudah sekian pekan saya dengar. Malahan sejak lama sebenarnya saya harap-harap cemas: seberapa lama koran ini bakal bertahan? Sebagian pihak kerap mengaitkannya dengan disrupsi teknologi yang tidak bisa dihindari.

Sebuah keniscayaan yang tak terelakkan. Mau tak mau, pengelola Republika dari pucuk pimpinan hingga pengambil kebijakan strategis harus memutar otak agar bisa bertahan.

Modal kekuasaan dan koneksi politik ternyata tak bisa mencegah takdir untuk beralih wujud. Dan ini sudah tampak dialami koran-koran lebih senior yang memiliki modal yang sama. Kedekatan di lingkaran kekuasaan yang bahkan sampai menjadi determinan kebijakan redaksi ditempuh beberapa media. Dalam perspektif ekonomi-politik redaksi, pendekatan ini bentuk menjaga eksistensi.

Harus ada sumber daya yang bisa mempertahankan kebesaran diri dan syukur-syukur melebihinya. Alhasil, media-media cetak yang biasa kritis di masa sebelum 2014, setelahnya menjadi bagian dari drama-drama politik, diakui ataupun tidak. Hal yang tak terelakkan pula dialami oleh Republika. Dengan kata lain, Republika bukan satu-satunya yang berakrobat dalam sirkus politik nasional.

 
Dengan kata lain, Republika bukan satu-satunya yang berakrobat dalam sirkus politik nasional.
 
 

Apa daya ternyata pendekatan semacam itu tetap tak kuasa menjaga eksistensi teknologi cetak. Musim semi beralih rupa tak bisa dicegah lagi. Ini tak berarti minat literasi automatis memang meninggi; ini masih perlu diteliti lagi. Rasa-rasanya agak berbeda peta nasib koran atau majalah dengan buku cetak. Sebagai ilustrasi saja, ketika korannya beralih wujud, penerbit Republika masih eksis dan kian produktif. 

Disrupsi memang tak bisa dihindari. Manusia-manusia di zaman ini memang tidak bisa diperlakukan sama seperti dekade sebelumnya. Dan awak elite koran harusnya menyadari hal ini. Bukan dalam soal alih format tampilan belaka tapi yang lebih penting adalah menjaga zeitgeist alias semangat zaman.

Pada sisi ini, ada ketertinggalan yang ironis bahkan paradoks dari awak media cetak. Mereka tak perlu mengecam tabiat media-media daring atau pelbagai platform digital yang disukai massa. Massa memang sudah kadung menghibur diri bahkan hingga mati—kalau meminjam frasa jenaka Neil Postman ihwal pengaruh televisi pada masa jayanya—dengan hiburan YouTube, Instagram, Facebook, dan TikTok, misalnya.

Semestinya durasi pendek massa disikapi dengan politik kebudayaan massa juga. Bukan dengan pendekatan kekuasaan politik. Harus ada apropriasi awak media, termasuk Republika, untuk mengantar sajian literasi yang memang sepadan dengan nalar berpikir dan modus baca massa. Fokuskan ke sana, agenda-agenda literasi dengan serangkaian riset internal sampai menemukan formulasi yang akurat.

 
Semestinya durasi pendek massa disikapi dengan politik kebudayaan massa juga.
 
 

Rasanya situasinya ingatkan pada kemalasan pada para khalifah Utsmani ketika, khususnya, memasuki abad 19 dan awal 20. Mereka bergantung pada kekuasaan Eropa yang sebenarnya beberapa abad terdahulu mengambil inspirasi dari Utsmani.

Maka, saya pribadi menjadi terkesiap begitu Republika edisi koran pamit di halaman “Islam Digest” membahas militer Utsmani. Ini satu wajah yang bertentangan antara kepeloporan dan ketergantungan; inovasi dan taklid; riset dan koneksi. Wajah paradoks ini pula yang banyak terjadi di media-media besar Tanah Air yang belakangan kian sepi pembaca hingga harus menutup lapaknya dan beralih format.

Di salah satu grup WhatsApp saya menerima pesan dari Ahmadie Thaha, salah satu mantan jurnalis Republika era awal. Ia cerita bagaimana mencetuskan gagasan koran ini pada 1995 untuk tampil di jagat maya. Tak selalu mudah, ada penolakan, apalagi infrastruktur internet waktu itu masih minim sekali. Nyatanya, Republika memelopori koran yang hadir di situs internet.

Sama halnya ketika koran beralamatkan di Warung Buncit ini mengenalkan teknologi cetak jarak jauh. Saya yang membaca koran ini sejak hadir pertama kali, saat kuliah di Yogyakarta terbantu sekali dalam hal akses. Cerita koran Jakarta telat di daerah mampu diatasi Republika. Lagi-lagi ini rintisan apik. Jangan tanya soal sajian rubrikasi dan performa visual.

