
Fikih Muslimah
Bolehkah Perempuan Pergi Haji Sendirian?
Seorang wanita boleh berhaji bersama teman yang bisa dipercaya.
OLEH IMAS DAMAYANTI
Haji merupakan ibadah wajib bagi yang mampu untuk menunaikannya. Jika laki-laki dapat menunaikan haji dengan seorang diri, tapi bagaimana dengan perempuan. Bolehkah berangkat haji sendirian?
Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid menjelaskan, para ulama saling berselisih pendapat mengenai hukum perempuan berangkat haji seorang diri. Menurut Imam Malik dan Imam Syafii, perempuan tidak harus untuk berangkat haji didampingi mahram atau bahkan harus mengantongi izin suami terlebih dahulu.
Seorang wanita boleh berhaji bersama teman yang bisa dipercaya. Sedangkan, menurut Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, dan pendapat ulama lain, keberadaan mahram atau izin suami merupakan syarat wajib. Namun, menurut Imam Ahmad dalam versi pendapatnya yang lain, muhrim termasuk syarat sunah bukan wajib.
Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman untuk bepergian, kecuali bersama mahram.HR BUKHARI DAN MUSLIM
Silang pendapat para ulama ini karena ada pertentangan antara perintah haji dan larangan kepada seorang wanita bepergian selama tiga hari tanpa didampingi mahramnya. Itulah yang ditetapkan dari riwayat hadis Abu Said al-Khudri, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, dan Ibnu Umar.
Rasulullah SAW bersabda, “La yahillu li-imroatin tu'minu billahi wal-yaumil-akhiri an tusaafiro illa ma'a dzi mahramin.” Artinya, “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman untuk bepergian, kecuali bersama mahram”. (HR Bukhari dan Muslim).
Sebagian ulama berpendapat, seorang wanita boleh pergi haji, walaupun ia tidak disertai mahram. Ulama memerinci masalah itu dengan dalil hadis tadi. Menurut mereka, seorang wanita tidak boleh pergi haji tanpa didampingi mahramnya.

Kapan ibadah haji diwajibkan?
Para ulama juga saling berselisih pendapat tentang waktu ibadah haji. Yang jelas, menurut murid-murid Imam Malik dari generasi belakangan, boleh ditunda. Sementara, menurut para ulama Baghdad dari murid-murid Imam Malik, harus seketika.
Dalam masalah ini, pendapat Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya membangun pendapat yang beragam. Namun, menurut pendapat yang populer di kalangan mereka, harus seketika. Menurut Imam Syafii, tidak harus seketika, tetapi dilonggarkan. Dasar ulama-ulama yang berpendapat itu longgar ialah, sesungguhnya ibadah haji baru diwajibkan dua tahun sebelum Nabi Muhammad SAW menunaikannya.
Seandainya harus seketika, tentu Nabi Muhammad tidak akan menundanya. Kalau tertunda karena ada uzur, tentu dia akan menjelaskannya. Sementara, alasan ulama yang berpendapat kewajiban haji itu seketika ialah bahwa waktu pelaksanaan haji itu terbatas. Sama seperti waktu shalat.
Bagi orang yang sudah mampu, ia berdosa jika tidak menunaikan haji seketika. Menurut mereka, beda antara haji dan shalat ialah bahwa kewajiban haji itu berulang-ulang sesuai dengan berulang-ulangnya waktu, sedangkan kewajiban shalat itu berulang-ulang sesuai dengan berulang-ulangnya waktu.
Pemerintah Indonesia mengatur pelaksanaan ibadah haji. Pemerintah menjelaskan bahwa haji berhukum wajib untuk mereka yang belum melaksanakan ibadah tersebut. Itu pun dengan syarat ada kemampuan, baik harta maupun kesehatan. Sementara, mereka yang sudah melaksanakan haji dihukumi sunah untuk melaksanakan haji berikutnya.
Zaman Baru, NU, dan Republika
Republika telah relatif berhasil menempatkan diri sebagai media massa yang menyuarakan Islam yang damai dan berkeadaban.
SELENGKAPNYAMenapak Dunia Baru
Menapaki dunia baru bagi Republika digital merupakan pilihan berani yang niscaya.
SELENGKAPNYA