
Resonansi
Sepak Bola dan Benturan Peradaban
Kalau negara-negara Barat terus berlaku sebagai penjajah, bersiaplah terjadinya benturan peradaban.
Oleh IKHWANUL KIRAM MASHURI
OLEH IKHWANUL KIRAM MASHURI
Kasihan betul nasib tiga punggawa tim sepak bola Prancis: Aurelien Thcouameni, Kingsley Coman, dan Randal Kolo Muani. Mereka dinilai sebagai penyebab kegagalan Prancis jadi juara dunia untuk ketiga kalinya, saat kalah melawan timnas Argentina dalam pertandingan final Piala Dunia di Qatar beberapa hari lalu.
Ketiganya tentu sedih amat dalam. Thcouameni dan Coman gagal melakukan tendangan penalti. Sedangkan Muani tidak berhasil memanfaatkan peluang emas saat perpanjangan waktu. Argentina akhirnya tampil sebagai juara Piala Dunia untuk ketika kalinya setelah menang penalti atas Prancis 4-2.
Gagal di final tentu menyedihkan, termasuk bagi Thcouameni, Coman, dan Kolo Muani. Namun, yang lebih menyedihkan, warna kulit dan asal-usul keluarga mereka pun ikut dibawa-bawa, jadi objek bullying — diejek, dihina, dan diremehkan — di media sosial.
Ketiga pemain tim Prancis ini memang berkulit hitam. Orang tua Aurelien Thcouameni berasal dari Kamerun, sementara bapak-ibu Kolo Muani keturunan Kongo. Sedangkan Kingsley Coman keturunan penduduk asli Guadeloupe, yang merupakan pulau jajahan Prancis di antara Samudera Atlantik dan Laut Karibia.
Pelecehan rasial serupa juga pernah dialami oleh trio timnas Inggris yang berkulit hitam, yakni Marcus Rashford, Jadon Sancho, dan Bukayo Saka. Hal tersebut akibat ketiga pemain itu dianggap tidak mampu mengeksekusi tendangan penalti, yang jadi biang kerok atas kekalahan di final Euro 2021 lawan Italia.
Bukan hanya yang berkulit hitam yang menerima penghinaan rasial, punggawa timnas Maroko pun mengalami hal serupa.
Bukan hanya yang berkulit hitam yang menerima penghinaan rasial, punggawa timnas Maroko pun mengalami hal serupa. Soren Liebert, penyiar stasiun televisi Denmark, TV 2 News, menyamakan para pemain Maroko dengan keluarga monyet, ketika merayakan kemenangan bersama para ibu mereka.
Penyiar itu tak lupa juga menyertakan foto keluarga monyet yang sedang berpelukan ketika menyiarkan Hakimi dan beberapa rekannya yang memeluk dan mencium ibu mereka saat merayakan kemenangan 1-0 atas Portugal di perempat final Piala Dunia di Qatar beberapa hari lalu.
Di Jerman, sebuah saluran televisi ‘Welt’ juga mendapat berbagai kritikan dari para aktivis media sosial, saat membuat laporan yang mengaitkan para pemain timnas Maroko dengan kelompok teroris ISIS. Laporan yang tayang pada 12 Desember 2022 itu menampilkan foto tiga pemain timnas Maroko, yang membawa bendera negara mereka dan mengacungkan jari telunjuk di ruang ganti, setelah mereka mengalahkan Portugal 1-0.
Penyiar itu menyatakan, cara merayakan kemenangan seperti itu telah membuat marah dan sangat provokatif. Ia beralasan orang-orang ISIS ketika berhasil menguasai suatu daerah juga mengangkat jari telunjuk ke atas sebagai tanda kemenangan.
Sejak laporan itu ditayangkan, berbagai kritik pun bermunculan dari aktivis media di banyak negara. Intinya, laporan itu menunjukkan ‘rasisme, kebodohan, dan sikap superioritas’. Mereka mengatakan, banyak orang yang merayakan kemenangan dengan mengangkat telunjuk tangan, namun ketika dilakukan orang Islam, langsung dicap sebagai teroris.
Masih dari Jerman, Mesut Ozil yang telah membawa Der Panzer menjadi juara Piala Dunia 2014, pun mendapat perlakuan rasis dan diskriminatif, hanya karena dia berdarah Turki.
Bukan hanya itu, surat kabar Jerman ‘Taz’, sebagaimana dilaporkan Aljazeera.net, juga menunjuk para pemain Maroko sebagai ‘anti-Semitisme’. Ini lantaran para pemain ‘Singa Atlas’ dan pendukungnya sering mengibarkan bendera Palestina selama pertandingan Piala Dunia di Qatar.
Masih dari Jerman, Mesut Ozil yang telah membawa Der Panzer menjadi juara Piala Dunia 2014, pun mendapat perlakuan rasis dan diskriminatif, hanya karena dia berdarah Turki. Padahal sejumlah prestasi telah dihadirkannya untuk Jerman.