Sebagaimana karya terjemahannya Ahmadie Thaha, Muqaddimah, sekonyong waktu dia cerita  pengalamannya itu ingatkan pada sosok yang akrab dengannya: Ibnu Khaldun. Dalam hal kepeloporan, rasanya tak berlebihan visi peradaban Republika itu sejajar dengan intelektual kelahiran Tunisia ini.  Republika, sampai sekian tahun setelah alaf baru atau awal-awal abad 21, tetap identik dengan inovasi. 

 
Ironisnya, Republika seperti tertinggal akibat tikaman inovasinya.
 
 

Ironisnya, Republika seperti tertinggal akibat tikaman inovasinya. Dia yang memelopori tapi pihak lain yang ‘meniru’ justru mampu mengikuti dan meninggalkan jauh. Sebut saja dalam soal performa sajian di internet, harus diakui Republika harus berjibaku untuk sejajarkan diri dengan para kompetitor media cetak yang belakangan masuk ke internet. Begitu juga dalam soal cetak jarak jauh yang waktu kemunculannya identik dengan Republika.

Republika mengalami stagnasi karena pikatan mitos inovasi pendahulu. Alih-alih ‘melawan’ dengan melahirkan inovasi yang lebih dramatis bahkan revolusioner, malahan masa lalu yang inovatif menjadi belenggu kokoh. Bukan karena tak sanggup tapi karena malas saja, mirip Utsmani yang memilih pragmatis mengadopsi teknologi Eropa tanpa menelusuri soal kompabilitas dan kritik-kritik berbasis riset.

Saya selalu percaya, tiap angkatan nama-nama besar pemimpin redaksi, dari era Parni Hadi, Zaim Uchrowi, Nasihin Masha, dan yang lainnya, ditambah para jurnalis melek literasi dan bernurani, Republika sejatinya selalu bikin terobosan. Diakui atau tidak, entah oleh negeri ini ataukah umat Islam. Inilah chemistry Republika yang harusnya dijaga, terlebih di era kesejajaran produsen teks dan penikmat teks. Relasi redaksi atau penulis dengan pembaca semakin intim, malahan bisa saja pembaca “mematikan” kejeniusan redaksi atau penulis. Sebab, inilah konsekuensi massa kita mendaku diri ada di era yang disebut Tom Nichols: Matinya Kepakaran!

Saya tak percaya pakar-pakar di balik naraso Republika begitu saja mau dibunuh sampai mati oleh pembaca bermodal gawai dengan kecanduan kuota data yang ala kadar tapi minim loterasi autentik. Saya tak perlu ragukan itu karena mereka, para awak Republika di kurun ini, punya basis memadai. Mereka harusnya memanfaatkan kepakaran diri sebagaimana laiknya Ibnu Khaldun. Bukan seperti lakon Lisanuddin Muhammad al-Khatib sang pesaing Khaldun di sisi amir Granada, Muhammad bin Yusuf Abul Hajjaj. 

 
Saya tak perlu ragukan itu karena mereka, para awak Republika di kurun ini, punya basis memadai. 
 
 

Jika Ibnu Khaldun identik dengan inovasi, kecerdikan manuver, keliatan dalam diplomasi, dan kehebatan dalam pengetahuan, sebenarnya Ibnul Khatib tak kalah. Hanya saja, ia tampak inferior di hadapan Khaldun dan kurang lincah bergerak. Di satu referensi justru ia iri pada Khaldun. Republika dalam hal ini harus mempersonifikasi dengan Ibnu Khaldun, bukan yang lain. Utsmani yang gagah dan inovatif seperti era Sulaiman al-Qanuni; bukan Utsmani yang tak lebih “Pesakitan dari Eropa”. 

Maka, modal kekuasaan dan koneksi politik yang dipunyai Republika, harusnya bisa menjadi kekuatan mengarahkan narasi bangsa dan umat. Termasuk dalam kaitan pencerahan umat, tidak terjebak pada zona nyaman yang membelenggu. Identitas sebagai koran umat sepatutnya dikembangkan tak lagi sebagai persoalan identitas formal dam sejarah Republika masa lalu, melainkan juga—dan lebih penting lagi—bagaimana mengajak umat untuk brilian berpikir agar tidak terlalu terjerembap dalam kubangan yang sama.

Misalnya dalam memandang ekstase politik. Umat harusnya santai dalam menyikapi arena politik. Yang harus serius adalah ketika bicara arena pengetahuan. Dan Republika format digital ke depan, memegang saham penting dalam produksi jariah prisma peradaban umat Nabi Muhammad di Nusantara ini.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat