
Oase
Stijn Ledegen Sang Mantan Ateis yang Raih Hidayah
Mualaf asal Belgia ini semula tidak memercayai agama hingga dirinya berislam.
Allah memberikan petunjuk kepada siapapun yang dikehendaki-Nya. Bagi Stijn Ledegen, kedatangan hidayah Illahi membuatnya seperti terlahir kembali. Mualaf tersebut sangat mensyukuri takdir Allah yang menjadikannya beriman dan berislam.
Lelaki kelahiran Brussels, Belgia, itu menuturkan kisahnya dalam menemukan cahaya Islam. Alumnus program beasiswa Erasmus Mundus tersebut lahir dari sebuah keluarga yang tidak begitu mementingkan agama. Ibunya enggan mengimani kepercayaan apa pun. Bahkan, ayahnya adalah seorang ateis garis keras.
Mengikuti jejak ibundanya yang seorang akademisi, Stijn Ledegen sejak kecil suka membaca banyak buku. Bahkan, bukan sembarang pustaka yang diselaminya. Saat berusia 14 tahun, ia mengaku, sudah akrab dengan tulisan-tulisan para filsuf, termasuk Soren Kierkegaard yang menggagas konsep “lompatan iman” (leap of faith).
View this post on Instagram
Di sisi lain, bapaknya justru memberikan contoh yang kurang begitu baik. Sang ayah kerap kali mengajarkan kepadanya perihal stigma-stigma agama. Stijn kecil pun sering diingatkannya tentang kebanggaan menjadi seorang kulit putih meski secara berlebih-lebihan.
Karena itu, ia sejak masih belia cenderung memiliki pola pikir yang kritis. Pernah suatu ketika, Stijn kedatangan seorang guru yang memeluk Islam. Di kelas, ia sempat menghujani orang Muslim itu dengan berbagai tudingan perihal agama tersebut.
Karena tidak bisa menerima gaya bicara Stijn yang terkesan angkuh, guru itu pun menyuruhnya keluar dari ruangan. Belakangan, kini ketika sudah menjadi Muslim ia menyadari kekhilafannya. Diakuinya sekarang, saat itu dirinya lebih mengedepankan ego daripada cara-cara yang komunikatif dan berakhlak baik.
Saat duduk di bangku SMA, Stijn semakin rajin membaca. Ia sangat menyukai buku-buku yang membicarakan topik jati diri. Dari beberapa pemikiran filsafat yang dijelajahinya, ia pun mengambil kesan bahwa hidup seharusnya memiliki tujuan. Tidak masuk akal bila keberadaan manusia di dunia ini hanya untuk memenuhi kebutuhan materiel.
Saat sedang mengobrol dengan seorang anak, Stijn untuk pertama kalinya merasakan kesadaran religius dan pentingnya bersyukur.
Karena itu, Stijn bercita-cita untuk menjadi seorang yang bermanfaat bagi sebanyak-banyaknya insan. Pemuda itu pun aktif di pelbagai kerja kemanusiaan. Termasuk di antaranya adalah organisasi-organisasi filantropi.
Saat menjadi relawan sebuah lembaga nirprofit, ia berkesempatan mengabdi selama beberapa pekan di Bolivia. Salah satu negara underdeveloped tersebut berlokasi di Amerika Selatan. Di sana, dirinya bertemu dengan anak-anak yatim piatu. Beberapa dari mereka ditinggal mati orang tua yang tewas akibat bencana alam.
Saat sedang mengobrol dengan seorang anak, Stijn untuk pertama kalinya merasakan kesadaran religius dan pentingnya bersyukur. Anak yatim tersebut ketika ditanya perihal kondisinya justru menjawab dengan kata-kata yang menyentuh hati.
“Tuhan memang sudah mengambil ayah dan ibuku. Namun, kepergian mereka itu supaya aku bisa bersama dan selalu mengingat-Nya,” ujar mualaf ini, mengulang kembali perkataan bocah Bolivia itu, saat berbincang dengan Towards Eternity beberapa waktu lalu.

Kembali beragama
Pengalaman itu amat membekas di hatinya. Begitu kembali ke Belgia, Stijn pun memutuskan untuk kembali ke gereja. Ia memilih jalan beragama, alih-alih tetap menjadi ateis seperti ayahanda.
Teman-temannya cukup terkejut dengan keputusannya itu. Sebab, selama ini pemuda tersebut acap kali mengumbar antipati terhadap semua religi. Bukan hanya Islam. Kristen, Katolik, Yahudi, atau bahkan Buddha pun sempat menjadi sasaran “cerca” yang keluar dari lisannya.
