
Fatwa
Traveling tak Sempat Shalat Jumat, Apa Hukumnya?
Musafir memiliki keringanan untuk tidak melaksanakan shalat Jumat.
Mudahnya transportasi pada masyarakat modern membuat mobilitas manusia makin tinggi. Tidak sedikit pekerja atau pengusaha harus mengerjakan proyek tertentu di tempat yang jauhnya berpuluh bahkan beratus kilometer. Mereka bahkan harus terbang untuk menyelesaikan pekerjaannya dalam waktu harian, pekanan, hingga bulanan.
Demikian para pelancong. Mereka pergi amat jauh dari kediamannya ke beragam tempat di dunia. Pertanyaan pun menyeruak ketika mereka harus melaksanakan shalat Jumat. Bagaimana tentang hukum pelaksanaan shalat wajib pekanan tersebut bagi musafir yang harus bermukim berkala?
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya bernomor 20 tahun 2017 menetapkan hukum tentang penyelenggaraan shalat Jumat bagi orang yang berada di luar daerah untuk waktu tertentu. MUI memandang, fatwa ini perlu dikeluarkan sebagai pedoman bagi orang yang bekerja di suatu daerah untuk waktu tertentu.
Hukum dasar shalat Jumat adalah wajib. Firman Allah SWT dalam QS al-Jumu'ah ayat 9 mengungkapkan, "Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk melaksanakan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu untuk mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."
Hai orangorang yang beriman, apabila diseru untuk melaksanakan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu untuk mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.QS ALJUMU'AH AYAT 6
Meski demikian, Allah SWT juga memberlakukan keringangan berupa izin untuk mengqashar shalat fardhu, bahkan gugur nya shalat Jumat ketika berada dalam bepergian. "Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah bersalah kamu mengqashar shalat, jika kamu khawatir diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya, orang-orang kafir bagimu adalah musuh yang nyata. "(QS an-Nisa: 10).
Hadis dari Jabir RA pun menjelaskan, "Sesungguhnya, Rasulullah SAW bersabda: Siapa saja beriman kepada Allah dan hari akhir, maka ia wajib shalat Jumat pada hari Jumat kecuali orang sakit, musafir, anak kecil, dan hamba sahaya. Siapa saja melalaikan kewajiban Jumat karena sia-sia atau berdagang, maka ia tentu akan diabaikan oleh Allah yang Mahacukup dan Maha Terpuji." (HR Al Baihaqi dan al-Daraquthni).
Hadis lain mengungkapkan praktik Nabi SAW menyelenggarakan shalat Jumat bersama para sahabat di perjalanan. "Dari Ibnu Juraij berkata: Telah sampai kabar kepadaku, sesungguhnya Rasulullah SAW menyelenggarakan shalat Jumat bersama para sahabatnya dalam suatu perjalanan. Sedangkan, beliau mengkhutbahi mereka seraya berpegangan tongkat." (HR Abdur Razzaq dari Ibnu Juraij).
Beberapa ulama berpendapat tentang musafir yang berniat tinggal sementara di suatu tempat. Imam Malik Ibnu Anas dalam Al-Mudawwanah berkata, musafir di darat dan laut adalah sama. Apabila berniat tinggal selama empat hari, dia wajib menyempurnakan shalat dan puasa.

Imam Yahya ibn Abil Khair ibn Salim al-'Umraniy di dalam Al-Bayan Fi Madz ha bil Imam Asy-Syafi'i menjelaskan, apabila musafir bermaksud tinggal sebagai mukim di suatu perkampungan selama empat hari selain hari ketika datang dan pergi, dia mendapat beberapa keringanan ibadah dalam perjalanan. Inilah pendapat Utsman bin Affan, Sa'id ibn al-Musayyab, Malik, dan Abu Tsaur.
Sementara itu, Imam Abu Hanifa ber pen dapat, musafir yang berniat tinggal selama 15 hari termasuk hari datang dan pergi, ia wajib menyempurnakan shalat.
Imam Yahya ibnu Abil Khair ibnu Salim Al-Umraniy di dalam Al-Bayan Fi Madzhab al-Imam Asy-Syafi'i menjelaskan, shalat Jumat tidak sah kecuali di bangunan yang ditinggali secara tetap (istithan) oleh orang yang sah menyelenggarakan shalat Jumat karena shalat Jumat tidak diselenggarakan, baik di zamah Rasulullah SAW maupun khulafaur rasyidin kecuali di bangunan.
