
Inovasi
Menyusuri Akar Peradaban Budaya Flexing
Teknologi adalah pendorong perubahan yang paling cepat.
Hidup di era digital, seperti saat ini, jelas gampang-gampang susah. Di satu sisi, ada berbagai kemudahan dan kepraktisan yang dibawa oleh teknologi. Namun, disisi lain, ada pula dampak kerumitan hidup yang makin terasa akibat perkembangan teknologi.
Salah satu contohnya, dalam memaknai nilai kebendaan. Di era digital seperti sekarang, semakin banyak orang sibuk ingin menunjukkan kesuksesan hidupnya secara materil. Keberadaan media sosial pun sangat strategis dalam mengkatalisasi berbagai perubahan nilai yang terjadi.
Sosiolog dari Universitas Nasional, Sigit Rochadi MSi mengungkapkan, teknologi memang merupakan pendorong perubahan yang paling cepat di peradaban manusia. Termasuk juga, dalam mengubah berbagai pola perilaku para penggunanya.
Karena teknologi, masyarakat kini sangat cepat mengalami perubahan pola pikirSIGIT ROCHADI, Sosiolog dari Universitas Nasional
“Karena teknologi, masyarakat kini sangat cepat mengalami perubahan pola pikir. Kini, dengan hadirnya sosial media, berbagai pesan makin mudah menyebar secara langsung kepada pihak-pihak yang dituju. Namun, di sisi lain mengamplifikasi konsep post truth di tengah masyarakat,” jelasnya kepada Republika.
Hadirnya fenomena flexing, kata Sigit, sebenarnya sudah ada sejak era keemasan televisi. Di mana, para penontonnya disuguhi tontonan tentang kelas menengah di kota besar, sementara para penontonnya rata-rata justru dari kalangan ekonomi yang berbeda.
Dengan peralihan dari televisi ke dunia maya, maka pola ini pun berulang, meski di media yang berbeda. “Masyarakat yang sedari dulu memang gemar dengan kehidupan hedonistik, membuat flexing di media sosial ini tumbuh subur. Apalagi, belum ada hukum positif yang secara khusus membahas efek samping dari perilaku yang satu ini,” kata Sigit.
Mencari Validasi

Ada banyak alasan yang membuat orang terdorong ingin memamerkan kehidupannya di media sosial. Namun, menurut psikolog klinis, Toetiek Septriasih, pada umumnya orang melakukan flexing, karena didasari alasan yang cukup sederhana, yaitu karena ia tidak punya dan ada rasa ingin memiliki.
Menurut wanita yang biasa disapa Jeng Toet ini, perilaku flexing ini tak bisa dilepaskan dari salah satu teori klasik psikologi, yakni teori hierarki kebutuhan dari Abraham Maslow. “Teori yang lahir pada 1970 ini, melihat bahwa manusia pada dasarnya mempunyai tahap kebutuhan dasar yang bertahap. Dimulai dari, fisiologis, keamanan dan kasih sayang, sosial dan afiliasi, serta harga diri hingga aktualisasi diri atau perwujudan diri,” jelasnya.
Menurut Jeng Toet, idealnya manusia memenuhi berbagai kebutuhan tersebut secara bertahap. Misalnya, memenuhi kebutuhan akan kesehatan serta rasa aman, baru kemudian mengupayakan aktualisasi dirinya.
“Namun, yang sering terjadi adalah banyak orang yang memenuhi hierarki kebutuhan ini loncat-loncat. Misalnya, dia belum memenuhi kebutuhannya akan rasa aman dalam kehidupan personal, tapi sudah bekerja dan ingin segera mencari validasi akan aktualisasi dirinya,” ujarnya.
Hadirnya media sosial, seperti Instagram atau TikTok pun kemudian memberi ruang yang demikian luas untuk menemukan validasi diri yang tengah dicari oleh para penggunanya. Maka, fenomena flexing pun hadir.
FOMO juga mendorong orang untuk makin tak mau ketinggalan cara atau pola hidup dari orang-orang yang ia temui di media sosial.TOETIEK SEPTRIASIH, Psikolog Klinis
Termasuk juga dengan makin populernya istilah kekinian, fear of missing out (FOMO) yang kerap melandasi dorongan untuk flexing. Jeng Toet mengungkapkan, FOMO juga mendorong orang untuk tak mau ketinggalan cara atau pola hidup dari orang-orang yang ia temui di media sosial. Padahal, FOMO adalah istilah rebranding dari anxiety disorder.
Dengan gempuran flexing dan dorongan untuk terus mengikuti standar hidup yang kian berat ini, Jeng Toet menyarankan, agar kita kembali ke pemenuhan hierarki kebutuhan dari Maslow.
Semuanya, kata dia, bisa dimulai dengan memerhatikan kesehatan dan wellbeing kita terlebih dahulu. “Makanlah dengan baik, olahraga, dan istirahat berkualitas,” jelas Jeng Toet.
Dengan memenuhi kebutuhan dasar tersebut, pikiran kita menjadi lebih jernih. Sehingga, kita pun lebih bisa memfilter informasi dengan beragam pertimbangan yang lebih baik.
Berkontribusi Mewujudkan Ruang Digital yang Nyaman

Ruang digital di Indonesia selalu tak pernah kehabisan cerita. Sayangnya, tak hanya cerita menyenangkan yang bisa kita temui di dunia maya.
