Perdana Menteri Belanda Mark Rutte. | AP/Franc Zhurda | AP/Franc Zhurda

Kabar Utama

Setelah Maaf dari Belanda atas Perbudakan

Praktik perbudakan masih terjadi di Indonesia pada 1932 di Sumba Timur.

OLEH FERGI NADIRA, MABRUROH

Perdana Menteri Belanda Mark Rutte pada Senin (19/12) meminta maaf atas nama pemerintah terkait keterlibatan Belanda di masa lalu dalam perbudakan. Permintaan maaf secara resmi ini mengingatkan kembali brutalnya perbudakan pada masa kolonial di Nusantara.

“Kita dapat mengakui perbudakan dalam istilah yang paling jelas sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan,” kata Rutte selama konferensi pers di Den Haag, dilansir dari Anadolu Agency, Selasa (20/12).

Dia menyatakan penyesalannya bahwa selama berabad-abad negara Belanda mengaktifkan, mendorong, dan mengambil untung dari perbudakan. “Orang-orang telah dimodifikasi, dieksploitasi, dan diperdagangkan atas nama negara Belanda,” tambah Rutte.

Dia mengakui bahwa perbudakan sebagai penderitaan besar yang masih berdampak pada kehidupan masyarakat. “Kita di Belanda harus menghadapi bagian dari masa lalu itu,” kata Rutte. Namun, ia menambahkan bahwa “tidak ada yang hidup sekarang secara pribadi yang harus disalahkan atas perbudakan.”

Dia juga mengakui bahwa negara Belanda memikul tanggung jawab atas penderitaan besar yang ditimbulkan pada orang-orang dan keturunan yang diperbudak. Perdana Menteri kemudian menyerukan untuk bergerak maju dan melakukan percakapan yang sulit tentang masa lalu perbudakan.

Rutte menyatakan keinginannya untuk pengakuan dan pemahaman yang lebih baik menjelang tanggal simbolis, 1 Juli 2023, hari peringatan penghapusan perbudakan di Belanda. Ia mengulangi permintaan maaf dalam bahasa Inggris, Papiamento dan Sranan Tongo, bahasa yang digunakan di kepulauan Karibia dan di Suriname.

“Negara Belanda di Belanda memikul tanggung jawab atas penderitaan besar yang menimpa orang-orang yang diperbudak dan keturunan mereka,” kata Rutte kepada audiensi di Arsip Nasional Den Haag. Sayangnya, Perdana Menteri tak menggunakan bahasa Indonesia.

“Kami, yang hidup di sini dan sekarang, hanya bisa mengakui dan mengutuk perbudakan dalam istilah yang paling jelas sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan,” ujarnya menambahkan.

photo
FGedung Arsip Nasional RIGedung arsip nasional RI di Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat. Gedung itu pada masa kolonial merupakan lokasi merumahkan budak. - (Republika/Raisan Al Farisi)

Menteri Belanda telah melakukan perjalanan ke tujuh bekas koloni di Amerika Selatan dan Karibia untuk acara tersebut. Pekan lalu, Wakil Perdana Menteri Belanda Sigrid Kaag juga mengatakan pada kunjungan resmi ke Suriname bahwa proses permohonan maaf akan dimulai menuju momen lain yang sangat penting pada 1 Juli tahun depan.

Para keturunan korban perbudakan Belanda akan merayakan 150 tahun pembebasan dari perbudakan dalam perayaan tahunan yang disebut ‘Keti Koti’ (Memutus Rantai) di Suriname. Namun rencana tersebut telah menimbulkan kontroversi. Kelompok-kelompok dan beberapa negara yang terkena dampak mengkritik tindakan tersebut sebagai langkah terburu-buru, dan mengatakan kurangnya konsultasi oleh Belanda merupakan sikap kolonial.

