Petugas melintas di area Terminal Kedatangan Internasional Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Badung, Bali, Sabtu (5/11/2022). | ANTARA FOTO/Fikri Yusuf

Opini

G20, Krisis Pangan, dan PR Indonesia

Belum sepenuhnya pulih dari pandemi, anomali iklim memukul ekonomi banyak negara.

KHUDORI, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia  dan Komite Pendayagunaan Pertanian

Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali, 15-16 November 2022, tinggal beberapa hari lagi. Rangkaian pertemuan menuju Bali digelar maraton, termasuk Joint Finance and Agriculture Ministers Meeting (JFAMM) di Washington DC, AS 11-13 Oktober lalu.

Selain krisis ekonomi, kerawanan pangan akibat ancaman krisis pangan global jadi topik pertemuan. Salah satu hasil pertemuan di AS  itu ialah komitmen G20 menyalurkan sukarela special drawing rights sebesar 80,6 milar dolar AS.

Dana ini untuk mendukung negara rentan mengatasi permasalahan struktural jangka panjang yang memiliki risiko ekonomi makro, termasuk pandemi dan perubahan iklim.

Pandemi Covid-19, diakui atau tidak, meluluhlantakkan perekonomian dunia. Belum sepenuhnya pulih dari pandemi, anomali iklim memukul ekonomi banyak negara. Invasi Rusia ke Ukraina, menambah berat masalah.

 
Belum sepenuhnya pulih dari pandemi, anomali iklim memukul ekonomi banyak negara. Invasi Rusia ke Ukraina, menambah berat masalah.
 
 

Bukan hanya lalu-lintas barang dan rantai pasok makin terdisrupsi, perang membuat harga bahan bakar dan pangan, terutama gandum, jagung, dan biji bunga matahari, melonjak. Geopolitik dunia yang memanas menambah ketidakpastian.

Sejumlah negara menerapkan proteksionisme: membatasi ekspor. Sejak awal 2022, delapan negara membatasi bahkan menutup ekspor pangan.

Kala ketidakpastian akibat perang Rusia-Ukraina menguat, negara yang menempuh langkah serupa kian panjang. Puncaknya dilakukan 25 negara. Dihitung sejak awal 2022, restriksi berlangsung 45-an pekan, mewakili 9,81 persen dari total kalori yang diperdagangkan di dunia.

Dibandingkan krisis pangan akut pada 2008 –berlangsung 51 pekan atau setahun, restriksi dilakukan 26 negara mewakili 10,93 persen dari total kalori yang diperdagangkan di dunia—pembatasan kali ini lebih rendah. Namun, situasi menuju akhir 2022 serba tak pasti.

Apalagi, cuaca buruk dan kekeringan mengamuk di banyak negara. Situasi terakhir, negara produsen dan eksportir beras seperti India, Thailand, Vietnam, Pakistan, dan Cina melaporkan penurunan produksi karena anomali cuaca.

India tiba-tiba menutup ekspor beras patah dan mematok bea ekspor 20 persen untuk sejumlah jenis berasnya, 9 September lalu. Tujuannya, mengendalikan harga beras domestik yang naik karena produksi ditaksir turun enam persen.

India eksportir beras nomor satu dunia dengan andil 40 persen. Sepanjang pandemi Covid-19 harga pangan naik tetapi harga beras relatif stabil karena India memperbesar ekspor rerata 21,5 juta ton/tahun, lebih besar dari sebelum pandemi, 9,8 juta ton (2019).

Restriksi ekspor seperti India mudah ditiru negara lain. Bukan mustahil Vietnam atau Thailand, eksporti beras nomor 2 dan 3 dunia, menempuh cara serupa. Ini semua membuat ancaman krisis pangan selalu terbuka.

Bagi negara importir pangan, terutama importir pangan bersih, krisis pangan adalah malapetaka karena selalu berimpit dengan krisis politik, yang tak jarang diikuti kejatuhan rezim.

 
Krisis pangan yang diiringi resesi dan krisis BBM, membuat dunia rentan dalam ketidakpastian.
 
 

Krisis pangan yang diiringi resesi dan krisis BBM, membuat dunia rentan dalam ketidakpastian. Arsitektur politik global akan didominasi pangan. Pertarungan dalam memenuhi/mengontrol pangan jadi penentu gerak geopolitik.

Pandemi Covid-19 menyingkap fakta sistem pangan rapuh, tak adil, dan tak resiliens. Ini tergambar dari fakta 1 dari 10 orang di dunia kekurangan gizi, sementara 1 dari 4 orang kelebihan berat badan. 

Dunia menghasilkan makanan yang bisa memberi makan 1,5 kali jumlah penduduk bumi. Namun suplai makanan berlimpah tak mengalir ke mulut yang memerlukan tetapi ke yang berduit.

Postulat peraih Nobel Ekonomi 1998, Amartya Sen berlaku: akses dan kebebasan lebih penting ketimbang ketersediaan.

