Kaven Siddique Lim, seorang mualaf asal Singapura. Ia memeluk Islam sejak 2018. | DOK LINKEDIN

Oase

Tiga Tahap Kaven Siddique Lim Menuju Hidayah

Mualaf asal Singapura ini terkesan pada akhlak dan ajaran agama Islam.

OLEH HASANUL RIZQA

 

Menjadi Muslim adalah anugerah terbesar yang pernah dirasakan Kaven Siddique Lim. Remaja asal Singapura itu mengaku bersyukur ke hadirat Allah SWT karena hatinya telah dibuka oleh-Nya untuk menerima hidayah. Islam memberikannya tujuan dan makna kehidupan.

Mualaf tersebut menuturkan, sebelum mengenal agama tauhid dirinya menjalani hari-hari hanya untuk bersenang-senang. Saat masih duduk di bangku SMP, ia menunjukkan sifat-sifat yang tipikal anak muda haus kebebasan.

“Pada waktu itu, saya termasuk orang yang senang menghabiskan akhir pekan di klub malam dengan kawan-kawan, pacaran, bergosip, dan sebagainya,” ujar Kaven Lim, seperti dikutip Republika dari media Singapura The Muslim Reader, beberapa waktu lalu.

Ketika itu, hubungannya dengan orang tua pun sering merenggang. Ia acap kali berbeda pandangan dengan ibunya. Alih-alih mendengarkan nasihat, Kaven lebih suka mengikuti hawa nafsunya untuk kesenangan sesaat. Sebagai anak muda yang sedang melalui masa pubertas, dirinya ketika itu merasa dapat melakukan apa saja tanpa perlu arahan dari siapapun.

 
Sebagai anak muda yang sedang melalui masa pubertas, Kaven ketika itu merasa dapat melakukan apa saja tanpa perlu arahan dari siapapun
 
 

Menurut mahasiswa Singapore Management University (SMU) ini, ada tiga peristiwa yang mengantarkannya untuk mengenal Islam lebih dekat. Ketiganya kemudian menjadi awal bagi keputusannya untuk menjadi Muslim.

“Masing-masing merepresentasikan tahap-tahap berbeda yang saya lalui sebelum menegaskan iman saya, kembali kepada fitrah, yakni mengakui adanya Tuhan, Allah Ta’ala,” ucapnya.

Kesatu, kunjungan ke Masjid Ba-alwi. Pada suatu hari Kami, Desember 2016, untuk pertama kalinya Kaven memasuki tempat ibadah Muslim. Lokasi yang didatanginya adalah Masjid Ba-alwi di Jalan Lewis. Itu adalah salah satu bangunan bersejarah di Singapura. Dibangun pada 1952 oleh keluarga Hadhrami yang dari kalangan Alatas, masjid tersebut cukup besar. Kapasitasnya dapat menampung sekira 400 orang.

Kaven datang ke sana atas ajakan beberapa kawannya. Karena penasaran, ia pun mengikuti mereka dengan niat sekadar mencari tahu. Tiap Kamis malam, jamaah setempat rutin mengadakan pengajian. Beberapa surah dibacakan, termasuk Yasin. Pada saat itu, lelaki berdarah Tionghoa tersebut pertama kalinya mendengarkan pembacaan ayat-ayat suci Alquran.

“Saat itu, saya tidak tahu harus berbuat apa karena memang sebelumnya tidak pernah memasuki masjid,” katanya.

 
Saat itu, saya tidak tahu harus berbuat apa karena memang sebelumnya tidak pernah memasuki masjid.
 
 

Kaven cukup terkejut setelah mengetahui banyaknya kegiatan yang rutin diselenggarakan di masjid. Selama ini, dia hanya mengenal dua kegiatan ibadah yang dilakukan orang-orang Islam di tempat ibadah mereka, yakni shalat Jumat dan shalat Ramadhan—belakangan dikenalinya sebagai shalat tarawih. Ternyata, setiap masjid memiliki jadwal yang “padat". Minimal, penyelenggaraan shalat secara bersama-sama lima kali dalam sehari.

Kaven pun mendapatkan kesan, Islam mengajarkan umat manusia agar selalu dekat dengan Tuhan. Kedekatan itu ada di dalam rutinitas. Dengan begitu, rasa religiositas mereka tidak lekas memudar atau hilang “ditelan” kesibukan sehari-hari.

