
Mujadid
Prof KH Achmad Mudlor, Perintis Kampus-Kampus Islam
Abah Mudhor kelahiran Lamongan ini termasuk pendiri sejumlah kampus keagamaan di Jawa Timur.
Di Indonesia, saat ini ada banyak perguruan tinggi Islam, baik yang dikelola pihak swasta maupun pemerintah. Keberadaannya merupakan wujud ikhtiar untuk memadukan ilmu-ilmu umum dan spirit keagamaan. Pada akhirnya, seluruh institusi pendidikan itu diharapkan mampu mencetak generasi yang intelek sekaligus beriman dan berakhlak luhur.
Di Jawa Timur, misalnya, pembangunan kampus-kampus Islam juga cukup pesat. Hal itu dilatari perjuangan sejumlah alim ulama. Salah seorang tokoh yang ikut mendorong lahirnya berbagai perguruan tinggi keagamaan di sana adalah Prof KH Achmad Mudlor. Tercatat, sosok yang akrab disapa Abah Mudlor itu turut merintis Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim, Universitas Islam Lamongan (Unisla), dan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Sunan Giri Malang.
Kiai Achmad Mudlor lahir pada 1937 di Desa Kauman, Babat, Lamongan, Jatim, dari pasangan Haji Muchdlor dan Hajjah Nasiyah. Anak keenam dari 10 bersaudara itu berasal dari keluarga yang lama berkhidmat di dunia pendidikan. Ayahnya ikut merintis Madrasah at-Tahdzibiyah dan Madrasah Bintang Sembilan di daerah setempat.
Achmad Mudlor kecil memperoleh pengajaran agama mula-mula dari kedua orang tuanya. Untuk selanjutnya, ia berkelana dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Ia diketahui pernah menimba ilmu di Ponpes Sawahan Babat, Ponpes Kendal Bojonegoro, dan Ponpes Langitan Babat.
Achmad Mudlor kecil memperoleh pengajaran agama mula-mula dari kedua orang tuanya. Untuk selanjutnya, ia berkelana dari satu pesantren ke pesantren.
Anak yang cerdas ini juga menempuh pendidikan formal. Pertama-tama, ia belajar di Madrasah Ibtidaiyah at-Tahdzibiyah. Sesudah itu, ia menempuh Pendidikan Guru Agama (PGA) Muhammadiyah di Bojonegoro selama tiga tahun. Begitu lulus, Mudlor muda sempat mengabdi pada salah satu lembaga pendidikan Muhammadiyah di Jatim.
Pada 1954, remaja ini memutuskan untuk pindah ke Semarang. Alasannya adalah melanjutkan sekolah di SMA Jurusan Ekonomi Sosial. Namun, dirinya “hanya” bertahan di sana selama satu tahun. Kemudian, Mudlor kembali ke Ponpes Langitan hingga mendapatkan izin dari para kiai setempat untuk ikut mengajar para santri junior.
Saat mengabdi di Langitan, Mudlor mengajukan gagasan untuk mendirikan sebuah halaqah keilmuan. Forum tersebut menjadi tempat diskusi tentang berbagai disiplin, baik agama maupun umum. Tujuannya adalah membentuk sikap ilmiah di kalangan santri.
Selama berkiprah di Langitan pula, Mudlor kian tertarik pada ilmu kalam. Untuk memperdalam pengetahuannya, ia sempat mengunjungi Ponpes Assalam di Yogyakarta ketika musim liburan berlangsung. Di sana, pemuda tersebut tidak hanya belajar ilmu-ilmu keislaman, melainkan juga penguasaan bahasa Inggris. Dari Kota Gudeg, dirinya pun beranjak ke Cirebon guna berguru pada Syekh Muhammad al-Idris.
Saat mengabdi di Langitan, Mudlor mengajukan gagasan untuk mendirikan sebuah halaqah keilmuan.
Dari sosok yang akrab disapa Mbah Suro itu, ia memperoleh banyak ilmu dan hikmah. Atas saran gurunya tersebut, Mudlor kemudian mempertimbangkan untuk memilih salah satu dari ketiga daerah ini sebagai tempatnya meneruskan pengembaraan intelektual: Semarang, Yogyakarta, atau Malang. Kota yang tersebut paling akhir itu kemudian menjadi pilihannya.
Di Kota Apel, Mudlor mendaftar di Akademi Pendidikan Agama Islam (APAI). Pada 1961, ia pun lulus dari sana. Kira-kira setahun kemudian, dirinya berhasil melalui ujian tingkat lanjut dengan sepsifikasi keilmuan filsafat.
Pada 1962, Mudlor menerima dua amanah sekaligus. Pertama, penunjukan dirinya sebagai bi’tsatul hajj, yakni semacam petugas haji, oleh Departemen Agama—kini Kementerian Agama RI. Kedua, ia pun ditunjuk untuk melaksanakan syiar Islam di kawasan Gunung Agung, Bali.
Dalam menunaikan tanggung jawab pertamanya itu, Mudlor juga diamanahkan oleh Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Malang. Ia diminta melakukan studi banding ke Perpustakaan Jam’iyah al-Islamiyah Madinah. Tujuannya adalah mengetahui sistem dan tata kelola perpustakaan setempat, agar bisa ditiru kampus Nahdliyin tersebut.
Pada 1963, rektor UNU Malang saat itu, Prof Mohammad Koesnoe mengusulkan kepadanya untuk meneruskan pendidikan ke jenjang magister hingga doktoral. Usulan itu disanggupinya dengan baik. Beberapa tahun kemudian, Mudlor sukses meraih gelar dari Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel.
Mengikuti jejak ayahnya, Abah Mudlor pun berupaya untuk membangun sekolah-sekolah Islam.
Bangun sekolah
Mengikuti jejak ayahnya, Abah Mudlor pun berupaya untuk membangun sekolah-sekolah Islam. Pada awalnya, ia memelopori pendirian Pondok Pesantren Luhur di Jalan Claket Nomor 10 Kota Malang. Hal itu dilakukannya pada awal tahun 1960 bersama dengan rekan-rekan seperjuangan, yakni antara lain Prof Mohammad Koesnoe, KH Ghozali, dan KH Usman Mansyur.
Tidak hanya merintis pembangunan, ia pun turut andil menjaga keberlangsungan lembaga itu. Tidak jarang, Abah Mudlor mengeluarkan uang pribadinya untuk dipakai para ustaz dan santri pesantren. Sebuah rumah dibelinya untuk memperluas kompleks pesantren.
Salah seorang putranya kemudian mengusulkan agar dirinya menghuni rumah tersebut. Akan tetapi, yang menjadi tempat tinggalnya adalah bagian dasar bangunan itu. Adapun lantai atas dan sebagian lantai bawah dipergunakan untuk tempat kegiatan belajar-mengajar.
Khususnya bagi para santri, Abah Mudlor merupakan sosok teladan. Ulama itu tidak hanya menggembleng mereka dengan petuah-petuah lisan, melainkan juga tindakan. Ia pun mengajarkan kepada mereka agar rutin mengamalkan wirid. Menurutnya, zikir kepada Allah (zikrullah) dapat mempertajam akal pikiran dan membuat hati nurani kian peka.
Di samping itu, Abah Mudlor juga menggelar halaqah keilmuan guna mengasah nalar intelektual para santri. Cara itu juga dipakainya untuk berbagi ilmu pengetahuan, termasuk disiplin-disiplin yang tidak berkaitan langsung dengan kitab-kitab turats. Tidak jarang, ia memandu jalannya diskusi.
Metode ajar lainnya yang diterapkan Abah Mudlor ialah melatih kemampuan berpidato. Tiap santri diharuskan untuk menyiapkan teks dan menyampaikan ceramah di podium. Bahan-bahan orasi tidak hanya berasal dari kajian yang mereka lakukan atas kitab-kitab kuning, tetapi juga artikel-artikel dari pelbagai jurnal ilmiah. Sebelum naik mimbar, mereka akan meminta sang kiai untuk membaca dan menilai isi uraian ceramahnya.
Metode ajar yang diterapkan Abah Mudlor ialah melatih kemampuan berpidato. Tiap santri diharuskan menyiapkan teks dan menyampaikan ceramah di podium.
Cara demikian sangat baik untuk membiasakan para peserta didik dalam berpidato dengan bahasa yang komunikatif dan konten yang bernas, tidak sekadar bercerita.
Tidak hanya sibuk di dunia pesantren, Abah Mudlor pun aktif di ranah pendidikan tinggi. Bersama dengan Prof Koesnoe, ia mendirikan IAIN Sunan Ampel Malang. Insititusi tersebut kini telah berkembang menjadi UIN Maulana Malik Ibrahim. Sebelum mendapatkan status sebagai UIN, lembaga itu dalam perkembangannya melibatkan UNU Malang—kini Universitas Islam Malang—dan Pondok Pesantren Luhur.
Sebelum IAIN Sunan Ampel Malang, UNU telah berdiri kurang lebih tiga tahun lamanya. Di dalamnya, terdapat tiga jurusan, yaitu Pendidikan Islam—pada akhirnya menjadi Akademi Pendidikan Agama Islam (APAI); Hukum; serta Ekonomi dan Sosial Kemasyarakatan. Dari ketiganya, yang cukup relevan dengan format IAIN adalah Pendidikan Islam. Kemudian, APAI pun diubah menjadi Fakultas Tarbiyah wa Ta’lim (FTT) UNU.
Tidak hanya terlibat dalam memelopori berdirinya IAIN Sunan Ampel, Pesantren Luhur bersama dengan Universitas Sunan Giri (Unsuri) Malang juga mendirikan Fakultas Hukum. Lembaga ini kemudian berubah nama menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Unsuri Malang. Pendirian STIH tersebut juga terjadi dengan dukungan Abah Mudlor sejak tahun 1977.
Selain itu, Abah Mudlor juga turut mendirikan Universitas Islam Lamongan (Unisla) pada 1996. Ia pun pernah mengemban amanah sebagai rektor UNISLA sejak tahun 2000 hingga akhir hayatnya. Di bawah kepemimpinannya, kampus tersebut mengalami perkembangan yang cukup pesat.
Selama hidupnya, Abah Mudlor telah banyak berkontribusi demi kemajuan umat Islam, khususnya melalui bidang pendidikan.
Selama hidupnya, Abah Mudlor telah banyak berkontribusi demi kemajuan umat Islam, khususnya melalui bidang pendidikan. Ia juga tercatat sebagai pendiri Fakultas Tarbiyah Universitas Sunan Giri Lamongan pada 1978 dan Rumah Sakit ’45 Babat Lamongan. Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Kranji Gresik yang berdiri sejak tahun 1987 pun dilatari peranan dirinya. Begitu pula dengan STAI Mojosari Mojokerto pada 1966.
Abah Mudlor memiliki seorang istri bernama Nur Cahya. Pasangan ini dikaruniai tiga orang anak. Ketiganya adalah Neng Daris Mazia, Neng Davis Mirfada dan Gus Mohammad Danial Farafish. Kepada mereka, ia selalu berpesan tentang pentingnya pendidikan untuk menaikkan harkat derajat manusia.
Dalam hidupnya, Abah Mudlor memiliki berbagai motivasi yang kemudian diajarkan kepada para santrinya. Misalnya, “Hum rijaalun nahnu rijaalun.” Artinya, ‘Mereka adalah laki-laki, dan kita pun begitu.’ Maknanya, jangan merasa rendah diri di hadapan orang lain.
Kemudian, “Likulli yaumin ziyadatan minal ‘ilmi washbah fi buhuuril fawaidi. ‘Setiap hari bertambah ilmu dan bergemilang dalam lautan yang berfaedah.’ Terakhir, “Bijiddin laa bijiddin kullu majdin fahal jaddun bilaa jiddin bimujdi.” Arti harfiahnya, ‘Jangan takut mati karena belum makan dan minum, tetapi takutlah mati karena tidak berjuang'.

Menggubah Shalawat Irfan
Di lingkungan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, ada sebuah tradisi yang masih terjaga hingga saat ini, yaitu bershalawat. Bukan hanya melantunkan puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Sebab, teks shalawat yang dimaksud adalah gubahan seorang tokoh setempat, Prof KH Achmad Mudlor.
Sosok yang akrab disapa Abah Mudlor itu menggubah teks Shalawat Irfan. Lantunan shalawat tersebut selalu dibacakan tiap acara-acara besar di UIN Malang, semisal wisuda atau seminar-seminar. Malahan, popularitasnya telah merambah ke berbagai daerah di Indonesia.
Abah Mudlor mengarang Shalawat Irfan dengan tulisan tangan. Proses penulisannya bermula sekitar tahun 1998. Ketika itu, seorang akademisi Universitas Muhammadiyah Malang Prof Imam Suprayogo mendapatkan usulan dari cendekiawan Nurcholish Madjid alias Cak Nur untuk banyak membaca shalawat.
Kemudian, Prof Imam pun bertanya kepada seorang rekannya mengenai shalawat yang dimaksud Cak Nur. Ia pun diberi tahu tentang keutamaan-keutamaan shalawat. Tidak berhenti sampai di sana, dirinya lalu mengikuti halakah keilmuan yang digelar UIN Malang. Forum itu diikuti sejumlah dosen setempat, termasuk dari kalangan senior.
Prof Imam lalu membawa sebuah buku catatan yang berisi teks shalawat. Tulisan itu kemudian ditunjukkan kepada Abah Mudlor. Kemudian, tokoh Nahdliyin ini mengatakan bahwa shalawat itu mengenai panjang umur, sedangkan dirinya berasal dari kaum akademisi.
Abah Mudlor, yang mendalami ilmu balaghah, lalu menawarkan kepadanya untuk menata kembali teks shalawat itu. Dua hari berikutnya, Abah Mudlor kembali menemui Prof Imam. Ia mengajukan sebuah syair baru serta menjelaskan maknanya. Pada akhirnya, shalawat gubahannya itu diterima secara konvensional sebagai “shalawat orang kampus.”
Abah Mudlor menamakan karyanya itu sebagai Shalawat Irfan. Selanjutnya, para dosen UIN Malang mulai melakukan sosialisasi teks shalawat itu. Arasemennya pun dibuat oleh Prof Muhaimin. Ketika acara wisuda pada tahun itu, untuk pertama kalinya Shalawat Irfan dilantunkan dalam forum resmi kampus tersebut.
Abah Mudlor wafat dalam usia 83 tahun pada 6 Desember 2013. Sesuai wasiatnya, jenazahnya dimakamkan di lingkungan kampus Unisla, Jalan Veteran, Lamongan, Jatim.
MUI: Perkuat Keharmonisan Bangsa
Forum itu diharapkan meningkatkan ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathaniyah.
SELENGKAPNYADorong Sertifikasi Nazir
Sertifikasi nazir dapat meningkatkan profesionalisme pengelolaan wakaf.
SELENGKAPNYAPerang Bintang di Al Bayt
Skuad Inggris dan Prancis diisi pemain-pemain yang nama dan wajahnya tidak asing.
SELENGKAPNYA