Anggota kepolisian bersama TNI berjaga di depan Gereja Katedral, Jakarta, Jumat (24/12/2021). Penjagaan tersebut untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi umat Nasrani saat melakukan ibadah misa malam Natal. | ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/wsj.

Fatwa

Bolehkah Muslim Masuk Gereja?

Bagi mazhab Hanabilah, seseorang boleh masuk gereja secara mutlak.

Boleh atau tidaknya seorang Muslim mendatangi gereja atau rumah ibadah agama lain menimbulkan pertanyaan di tengah umat Islam. Pendakwah dari Nahdlatul Ulama (NU), KH Muhammad Idrus Ramli, menjelaskan hal tersebut, khususnya mengenai pergi dan memasuki gereja baik ketika ada acara keagamaan maupun tidak.

Kiai kelahiran Jember, Jawa Timur, itu memulai penjelasannya dengan menyebutkan bahwa ada tiga tingkatan hukum yang dijelaskan ulama fikih. Pertama adalah pergi dan memasuki gereja tanpa ada acara keagamaan, misalnya, sekadar ingin tahu dan sebagainya. Dia mengatakan, ini hukumnya makruh.

"Sebagian ulama menghukuminya haram jika di dalam gereja ada gambar atau berhala yang diagungkan oleh mereka," kata dia, dikutip dari kanal youtube Muhammad Idrus Ramli.

Penjabaran tersebut merujuk pada kitab Nasimur Riyadh Fi Syarhi Syifa Qadhi Iyadh karangan Syihabuddin al-Khafaji. Dalam kitab ini dijelaskan bahwa pergi dan memasuki gereja itu tidak kufur, tetapi makruh jika tanpa tujuan yang benar.

photo
Petugas melakukan pengecekan suhu tubuh, pemakaian masker, dan mencuci tangan sebagai bagian pelaksanaan protokol kesehatan (prokes) COVID-19 sebelum melaksanakan ibadah di gereja Hati Kudus, Banda Aceh, Aceh, Minggu (25/7/2021). - (ANTARA FOTO/IRWANSYAH PUTRA)

Tingkatan kedua, yaitu pergi ke gereja atau kelenteng bersama jamaah gereja dengan memakai atribut jamaah gereja dan mencukur bagian tengah kepala seperti jamaah tersebut. Maka, ini hukumnya haram dan murtad atau kufur.

Al-Qadhi Iyadh al-Maliki dalam kitab as-Syifa bi Ta'rif Huquq al-Mustafa mengungkapkan, perilaku demikian merupakan tanda kekufuran, sekalipun pelakunya mengaku sebagai seorang Muslim. "Pendapat al-Qadhi Iyadh itu juga dikutip dan disetujui oleh Imam Nawawi dalam kitabnya, Raudhah al-Thalibin, dan al-Ardabili dalam kitabnya, al-Anwar, yang dikutip oleh Kiai Hasyim Asy'ari dalam kitab Risalah-nya," terang Kiai Idrus.

Tingkatan hukum ketiga adalah menghadiri acara keagamaan di gereja seperti ibadah pekanan atau Hari Raya Natal. Ini hukumnya haram dan menyebabkan seseorang dihukumi kufur dan murtad.

Allah SWT berfirman, "Dan orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka berlalu dengan menjaga kehormatan dirinya." (QS al-Furqan: 72).

 
Dan orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka berlalu dengan menjaga kehormatan dirinya.
QS AL FURQAN: 72
 


Dalam menafsirkan ayat tersebut, Kiai Idrus mengatakan, para ulama salaf seperti Ibnu Abbas, ad-Dhahhak, Qatadah, dan lainnya menyatakan bahwa maksud dari tidak memberi persaksian palsu ialah tidak menyaksikan hari raya orang-orang musyrik.

Al-Imam Fakhruddin ar-Razi dalam at-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib menyampaikan, hal yang termasuk dalam kesaksian palsu adalah menghadiri hari raya orang-orang musyrik dan perkumpulan orang-orang fasik. Sebab, orang yang bercampur dengan orang-orang yang buruk, melihat perbuatan mereka, dan menghadiri perkumpulan mereka, berarti telah berpartisipasi dalam kemaksiatan tersebut.

Hal itu karena kehadiran dan menonton merupakan bukti ridha terhadap keburukan tersebut. Bahkan, menjadi penyebab adanya dan bertambahnya keburukan itu. "Karena yang mendorong mereka melakukan keburukan itu adalah anggapan baik para penonton dan keinginan mereka menontonnya," kata Kiai Idrus menyampaikan pendapat ulama Fakhruddin al-Razi.

Bagi mazhab Hanabilah atau pengikut Imam Ahmad bin Hanbal, seseorang boleh masuk gereja secara mutlak. Dasar yang digunakan adalah ketika Umar bin Khattab diundang kaum Nasrani ke gereja, lalu Umar meminta Ali bin Abi Thalib untuk menghadirinya bersama Muslim yang lain.