Pada tahun itu, tempat ibadah yang disambangi Kaven bukan hanya masjid. Ia pun mengunjungi beberapa gereja dan wihara. Hal itu dilakukannya untuk lebih mengenal agama-agama yang dipeluk banyak orang. Yang paling familiar baginya adalah wihara. Sebab, keluarganya menganut ajaran Buddha.

“Akan tetapi, orang tua saya tidak pernah mengarahkan anak-anaknya untuk mengimani agama itu (Buddha). Pengertian saya tentang ajaran Buddha juga sebatas mengenai perayaan pada hari-hari besar. Sebab, ketika itulah keluarga besar kami berkumpul,” kata pendiri Converts Central Singapore itu.

Minimnya pengetahuan tentang ajaran Buddha membuatnya tidak merasa begitu terpanggil untuk rutin menjalankan ritual agama tersebut. Malahan, Kaven saat itu mulai menganggap dirinya sebagai seorang yang berpikir bebas (free-thinker). Dalam arti, ia meyakini adanya Sang Pencipta, tetapi belum mau “terikat” dengan kepercayaan apa pun.

Seperti kunjungannya ke masjid, kehadirannya di gereja pun dengan didampingi kawan-kawannya. Sejak kecil, kebanyakan teman Kaven dan orang-orang di lingkungannya merupakan Nasrani. Ia pun suka memperingati hari-hari besar agama Kristen, semisal Natal atau Paskah. Namun, yang dirasakannya bukanlah semacam ketenangan batin, melainkan kesenangan semata akan kemeriahan umum di hari-hari libur.

“Saya pun sempat ikut-ikutan menjadi pemeluk Kristen walaupun tidak satu pun ajaran Kristen yang saya pelajari,” ujarnya mengenang masa lalu.

photo
Masjid Baalwie di SIngapura. Di sinilah Kaven Siddique Lim mulai mempelajari Islam dan akhirnya memutuskan menjadi Muslim. - (DOK NUS)

Mengenal akhlak

Peristiwa kedua yang mengantarkannya pada hidayah terjadi pada Desember 2016. Pada suatu malam di bulan itu, Kaven sedang berjalan tanpa arah di area tempat tinggalnya. Mungkin, wajahnya ketika itu tidak seperti orang yang linglung, tetapi dalam hati dan pikirannya bergayut kegelisahan. Ia ketika itu merasa, kehidupannya seakan tanpa tujuan yang worth it untuk digapai.

Tanpa dia sadari, Kaven sampai di depan Masjid Ba-alwi. Melihat tempat ibadah kaum Muslimin itu, ia pun langsung teringat pada hari ketika dia berkunjung. Terkenang lagi suara jamaah membaca lantunan ayat suci Alquran.

Awalnya, lelaki berdarah Tionghoa itu sempat merasa ragu. Dalam pikirannya, berkecamuk ragam pertanyaan. Bagaimana mungkin seorang non-Muslim masuk sendirian ke dalam masjid. Bagaimana kalau jamaah setempat nanti mengusirnya? Bagaimana kalau ia akan dipandang dengan sinis lantaran “berbeda”?

 
Tanpa dia sadari, Kaven sampai di depan Masjid Ba-alwi. Terkenang lagi suara jamaah membaca lantunan ayat suci Alquran.
 
 

Namun, pemuda itu kemudian memberanikan dirinya. Dan, di dalam Masjid Ba-alwi tidak terjadi apa pun yang dikhawatirkannya. Semua orang sibuk dengan fokusnya masing-masing. Ada yang sedang shalat. Sebagian jamaah berzikir dan membaca Alquran dengan suara pelan.

Akhirnya, Kaven duduk di dalam masjid. Hanya melihat-lihat ke arah mimbar dan sekeliling. Tidak melakukan apa pun kecuali itu karena memang ia bukanlah Muslim. Dan, tidak satu pun amalan Islam yang diketahuinya. Barulah sekira setengah jam kemudian, seseorang memberikan salam dan menjabat tangannya dengan ramah.

Kepadanya, Kaven memberi tahu bahwa dirinya adalah seorang non-Muslim. Ternyata, jamaah tersebut sama sekali tidak mempersoalkan. Bahkan, pria Melayu itu kemudian bertanya, apakah ada yang bisa dilakukannya untuk membantu Kaven.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Ba'alwie Mosque Singapore (baalwiemosquesg)

“Sejak malam itu, saya mulai mempelajari agama ini dengan sungguh-sungguh. Saya tertarik pada Islam pertama-tama bukan karena konsep-konsep yang abstrak, melainkan keteladanan jamaah masjid. Mereka sangat ramah dan hangat pada siapapun,” tuturnya.