Perubahan iklim dan pandemi mengguncang sistem pangan dan memperburuk ketahanan pangan global. Data FAO (2021), ada 720 juta -811 juta orang di dunia kelaparan pada 2020, lebih banyak 118 juta orang pada 2019.

Presidensi Indonesia di G20 memunculkan peluang dan tantangan optimalisasi peran pemerintah, publik, dan swasta merespons titik kerentanan ekonomi akibat krisis pangan.

 
Presidensi Indonesia di G20 memunculkan peluang dan tantangan optimalisasi peran pemerintah, publik, dan swasta merespons titik kerentanan ekonomi akibat krisis pangan.
 
 

Dari serangkaian pertemuan, disepakati tiga agenda kolektif forum G20. Pertama, sistem pangan dan pertanian yang tangguh dan berkelanjutan. Kedua, perdagangan pangan yang terbuka, adil, dapat diprediksi, dan transparan.

Ketiga, bisnis pertanian yang inovatif melalui pertanian digital untuk memperbaiki kehidupan pertanian di pedesaan. Tiga agenda kolektif ini menyentuh akar krisis pangan. Sistem pangan dunia rapuh dan tidak adil karena pangan dunia kian seragam.

Dari 3.000 spesies tumbuhan pangan, hanya 16 yang dibudidayakan, patennya dikuasai segelintir korporasi multinasional (MNC).  Budi daya pertanian dunia hanya bertumpu pada sedikit biji-bijian, terutama gandum, beras, dan jagung. 

Lewat sistem rantai pangan, MNC mengontrol rantai pangan dari gen sampai rak-rak di supermarket tanpa ada titik penjualan (Eagleton, 2005).

Kini, MNC mengontrol input, asupan kimiawi dan paket teknologi, pasar global pestisida, penjualan bibit berikut patennya, dan perdagangan pangan. Praktik sistem pangan demikian membuat reduksi luar biasa keanekaragaman hayati.

Petani semakin tergantung pada paket teknologi (benih, pestisida, pupuk) dari luar dan  sistem pertanian negara berkembang amat rentan. Lewat rantai pangan, MNC mengontrol harga input pertanian, mempraktikan perjanjian jual-beli tidak fair.

Mereka juga membentuk kartel, mendepak perusahaan lokal dari pasar, dan membeli hasil petani dengan harga murah. Petani kecil, penopang pangan 70 persen warga dunia, tersingkir.

 
Pola produksi, distribusi, dan konsumsi makanan kini telah bertransformasi luar biasa.
 
 

Pola produksi, distribusi, dan konsumsi makanan kini telah bertransformasi luar biasa. Pengecer terus mengembangkan outlet dan sistem distribusi yang kian luas dan canggih. Namun jarak tempuh yang jauh membuat makanan tak efisien berdasarkan kalori dan tidak berkelanjutan dalam jangka panjang.

Ini karena jejak karbon akibat perjalanan kian jauh membuat aliran makanan (produksi-distribusi-konsumsi) kian tak ramah lingkungan. Selama ini, kita abai berapa ratus bahkan ribu kilometer makanan “jalan-jalan” dari tempat tumbuh hingga tersedia di piring.

Untuk mewujudkan tiga agenda kolektif di atas, lewat Presidensi di G20, Indonesia bisa mendorong perlunya meregulasi korporasi terutama MNC pangan, untuk menekan bahkan menghilangkan watak predator.

Berbagai upaya di level dunia pernah dilakukan tapi tak berhasil. Solidaritas negara G20, terutama negara maju tempat MNC pangan berasal dan beroperasi, menjadi kunci keberhasilan.

Berikutnya, Indonesia perlu mendorong pentingnya perhatian khusus pada pertanian skala kecil. Selain terbukti memberi makan dunia, pertanian skala kecil terbukti lebih produktif dari pertanian industrial karena sedikit konsumsi BBM (Rosset, 1999), terdiversifikasi, mudah beradaptasi, memperpendek rantai distribusi dan jejak karbon, serta pejal (Altieri, 2008, 2020).

Ini pekerjaan rumah (PR) Indonesia yang tiak ringan karena negara maju cenderung mementingkan diri sendiri ketika krisis, resesi atau pandemi. Proteksionisme ini berulangkali terjadi dan berulangkali tidak menyelesaikan masalah struktural di tingkat global.

Termasuk krisis pangan. Seruan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo di forum JFAMM ihwal perlunya semua negara berkolaborasi menjawab krisis pangan, perlu kembali digelorakan. Pangan itu soal kemanusian, hidup dan mati. Tidak boleh ada satu pun yang tertinggal.

Rabun Jauh Mitigasi Iklim

Kebijakan rabun jauh dalam mitigasi iklim tidak seharusnya dipertahankan.

SELENGKAPNYA

Swasembada Pangan dan Protein

Swasembada protein hewani bukan hal mustahil karena Indonesia kaya pangan sumber protein hewani.

SELENGKAPNYA

Jokowi: Pilpres 2024 Jatah Prabowo

Jokowi mempersilakan pernyataannya diartikan sebagai bentuk dukungan untuk Prabowo

SELENGKAPNYA