Setelah membawa Der Panzer finis di peringkat ketiga Piala Dunia 2010, Ozil mengantar Jerman juara Piala Dunia 2014. Saat itu, dia tercatat sebagai salah satu pahlawan Jerman di ajang tersebut. Sayang, empat tahun kemudian situasi berubah karena Ozil berfoto bersama Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Saat itu, Der Panzer sedang melakukan persiapan jelang Piala Dunia 2018.
Karena foto tersebut, Ozil mendapat perlakuan rasis dan diskriminatif. Bahkan, organisasi sepakbola Jerman DFB (Deutscher Fussball-Bund) menjadikannya kambing hitam tersingkirnya Jerman pada fase grup Piala Dunia 2018. Kesal mendapat perlakuan itu, Ozil memilih pensiun dari Timnas Jerman.
“Perlakuan yang saya terima dari DFB membuat saya tak mau lagi mengenakan kostum Timnas Jerman,” tulis Ozil di Twitter pribadinya kala itu. “Saya merasa tak diinginkan. Dan saya merasa apa yang saya raih sejak debut pada 2009 telah dilupakan.”
Perlakuan diskriminatif dan rasial terhadap para pemain sepak bola berkulit hitam atau keturunan imigran, jelas menggambarkan sifat dan sikap asli masyarakat di negara-negara Barat.
Ozil pun bingung kenapa perlakuan seperti dirinya tak diterima pemain keturunan lain seperti Lukas Podolski atau Miroslav Klose yang punya darah Polandia-Jerman.
”Apa yang salah jika saya Jerman-Turki? Karena Turki? Karena saya Muslim? Saya lahir dan sekolah di Jerman, jadi kenapa orang tak menerima saya sebagai orang Jerman?” katanya. “Saat juara, saya dianggap pahlawan. Saat kalah saya diperlakukan sebagai imigran.”
Perlakuan diskriminatif dan rasial terhadap para pemain sepak bola berkulit hitam atau keturunan imigran, jelas menggambarkan sifat dan sikap asli masyarakat di negara-negara Barat, meskipun beberapa pihak yang terkait telah meminta maaf.
Sikap dan sifat asli yang terlahir dari identitas budaya, termasuk agama suatu masyarkat. Inilah yang disebut ilmuwan politik Samuel Huntington, akan menjadi sumber konflik utama di dunia pasca-Perang Dingin. Huntington menyebutnya sebagai benturan peradaban atau clash of civilizations.
Benturan peradaban yang gendangnya telah ditabuh Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan, Josef Borrell, ketika membagi dunia menjadi dua. Yaitu Eropa yang adalah taman sari, dan selebihnya (selain Eropa) adalah hutan belantara (jungle).
Dia melanjutkan, hutan belantara (penghuninya) dapat menyerang taman, dan tukang taman harus merawatnya, tetapi mereka tidak akan melindungi taman dengan membangun pagar.
“Eropa adalah taman, kami telah membangun taman, kombinasi terbaik dari kebebasan politik, kemakmuran ekonomi, dan kohesi sosial yang dapat dibangun oleh umat manusia… Selebihnya (selain Eropa), sebagian besar dunia, adalah hutan belantara,” kata Borrell pada Oktober lalu.
Dia melanjutkan, hutan belantara (penghuninya) dapat menyerang taman, dan tukang taman harus merawatnya, tetapi mereka tidak akan melindungi taman dengan membangun pagar. Taman kecil yang indah dikelilingi oleh tembok tinggi untuk mencegah (serangan penghuni) hutan tidak akan menjadi solusi… Tukang taman harus pergi ke hutan, orang Eropa harus lebih terlibat dengan seluruh dunia. Jika tidak, seluruh dunia akan menyerang Eropa.
Yang harus disadari adalah taman sari negara-negara Eropa itu, antara lain dibangun dari hasil mengeruk kekayaan negara-negara jajahan di Asia dan Afrika selama ratusan tahun. Negara-negara jajahan asal dari sejumlah pemain sepak bola top di dunia tadi. Kini pun negara-negara Barat terus berusaha untuk ‘menjajah’ negara di Afrika dan Asia dengan cara lain: penguasaan ekonomi.
Itulah sebabnya kita setuju dengan apa yang dikatakan anggota Pokja Hilirisasi Mineral dan Batubara Kadin, Djoko Widajatno: beberapa pihak yang menggugat Indonesia ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) atas larangan ekspor bijih nikel adalah anggota Uni Eropa yang pernah menjajah Indonesia di masa lampau. Oleh sebab itu, sikap yang dilakukan Uni Eropa tersebut hampir mirip seperti apa yang dilakukan VOC di masa penjajahan Belanda di Indonesia.
Jadi, kalau negara-negara Barat terus berlaku sebagai penjajah, bersiaplah terjadinya benturan peradaban, seperti dikatakan Huntington.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Traveling tak Sempat Shalat Jumat, Apa Hukumnya?
Musafir memiliki keringanan untuk tidak melaksanakan shalat Jumat.
SELENGKAPNYABolehkah Muslim Masuk Gereja?
Bagi mazhab Hanabilah, seseorang boleh masuk gereja secara mutlak.
SELENGKAPNYASuami Minum ASI Istri, Bagaimana Hukumnya?
Para ulama berselisih pendapat soal boleh tidaknya suami meminum ASI dari istri sendiri
SELENGKAPNYA