Belakangan, ia mengetahui adanya konsep akhlak karimah dalam Islam. Itu setelah seorang pemuda masjid setempat menjelaskan kepadanya tentang hadis Nabi Muhammad SAW, yakni “Aku (Rasulullah SAW) hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak.”

“Akhlak yang saya lihat dan alami di Masjid Ba-alwi malam itu mendorong saya untuk mengenal Islam lebih dekat. Sayup-sayup, terdengar ayat Alquran, ‘Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sungguh telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat’ (QS al-Baqarah: 256),’” katanya.

 
Akhlak yang saya lihat dan alami di Masjid Ba-alwi malam itu mendorong saya untuk mengenal Islam lebih dekat.
 
 

Inilah peristiwa ketiga yang terjadi menjelang hidayah menyinari hatinya. Di sebuah pengajian Masjid Ba-alwi, Kaven mendengarkan paparan ustaz setempat mengenai dosa. Dai itu menerangkan, agama tauhid tidak memiliki konsep “dosa asal".

Jadi, menurut Islam, semua insan lahir dalam keadaan murni, tanpa dosa. Mereka baru dihitung amalannya ketika sudah berstatus mukalaf, yakni mencapai usia dewasa (akil baligh) dan berakal sehat.

Bagi Kaven, ajaran itu menyentuh hatinya. Sebab, sebelum menyadari hal itu, ia mengira bahwa ajaran agama tidak sejalan dengan logika. Padahal, ketika itu mahasiswa tersebut sudah siap-siap “meninggalkan” penalaran untuk sepenuhnya menjadi religius.

Di dalam Alquran pun, terdapat banyak ayat yang mengajak manusia untuk berpikir. Misalnya, seruan kepada mereka supaya menggunakan akal untuk merenungi penciptaan langit dan bumi.

“Dan Dia (Allah) menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untukmu semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya. Sungguh, dalam hal yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berpikir” (QS al-Jatsiya: 13).

 
Saya ketika itu terkejut. Islam ternyata mendorong manusia agar mencari ilmu pengetahuan dan merenungi tanda-tanda kekuasaan-Nya
 
 

“Saya ketika itu terkejut. Islam ternyata mendorong manusia agar mencari ilmu pengetahuan dan merenungi tanda-tanda kekuasaan-Nya di dunia ini. Rasul SAW juga menegaskan, menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap orang Islam, lelaki maupun perempuan,” ujarnya.

Kaven pun semakin rajin mengikuti kajian-kajian keislaman. Malahan, ia sering kali menghabiskan waktu berjam-jam lamanya di Perpustakaan Masjid Ba-alwi. Di antara buku-buku kegemarannya ialah tentang sains dari perspektif Alquran.

Akhirnya, ia semakin condong pada ajaran tauhid. Niatnya berislam kemudian diutarakan kepada keluarganya. Mereka kaget. Beberapa bahkan bereaksi negatif. Kaven diminta untuk mempertimbangkan ulang keinginannya itu selama beberapa tahun.

Awalnya, permintaan itu diturutinya. Akan tetapi, beberapa bulan kemudian ia merasa lebih yakin. Keputusan berislam semestinya datang dari hati dan pikirannya sendiri, bukan arahan orang lain. Karena itu, Kaven membicarakan lagi niatnya itu kepada kedua orang tuanya. Alhamdulillah, mereka bisa memahami.

Pada 7 Januari 2018, untuk pertama kalinya Kaven mengucapkan dua kalimat syahadat. Dibimbing seorang imam dari Darul Arqam Singapura, proses itu pun dapat dijalaninya dengan lancar. Sejak menjadi seorang Muslim, ia menempatkan “Siddique” di tengah nama lengkapnya. “Islam menjadi sumber kekuatan dan kebahagiaan saya,” ucapnya.

Teladan Ibnu Ummi Maktum

Keterbatasan fisik tidak lantas melemahkan ketaatan Ibnu Ummi Maktum kepada Allah dan Rasul SAW.

SELENGKAPNYA

Masjid Besar al-Hidayah, Cermin Toleransi di Pulau Dewata

Masjid Besar al-Hidayah menjadi “saksi” kerukunan antarumat beragama.

SELENGKAPNYA

Haji Abdurrahman Sjihab, Teladan Sang Pendidik

Haji Sjihab menaruh perhatian besar pada upaya-upaya menjaga akidah umat.

SELENGKAPNYA