Imam Syafi'i berkata, "Meskipun bangunan tersebut dari bebatuan, tanah, ka yu, pohon, pelepah, ataupun dedaunan." Ibnus Shabbagh berkata, "Pemahaman secara lahir, bahwasanya orang-orang yang tinggal di perkemahan tidak wajib shalat Jumat karena perkampungan tempat shalat Jumat disyaratkan terdiri atas bangunan permanen.
Yusuf bin Yahya al-Buwaithiy berkata di dalam kitab susunannya, "Dan jika di sua tu pedalaman terdapat sekelompok orang yang jumlahnya mencapai 40 orang lelaki, merdeka dan baligh, dan rumah-rumah mereka berdekatan, mereka tinggal pada musim dingin dan panas, dan tidak pergi meninggalkannya pada dua musim itu serta tetap menyukainya meskipun tempat lain lebih subur, maka menyelenggarakan shalat Jumat bagi mereka adalah wajib.
Mengenai orang-orang yang tinggal di perkemahan, terdapat dua pendapat. Pertama, shalat Jumat tidak wajib bagi orang-orang yang tinggal di perkemahan karena perkemahan adalah tempat tinggal sementara bagi orang yang bermaksud pergi meninggalkannya (mustaufiz), bukan tempat bagi orang yang tinggal menetap (mustauthin).

Kedua, menyelenggarakan shalat Jumat wajib bagi mereka karena perkemahan itu bisa disebut sebagai tempat tinggal menetap yang sama dengan perkampungan. Apabila pendapat kedua ini dapat diterima, ini sesuai dengan pendapat Imam Syafi'i bahwa di antara syarat desa yang sah untuk diselenggarakan shalat Jumat adalah terdiri atas sekumpulan rumah-rumah.
Atas dasar pertimbangan dalil-dalil tersebut, MUI menetapkan jika musafir memiliki keringanan (rukhsah) untuk tidak melaksanakan shalat Jumat. Namun, tetap berkewajiban melaksanakan shalat Zhuhur. Meski demikian, jika musafir ikut shalat Jumat bersama dengan ahlul Jum'ah, shalatnya sah.
MUI pun berpendapat, penyelenggaraan shalat Jumat yang hanya diikuti oleh musafir tidak sah karena mereka tidak terkena kewajiban. Sementara, musafir yang bermaksud untuk menyelesaikan perjalanannya dengan niat sebagai mukim, dia wajib melaksanakan shalat Jumat dan tidak ada rukhshah safar (keringangan karena perjalanan) untuk meninggalkannya.
Seorang mukim—orang yang tinggal di satu daerah untuk waktu tertentu—wajib melaksanakan shalat Jumat di daerah tempatnya tinggal atau di daerah sekitar yang terdengar azan Jumat.
Apabila di daerah tempat tinggal mukim dan sekitarnya tidak ada penyelenggaraan shalat Jumat, sedangkan jumlah mukim terpenuhi syarat jumlah minimal pendirian shalat Jumat, mereka wajib dan sah untuk menyelenggarakan sendiri shalat Jumat.
Meski demikian, MUI menggarisbawahi jika ketentuan mengenai mukim itu merupakan pendapat satu golongan fuqaha. Sedangkan, ada pendapat lain yang menyatakan tidak wajib dan tidak sah menyelenggarakan shalat Jumat sendiri, tetapi wajib melaksanakan shalat Zhuhur dengan keutamaan berjamaah.
Wallahu a'lam
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Wakaf Hijau Sedang Berkembang
Konsepsi wakaf ini bisa menjadi salah satu alternatif untuk menjamin pelestarian hutan
SELENGKAPNYAOase di Tengah Lahan Sawit
Industri kelapa sawit secara tidak langsung mengundang bencana banjir dan tanah longsor.
SELENGKAPNYASang Arsitek Kebanggaan Utsmani
Arsitek utama Kekhalifahan Utsmani ini memulai kiprahnya di militer Janissary.
SELENGKAPNYA