Ada juga yang menuntut ganti rugi. Rutte dalam pidatonya Senin mengatakan bahwa memilih momen yang tepat adalah ‘masalah yang rumit’. “Tidak ada satu waktu yang tepat untuk semua orang, tidak satu kata yang tepat untuk semua orang, tidak satu tempat yang tepat untuk semua orang,” katanya.

Belanda mendanai “Zaman Keemasan” kekaisaran dan budaya mereka pada abad ke-16 dan ke-17 dengan mengirimkan sekitar 600 ribu orang Afrika sebagai bagian dari perdagangan budak. Sebagian besar ke Amerika Selatan dan Karibia.

photo
Ilustrasi perbudakan di Indonesia. - (public domains)

Pada puncak kerajaan kolonialnya, Provinsi Bersatu yang sekarang dikenal sebagai Belanda memiliki koloni seperti Suriname, pulau Curacao di Karibia, Afrika Selatan, dan Indonesia, tempat Perusahaan Hindia Timur Belanda bermarkas pada abad ke-17.

Dalam beberapa tahun terakhir, Belanda telah bergulat dengan fakta bahwa museum dan kota bersejarah yang dipenuhi Rembrandt dan Vermeer sebagian besar dibangun di belakang kebrutalan itu.

Tekanan semakin meningkat di dalam negeri dengan kota-kota Amsterdam, Rotterdam, Den Haag, dan Utrecht secara resmi meminta maaf atas perdagangan budak. Rutte telah lama menolak, sebelumnya mengatakan periode perbudakan terlalu jauh ke belakang dan permintaan maaf akan memicu ketegangan di negara di mana sayap kanan tetap kuat.

Masih dipelajari

Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI masih mempelajari permintaan maaf secara resmi dari Perdana Menteri Rutte. “Terkait perkembangan ini masih dimintakan masukan dari KBRI di Den Haag,” kata juru bicara Kemenlu Teuku Faizasyah.

Sementara guru besar Hubungan Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai, Indonesia termasuk korban perbudakan Belanda di masa lalu. “Indonesia termasuk negara yang menerima permohonan maaf tersebut. Tinggal yang tersisa apakah Belanda akan akui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus atau 27 Desember 1949,” katanya.

photo
Gedung gedung tua Kota Tua Jakarta (21/01/1993). - (DOKREP)

Pada kunjungan ke Indonesia, Raja dan Ratu Belanda, Raja Willem Alexander dan Ratu Maxima Zorreguite Cerruti pada 2020, permintaan maaf telah dilayangkan terhadap penjajahan dan penyiksaan rakyat Indonesia.

“Sejalan dengan pernyataan pemerintahan saya sebelumnya, saya ingin menyampaikan rasa penyesalan dan permintaan maaf saya atas kekerasan saat penjajahan pada masa pemerintahan Belanda dahulu,” ujar Raja Willem saat itu.

Tidak istimewa

Sejarawan Anhar Gonggong tak melihat ada yang istimewa dari permintaan maaf Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte. Permintaan maaf itu sebagai suatu hal yang sangat wajar ketika melihat konteks kekinian, di mana penghargaan terhadap hak asasi manusia (HAM) sudah menjadi bagian dari kehidupan.

“Itu hal yang menurut saya wajar saja dia lakukan karena kesadaran baru yang lahir dari dirinya, dari bangsanya, dan sebagainya. Apalagi dalam konteks sekarang, penghargaan kepada HAM itu sangat menjadi bagian daripada proses diri kita untuk diakui sebagai negara modern yang beradab,” ujar Anhar kepada Republika.

Anhar mengatakan, permintaan maaf dikeluarkan setelah melalui berbagai generasi, mulai dari abad ke-15, 16, hingga generasi saat ini. Di mana, pada abad ke-20 dan 21 terlahir kesadaran baru untuk menyatakan tindakan perbudakan tersebut sebagai tindakan yang salah. Dia menyebut, Belanda kemungkinan memiliki beban psikologis dan politis dari apa yang pernah mereka lakukan di masa lampau.

 
Praktik perbudakan masih terjadi di Indonesia pada 1932 di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. 
 