Shalat di gereja

Lembaga fatwa Mesir Dar al Ifta menyebutkan, prinsip hubungan antara Muslim dan non-Muslim adalah hidup berdampingan dalam damai. Diperbolehkan bagi Muslim untuk bergaul dengan non-Muslim dengan cara yang tidak bertentangan dengan perintah Allah dan Rasulullah SAW.

Allah pun tidak melarang kita dari men jaga hubungan baik dengan non- Muslim, bertukar hadiah atau tindakan perlakuan baik lainnya. Allah SWT berfirman, "Allah tidak melarang kamu untuk ber buat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyu kai orang-orang yang berlaku adil...." [QS al-Mumtahanah : 8].

Menurut Dar al Ifta, tidak ada larangan hukum untuk mengunjungi gereja dengan tujuan mengadvokasi dan memperkenal kan Islam atau memberikan pujian pada kesempatan tertentu dalam batas-batas syariah. 

Bahkan Dar al-Ifta berpendapat, diperbolehkan untuk shalat di dalam gereja jika sudah tiba waktunya kita berada di sana. Sebelum shalat, hendaknya Muslim itu meminta persetujuan dari penanggung jawab gereja setempat. Adapun membaca, mempelajari dan membahas Alkitab, itu harus dilakukan para sarjana khusus yang fasih dalam poin keraguan dan memiliki alat untuk mengecilkan dialog antaragama.

 
Bumi ini semuanya merupakan masjid. Kecuali kuburan dan kamar mandi.
HADIS
 

Salah seorang ulama Saudi, Abdullah bin Sulaiman Al-Manea, mengungkapkan, jika Muslim bisa melakukan shalat di gereja atau sinagoge. Menurut dia, semua lahan milik Allah SWT. Salah satu hadis Nabi SAW yang berasal dari Abu Sa'id al-Khu dri, "Bumi ini semuanya merupakan masjid. Kecuali kuburan dan kamar mandi."

Anggota Dewan Ulama Senior itu mencontohkan, dalam berhubungan dengan non-Muslim, Rasulullah SAW menerima utusan kaum Nasrani Najran di masjidnya. Di masjid tersebut, kaum Nasrani pun berdoa menghadap ke Yerussalem dan Rasulullah membiarkannya.

Peneliti dari el-Bukhari Institute, Moh Juriyanto menukil kitab al-Adabu al- Syar'iyah wa al-Minah al-Mar'iyah karya Muhammad bin Muflih al-Maqdisi. Kitab itu menyebutkan beberapa pendapat ulama terkait hukum melaksanakan shalat di tempat ibadah non-Muslim. Pertama, menurut Ibnu 'Aqil, melaksanakan shalat di tempat ibadah non-Muslim di nilai sah namun makruh, baik di dalamnya ada patung atau tidak.

photo
Jamaah melaksanakan sholat dzuhur di Masjid Istiqlal, Jakarta, (9/4). Pada Ramadhan tahun ini masjid Istiqlal melaksanakan sholat tarawih dengan membatasi jumlah kapasitas jamaah hanya untuk 2.000 orang atau setara 30 persen dari kapasitas masjid sebanyak 250.000 orang. Prayogi/Republika. - (Prayogi/Republika.)

Kedua, menurut Ibnu Tamim, jika di dalam tempat ibadah non-Muslim tidak ada patungnya, maka boleh memasuki tempat ibadah tersebut dan juga bo leh melaksanakan shalat di da lamnya. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Ibnu 'Ab bas dan Malik.

Mereka berdua tidak memakruhkan shalat di dalam ge reja karena ada patungnya. Ketiga, boleh melaksanakan shalat di tempat ibadah non-Muslim asalkan bersih dan suci. Ini adalah pendapat sahabat Ibn 'Umar dan Abu Musa al-Asy'ari.

Hanya saja Umar bin Khattab pernah menolak shalat di gereja saat menyambangi Baitul Maqdis. Umar yang datang ke Yerussalem setelah Amr bin Ash menaklukkan negeri para nabi itu ditawari shalat di Gereja Makam Suci oleh Uskup Sophronius. Umar menolak. Dia memilih shalat di luar gereja.

Setelah menunaikan shalat, Umar meng ungkapkan, alasan dia tidak mau shalat di gereja karena khawatir jika umat Islam akan mengubah gereja ini menjadi masjid dengan dalih Umar pernah shalat disitu.

Sementara itu, dalam fatwanya, Syekh Yusuf Qaradhawi pun mengungkapkan, pilihan shalat di gereja bisa diambil seandainya memang tidak ada tempat lain atau masjid lain untuk shalat. Namun demikian, Syeikh Qaradhawi merekomendasikan untuk menghindari shalat di rumah peribadatan agama lain karena rawan fitnah.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Arsitek Mimar Sinan dan Karya pada Tiap Era Utsmani

Mimar Sinan mengalami empat masa kepemimpinan khalifah Daulah Utsmaniyah.

SELENGKAPNYA

Sang Arsitek Kebanggaan Utsmani

Arsitek utama Kekhalifahan Utsmani ini memulai kiprahnya di militer Janissary.

SELENGKAPNYA