Keluarga besarnya pun tidak menyangka bahwa Stijn akan “menyerupai” sifat ibundanya yang kalem dan tidak suka berkonflik. Sang ibu memang ateis pula, tetapi tidak pernah sampai menjelek-jelekkan suatu agama. Anggapannya hanyalah bahwa dalam masyarakat sekuler, kepercayaan adalah urusan pribadi sehingga tidak pantas dibawa ke ranah umum, apalagi negara.
Stijn kini telah menjadi insan yang mengakui kemahakuasaan Tuhan. Namun, hatinya belum benar-benar menerima dogma agama yang sedang dipeluknya itu. Beberapa ajaran membuatnya kerap bertanya-tanya.
Sebagai contoh, ajaran tentang Trinitas. Dalam kitab agama itu pun, tidak jarang penjelasan tentang Tuhan dipersonifikasi. Alhasil, Tuhan digambarkan seperti halnya manusia, yakni bisa tidur dan lain-lain.
Ia pun sempat bertanya kepada seorang pendeta. Namun, jawaban ahli tersebut tidak memuaskan batinnya. Pikirannya tidak bisa menerima bahwa Tuhan disamakan dengan manusia. Beberapa hari kemudian, lelaki yang dapat berbahasa Latin itu melepaskan imannya dan kembali menjadi ateis.
Sampai pada titik ini, kenang Stijn, dirinya mulai merasakan frustrasi. Ia pun tenggelam dalam berbagai kebiasaan buruk, semisal mabuk minuman keras atau bersikap kasar pada orang-orang sekitar. Untungnya, hal itu tidak berlangsung lama.
Dalam masa studi sarjananya, Stijn pada suatu hari diberi nasihat oleh dosennya. Masa muda tidak boleh disiakan agar hidup ke depannya lebih terarah.
Dalam masa studi sarjananya, Stijn pada suatu hari diberi nasihat oleh dosennya. Masa muda tidak boleh disiakan agar hidup ke depannya lebih terarah. Ia pun kembali menata dirinya. Fokusnya hanya untuk belajar.
Kemudian, mahasiswa ini berhasil mendapatkan kesempatan untuk belajar ke Turki. Melalui skema beasiswa, Stijn pun dapat tinggal dengan gratis di sana. Siapa sangka, itulah jalan baginya untuk memperoleh hidayah Islam.
Untuk pertama kalinya, ia merasakan hidup di tengah masyarakat Muslim. Secara resmi, Turki memang merupakan sebuah negara sekuler. Akan tetapi, orang-orang di kota tempatnya tinggal memiliki religiusitas yang cukup tinggi. Tiap waktu shalat, misalnya, banyak di antara mereka yang bergegas ke masjid terdekat.
Stijn tidak seketika terkesima dengan pemandangan tersebut. Ia masih menyimpan antipati pada agama-agama, termasuk Islam. Hingga pada suatu hari, seorang kawannya yang Muslim mengajaknya untuk menerima “tantangan.”

Berawal dari al-Fatihah
Temannya itu—sebut saja Ahmad—mengerti perihal perjalanan hidupnya. Stijn Ledegen yang semula dididik di tengah keluarga ateis sempat kemudian memutuskan untuk beragama. Namun, dirinya kembali meninggalkan kepercayaan karena merasa tidak menemukan jawaban yang memuaskan.
Ahmad tidak menghakiminya, tetapi mengajaknya untuk tidak melakukan generalisasi. “Bagaimana dengan Islam? Tidakkah kamu tertarik untuk mengenalnya?” katanya suatu hari, “aku menantangmu untuk melihat secara dekat agama ini dan mereka yang mengimaninya.”
“Bagaimana caranya?” tanya Stijn.
“Datanglah ke masjid manapun yang kamu mau. Lalu, rasakan atmosfer di dalamnya. Sesudah itu, ceritakan kepadaku.”
Setelah beberapa hari menimbang-nimbang, Stijn akhirnya menerima “tantangan” itu. Namun, hal itu dilakukannya dengan niat untuk membuktikan anggapannya atau, lebih tepatnya, stigma yang diceritakan ayahnya dahulu. Yakni, bahwa Islam adalah agama “asing” (Arab), lekat dengan terorisme, dan sebagainya.
Stijn keesokan harinya pada petang mendatangi sebuah masjid. Begitu berada di dalamnya, ia menyalakan kamera ponsel dan memfoto-foto. Benda itu langsung dimasukkannya ke dalam saku begitu melihat jamaah mulai memasuki masjid, guna mendirikan shalat.
Stijn duduk di belakang. Ia terus menunggu hingga jamaah selesai beribadah, dan sebagian besar dari mereka pulang. Kemudian, ia pun lanjut mengambil gambar.