 

Dia menyarankan, pemerintah Indonesia sebaiknya menerima permintaan maaf tersebut. Sebab, mau menerima ataupun menolak, hasil yang didapat akan sama saja. “Kalau sekadar sebagai basa-basi menurut saya katakan saja, ‘ya sudah terima kasih Anda sudah mengakui kesalahan Anda pada masa lampau’,” ujar Anhar.

Anhar menambahkan, praktik perbudakan masih terjadi di Indonesia pada 1932 di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Dia mengaku memiliki gambar seorang wanita yang dianggap sebagai budak. Menurut dia, perbudakan semacam itu terjadi berpindah-pindah, tidak hanya di satu daerah saja.

“Setelah pindah dari tempat ini, lalu ke tempat ini, dijual lagi, dijual lagi. Nanti, misalnya, dijual sampai di Jakarta, yang beli orang Bugis. Orang Bugisnya kemudian menjual kepada pembeli budak dari Belanda atau Cina,” tutur dia.

Meski praktik perbudakan sebenarnya sudah dilarang oleh Belanda sejak lama, tapi masih saja terjadi kala itu. Penyebab terjadinya perbudakan itu, kata Anhar, bermacam-macam. Ada yang disebabkan oleh utang, permintaan perlindungan, dan faktor lainnya. Bahkan, ada orang-orang yang memang hidup dari perdagangan budak.

“Jadi itu melingkar memang. Dan itu memang ada kelompok yang menjadikannya sebagai suatu pekerjaan untuk mendapatkan untung,” ujar Anhar.

Brutalnya perbudakan

Dalam pidatonya, Perdana Menteri Belanda tak menggunakan bahasa Indonesia. Padahal, adalah fakta bahwa perbudakan Belanda di Indonesia tak kalah brutal.

Menurut almarhum Alwi Shahab, wartawan senior Republika yang rajin mencatat sejarah Jakarta, salah satu saksi bisu kebrutalan perbudakan di Jakarta adalah Gedung Arsip Nasional di Jalan Gajah Mada. Berjarak 10 kilometer dari pusat kota Batavia kala itu, gedung itu dibangun oleh Gubernur Jenderal Reinier de Klerk (1715-1780).

“Gedung itu masih tertata rapi dan dilestarikan bentuknya seperti 250 tahun lalu. Di bagian kiri dan kanan sayap terdapat puluhan kamar-kamar kecil. Di kamar-kamar inilah tempat para budak tidur, setelah sejak pagi dan malam bekerja tanpa mengenal waktu.

Kala itu, kaum budak merupakan hampir setengah dari penduduk Batavia, dan bernasib sangat buruk. Jual beli budak sangat menguntungkan. Ini juga dilakukan oleh nyonya de Klerk. Di halaman tengah gedung yang luas itu terdapat ‘lonceng perbudakan’. Bila lonceng itu dibunyikan pada dini hari, para budak harus segera bangun sekalipun mereka masih lelah.”

photo
Wartawan senior Republika Alwi Shahab menghadiri Syukuran 50 Tahun Karya Emas Abah Alwi di Kantor Republika, Jakarta, Rabu (31/8) - (Republika/ Wihdan)

Menurut Abah Alwi, ketika serdadu atau kelasi VOC jadi warga Batavia, ambisi mereka adalah memiliki satu atau dua orang budak. Para budak dipaksa kerja siang malam tanpa istirahat. Mereka menyiksa para budak begitu kejamnya, sehingga sebagian besar putus asa dan bunuh diri. 

Bernard Dorleans dalam buku ‘Orang Indonesia-Orang Prancis’ menuturkan, ketika ia berada di Batavia ada budak yang gantung diri, dan dua budak menggorok lehernya sendiri. Jika para pria merupakan penyebab para budak bunuh diri, maka para majikan perempuan lebih kejam lagi. Mereka bersenang-senang membunuh sendiri para budak serta memuaskan mata-mata mereka dengan tontonan yang lebih menyeramkan.