Ada pula berbagai cerita yang menimbulkan pertanyaan dan rasa tak nyaman ketika kita berada di dalamnya. Pada Februari 2021, Microsoft merilis “Indeks Keberadaban Digital” atau “Digital Civility Index” yang menunjukkan tingkat keberadaban pengguna internet atau wargamaya sepanjang 2020. Hasilnya, tingkat keberadaban warga maya Indonesia ternyata sangat rendah.
Laporan yang didasarkan atas survei pada 16 ribu responden di 32 negara antara April-Mei 2020 itu menunjukkan, Indonesia ada di peringkat 29. Skor Indonesia memang naik delapan poin, dari 67 pada 2019 menjadi 76 pada 2020, tetapi Indonesia tetap menjadi negara dengan wargamaya paling tidak beradab di Asia Tenggara.
“Sebagai salah satu operator telekomunikasi dan teknologi di Indonesia, Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) tergerak ingin berkontribusi dalam menciptakan ruang digital yang lebih nyaman,” ungkap Senior Vice President Corporate Communications, Steve Saerang, kepada Republika, pekan lalu.
Apalagi, penetrasi internet di Indonesia untuk kelompok usia 13 hingga 18 tahun telah berada di tingkat 99 persen. Menurutnya, ada empat jenis perilaku tidak terpuji yang mendominasi ruang digital saat ini, di antaranya, hate speech, kecenderungan untuk menjadi penyendiri yang kemudian berujung menjadi depresi, detachment dengan orang sekitarnya, seperti orang tua dan kerabat, dan flexing.
IOH, lanjut Steve, kemudian memilih fenomena flexing sebagai tema dalam program Save Our Socmed yang kini telah sampai di puncak penyelenggaraannya. Bekerjasama dengan CGV, IOH sukses melaksanakan kompetisi film pendek yang bertujuan meningkatkan literasi digital masyarakat dengan mengampanyekan kesadaran akan bahaya flex culture.
Program bertajuk “Waspada Flex Culture, Stay Humble!” ini, didukung juga oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Tujuannya, mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk memanfaatkan media sosial sebagai sarana untuk membuat konten positif.
Menurut Steve, alasan dipilihnya flexing sebagai tema dalam kegiatan ini, adalah adanya kecenderungan di kalangan anak muda di Indonesia, terutama para Generasi Z, yang melihat value dirinya kini amat bergantung pada apa yang mereka miliki. Hal ini pun memiliki berbagai dampak kolateral yang signifikan di tengah dinamika masyarakat.
Di antaranya, terjadinya pergeseran arti nilai-nilai mendasar kehidupan yang kini hanya didasarkan pada materi. Hingga, munculnya berbagai kejahatan keuangan yang menjanjikan masyarakat untuk dapat kaya secara kilat tanpa proses.
Termasuk juga, semakin banyaknya orang yang terjerat dalam hutang akibat pinjaman daring yang hanya digunakan sekadar untuk bergaya. Sehingga, tak bisa dipungkiri, meski pamer secara umum terkesan seperti tindakan yang tak menyakiti orang lain, namun ada berbagai dampak buruk yang bisa diakibatkan oleh tingkah polah yang satu ini.
Koordinator gerakan #BijakBersocmed, Enda Nasution, juga mengungkapkan, saat ini tengah terjadi pergeseran nilai kebahagiaan di tengah masyarakat. “Dulu, cukup dengan menunjukkan kepada tetangga, kita membeli TV atau kulkas baru. Kini, dengan hadirnya media sosial, kita memiliki ruang untuk memamerkan diri dengan makin luas,” ujarnya dalam Awarding Night SOS Short Movie Competition, belum lama ini di Jakarta.
Menurutnya, dalam memitigasi dampak negatif flexing di ruang digital, sangat diperlukan kolaborasi bersama. Mulai dari, operator telekomunikasi, pegiat media sosial, tak ketinggalan juga tentunya pemerintah dan pelaku usaha lainnya.
Kompetisi kali ini, berhasil meraih animo tinggi dengan total 467 peserta pelatihan, 124 nominasi video, dan menembus 6,8 juta penonton di berbagai platform media sosial. Para peserta yang didominasi para pelajar ini, juga mendapatkan pelatihan mengenai tata cara pembuatan film dan dampak negatif flex culture dari Badan Perfilman Indonesia yang diadakan di sepuluh kota di Indonesia, seperti Jakarta, Bogor, Bandung, dan Surabaya.
Setelah itu, peserta menuangkan ide kreatifnya dalam film pendek berdurasi 10 menit untuk diikutsertakan dalam lomba. Pemenang pertama kompetisi SOS kali ini diraih oleh tim ActFilm dengan judul film Bayangan. Sementara, juara II didapatkan oleh tim Unlimitale dengan judul film An Xin dan Juara III diperoleh tim Ruang Tengah Media dengan film berjudul FOMO.
Polda Jabar Tingkatkan Patroli Cegah Kasus Pembegalan Warga
Polisi akan melakukan penindakan yang sangat tegas terhadap pelaku curas atau pembegalan.
SELENGKAPNYAAbdullah bin Rawahah Menolak Suap dari Wajib Pajak
Suap termasuk dalam kategori memakan harta orang lain dengan cara batil.
SELENGKAPNYATerduga Pelaku Dugaan Kasus Pinjol Ditangkap
Polres Bogor menangkap terduga pelaku kasus dugaan penipuan bermodus pinjol.
SELENGKAPNYA