Stijn terkejut. Tiba-tiba, pundaknya ditepuk seseorang. Saat ia menoleh, tampaklah seorang pria berkulit cokelat dengan penampilan yang—baginya saat itu—mirip simpatisan Alqaidah, yang pernah dilihatnya melalui TV. “Tamatlah sudah riwayatku. Dia pasti akan menghajar atau mengusirku,” orang Belgia itu membatin.
Ternyata, Muslim berjanggut lebat itu menepuk bahunya sembari mengucapkan assalamualaikum. Kemudian, pria itu menyapanya dengan ramah.
Ternyata, Muslim berjanggut lebat itu menepuk bahunya sembari mengucapkan assalamualaikum. Kemudian, pria itu menyapanya dengan ramah dan bahkan memanggilnya “saudara.” “Apa yang bisa kubantu untukmu, Brother?”
Stijn berusaha kalem. Keduanya lalu mengobrol kira-kira setengah jam. Yang dibicarakan seputar dirinya sebagai seorang mahasiswa asal Belgia yang sedang bersekolah di Turki. Kemudian, azan isya berkumandang. Lelaki Muslim itu pamit untuk mendirikan shalat.
“Engkau bisa duduk di dalam perpustakaan masjid ini jika engkau mau. Letaknya ada di sebelah luar tembok ini,” kata pria berjanggut itu, menunjukkan arah.
Rasanya tidak sopan bila langsung meninggalkan masjid ketika itu. Stijn pun berjalan ke arah perpustakaan masjid. Ada banyak bacaan di sana. Secara acak, ia mengambil sebuah buku. Ternyata, itu adalah mushaf Alquran plus terjemahannya.
Ia membuka beberapa lembar pertama. Pandangan matanya terpaku pada al-Fatihah. Pelan-pelan, dibacanya terjemahan surah itu, ayat per ayat. Tanpa terasa olehnya, air mata menetes dan membasahi pipinya. Ateis tersebut merasa amat terharu.
View this post on Instagram
Begitu kembali ke indekosnya, ia terus memikirkan kata-kata yang baru saja dibacanya. Semalaman ia tidak bisa tidur. Keesokan paginya, Stijn berjalan menuju taman kota dengan pikiran dan hati yang galau.
Saat duduk di bangku taman, entah mengapa ia tertarik pada pancaran sinar matahari yang hangat pagi itu. Pohon-pohon, tanaman, jalan, tanah, dan orang-orang—semuanya menerima hangatnya matahari. Aneh, Stijn merasa dirinya tidak tercerahkan.
“Aku pun berpikir, sinar matahari yang hangat ini seperti cahaya dari Tuhan. Aku tidak bisa menikmatinya karena hatiku dingin,” katanya mengenang.
Alih-alih menemui teman yang telah “menantangnya”, Stijn pergi ke masjid yang dikunjunginya beberapa hari silam. Ia kemudian menyampaikan kepada imam setempat perihal keinginannya berislam. Imam tersebut lalu menerimanya dengan baik, serta membimbingnya bersyahadat. Sejak itulah, pria Belgia ini resmi menjadi Muslim.
Islam mengajarkan tauhid. Bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan, dan Dia berbeda daripada makhluk. Ini sangat masuk akal.Stijn Ledegen
Keesokan harinya, Stijn menelepon ibundanya untuk memberitahukan tentang keislamannya. Wanita itu terkejut, tetapi tidak mempersoalkan pilihan hidupnya. Bagaimanapun, ia baru “berani” menyampaikan informasi ini kepada ayahnya beberapa bulan kemudian.
Ketika masa liburan, dirinya kembali ke Brussels. Saat itulah, di hadapan ayah dan ibunya, Stijn menyatakan tentang keislamannya. Bapaknya tidak bisa menerima, dan bahkan mencaci-makinya. Sempat terucap bahwa lelaki ateis ini tidak mau lagi berbicara dengan anaknya tersebut.
Langsung saja istrinya berkata, “Kalau kau tidak mau bicara lagi dengan Stijn, anakmu, aku pun mulai sekarang tidak mau bicara denganmu!”
Suasana hari itu sempat tegang. Bagaimanapun, seiring berjalannya waktu komunikasi di antara anggota keluarga ini sudah seperti sedia kala. Menurut Stijn, kini ayahnya sudah menerima dengan lapang dada keputusannya berislam.
Indonesia Petik Kemenangan Perdana
Shin mengakui, permainan timnas Indonesia memang masih memerlukan banyak evaluasi.
SELENGKAPNYARefleksi Prof Haedar Nashir: Republika 22 Tahun Lalu
Republika berani bertajdid dan berijtihad, sekaligus berjihad jurnalisme ke era baru dunia digital.
SELENGKAPNYAMenjemput Sedekah
Bersegeralah dengan sedekah karena musibah tidak dapat melangkahi sedekah
SELENGKAPNYA