Batavia, sebagai pusat perdagangan VOC di dunia, tiap saat didatangi kapal-kapal asing. Para pelautnya, setelah berbulan-bulan berada di lautan, haus akan wanita. Sampai 1860 perbudakan masih diberlakukan di Batavia. Pada 1673, hampir setengah penduduk Batavia berstatus budak belian, yakni 13.278 orang dari 23.068 penduduk.

Tercatat juga kerapnya perselingkuhan antara meneer Belanda dengan para budak beliannya. Kala itu status sosial atau tinggi rendahnya derajat seseorang dihitung dari berapa banyak ia memelihara budak.

Di antara pemilik budak yang terkenal adalah Van der Ploegh, seorang pejabat tinggi VOC yang tinggal di Roa Malaka, Jakarta Barat, memiliki puluhan budak belian laki-laki dan perempuan. Salah seorang budaknya, bernama Rossina, dari Bali, yang baru berusia 16 tahun, digambarkan memiliki paras cantik dan tubuh bahenol. Sang nyonya yang dibakar cemburu ketika merasa tuannya jatuh hati kepada budaknya itu, tanpa mengenal kasihan membakarnya hidup-hidup.

Gubernur Jenderal Van der Parra (1761-1775), yang kesohor senang pesta dan hura-hura, setiap tahun mengimpor 4.000 budak belian. Baik dari Bali dan Sulawesi, maupun dari Koromandel (India). Banyak di antara mereka yang mati karena pelayanan kesehatannya sangat buruk.

Cornelis Johanna ded Befree, puteri Raad van Indie, memelihara 59 budak untuk mengurus rumah tangganya. Pada 1775, di kediaman van Riemsdijk, seorang kaya raya di Batavia memelihara 200 budak terdiri dari perempuan, laki-laki, dan anak-anak.

Pada 13 Agustus 1625, hanya enam tahun setelah JP Coen mendirikan Batavia, seorang perempuan pribumi, Maria, mengadukan suaminya, Manuel, pada polisi. Manuel memaksa dirinya dan budak perempuannya untuk mencari nafkah haram dengan melacurkan diri setiap hari. Hal ini jamak dilakukan pemilik budak kala itu sementara majikan menerima hasil jual diri tersebut.

Tak hanya di Batavia, kekejaman perbudakan-perbudakan juga tercatat di kebun-kebun milik kolonial di Sumatra. Mantan pemimpin redaksi Republika Asro Kamal Rokan dalam catatannya sempat menyinggung sosok J Van den Brand yang membongkar kekejaman terhadap pekerja kebun di Sumatra pada awal abad ke-20. Van den Brand merupakan pengacara sekaligus pemimpin redaksi Sumatra Post.

Ia membongkar skandal besar kasus perbudakan di Deli, Sumatra Utara yang menggemparkan negeri Belanda. “Para kuli dicambuk, diseret dengan kuda, digantung, kuku kaki mereka ditusuk bambu. Kuli perempuan ditelanjangi, (mohon maaf) kemaluannya dibubuhi merica,” tulis Den Brand dalam artikel berjudul ‘De Millioenen Uit Deli’ (Berjuta-juta dari Deli).

Perkebunan-perkebunan di Sumatra diketahui menyumbangkan kekayaan tak terkira bagi Kerajaan Belanda.

Kecelakaan di Proyek Kereta Cepat Diinvestigasi

Gubernur Jabar berharap operasional kereta api cepat Jakarta-Bandung tak molor lagi.

SELENGKAPNYA

Final Terbaik dan Inspirasi dari Qatar

Sejak ditetapkan pada 2012 sebagai Tuan Rumah Piala Dunia 2022, Qatar langsung berbenah diri.

SELENGKAPNYA

Hakim MA Tersangka Lagi

Total ada dua hakim agung dan tiga panitera pengganti di MA yang terjerat kasus dugaan suap.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya