Asma Nadia | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Mentalitas Aspal

Dari orang-orang inilah, akhirnya muncul berbagai bencana aspal di dalam negeri.

Oleh ASMA NADIA

OLEH ASMA NADIA

Aspal atau asli tapi palsu adalah akronim Indonesia yang mungkin sulit dicari padanannya dalam bahasa asing. Dalam bahasa lain, palsu ya palsu, asli ya asli. Kalau tidak asli berarti palsu kalau palsu berarti tidak asli. Namun di Indonesia, kata asli tetap ikut disematkan dalam palsu.

Kelihatannya sederhana, namun ini menujukkan kualitas kepalsuan yang sudah begitu tinggi di Tanah Air, hingga tidak bisa lagi dibedakan dengan aslinya.

Kalau kita lihat jersei palsu di Indonesia, ada yang disebut KW 1. Semua mirip asli. Bukan cuma bahan, warna, bahkan produk tiruan ini juga menyediakan berbagai tag dan sertifikat yang menujukkan keasliannya.

Jangan bicara moral, para pemalsu juga dengan lantang berani berkata, “Awas barang tiruan” pada produk tiruannya. Mental maling teriak maling benar-benar berlaku dalam industri barang-barang aspal.

 
Kelihatannya sederhana, namun ini menujukkan kualitas kepalsuan yang sudah begitu tinggi di Tanah Air, hingga tidak bisa lagi dibedakan dengan aslinya.
 
 

Namun ada yang lebih parah dari semua itu. Budaya aspal tidak hanya terjadi pada produk barang dagangan  tetapi juga pada pelayanan dan jasa. Terlebih parah, masuk dalam ranah otoritas.

Dulu kita bisa melihat ada penjahat menyamar jadi polisi atau satpam untuk melancarkan tugasnya, penculik menyamar jadi guru, pencuri menyamar jadi pengemis, dan berbagai perilaku palsu lainnya. Akan tetapi kini kita berhadapan dengan sosok asli yang palsu, dan ini jauh lebih mengkhawatirkan.

Orang-orang dengan jabatan asli, dengan kekuasaan asli, dengan surat resmi asli, dengan ijazah asli tetapi dalam diri mereka tidak tersisa sedikitpun keaslian intelektualitas, tanggung jawab, dan profesionalitas.

Dari orang-orang inilah, akhirnya muncul berbagai bencana aspal di dalam negeri. Kasus gagal ginjal yang menewaskan ratusan nyawa dan sebagian besar anak-anak, ternyata diawali oleh mentalitas aspal ini. Obat-obat yang beredar mempunyai izin dan legalitas yang asli.

 
Namun komposisi bahan-bahannya ketika beredar, berbeda dengan apa yang tertera dalam produk yang mendapatkan izin.
 
 

Namun komposisi bahan-bahannya ketika beredar, berbeda dengan apa yang tertera dalam produk yang mendapatkan izin. Pemalsunya bisa berdalih, “Saya sudah pesan sesuai kriteria, namun supplier-nya memberi komposisi yang berbeda.”

Berikutnya terkait kasus di atas,  giliran yang memberi sertifikat dengan mudah berlepas tangan. Karena merasa sudah melakukan pemeriksaan saat membuat sertifikasi maka ketidaksesuaian isi bukan tanggung jawab mereka lagi.

Apakah memang demikian tugas badan pemberi sertifikasi? Cukup memeriksa di awal lalu berlepas tanggung jawab saat pihak yang diberi sertifikasi menyimpang dari batasan dan aturan yang diberikan?

Kasus oli palsu yang marak juga berawal dari mentalitas aspal ini. Toko yang menjual dengan percaya diri mengatakan produknya asli tetapi setelah tiga bulan memakai oli tersebut, banyak kendaraan motor mengalami kerusakan. 

 
Kasus oli palsu yang marak juga berawal dari mentalitas aspal ini. 
 
 

Beberapa kasus oli palsu masuk ke ranah hukum, melewati proses yang ditangani aparat asli. Namun hasil putusannya serasa tidak genuine. Hukuman para pemalsu sama sekali tidak memberikan efek jera.

Ada pemalsu yang cuma dihukum dua bulan dan denda Rp 300 juta padahal dari bisnis pemalsuan oli mereka  bisa mendapatkan Rp  300 juta per bulan. Padahal hukuman maksimal pemalsuan seperti ini bisa mencapai lima tahun dan denda puluhan miliaran rupiah.

Belum lagi kasus investasi bodong yang merugikan puluhan orang sejumlah miliaran rupiah. Sang terpidana divonis penjara dan denda miliaran tetapi  tidak ada klausul pengembalian dana korban sekalipun harta terpidana dirampas negara.

Menurut hakim harta tidak dikembalikan ke korban karena korban bersalah bermain judi. Padahal sebagain besar korban adalah korban penipuan berkedok investasi. Keputusan asli, kekuatan hukumnya asli,  tapi nilai putusannya tidak terasa memihak korban.

Demikian juga dengan peristiwa tragedi di Stadion Kanjuruhan. Ketika rekontruksi, tidak ditampilkan adegan menembak gas air mata. Semua prosedur asli, oleh aparat asli tetapi ternyata bukan kejadian asli yang benar-benar direka ulang dan tergambarkan.

Seharusnya semesta Indonesia berduka. Sebab kini budaya aspal tidak saja tentang barang palsu seperti asli, tapi sosok asli atau otoritas asli yang tidak berperilaku seperti asli.

Jika budaya aspal sudah merambah ke lembaga resmi, menghasilkan keputusan yang berkekuatan asli, tapi tidak mewakili keaslian tanggung jawab,  intelektualitas dan profesionalitas, lalu ke mana lagi rakyat harus menyandarkan kepentingan yang menyangkut nasib dan keselamatan hajat hidupnya? 

Abdullah bin Rawahah Menolak Suap dari Wajib Pajak

Suap termasuk dalam kategori memakan harta orang lain dengan cara batil.

SELENGKAPNYA

Kala Ibnu Sina Menjawab Fenomena Penyakit Epilepsi

Para dokter Muslim membangun penelitian medis yang lebih maju untuk mengurai hal ihwal epilepsi.

SELENGKAPNYA

Kasus Pemalsuan Merek Pupuk Diungkap

Tim juga turut menguji mutu dan kualitas pupuk di beberapa kios.

SELENGKAPNYA