Sejumlah warga yang mengenakan pakaian adat mengikuti upacara HUT ke-77 Kemerdekaan RI di Rumah Radakng, Pontianak, Kalimantan Barat, Rabu (17/8/2022). | ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang

Opini

Ujian Persaingan Sehat Tender

Persaingan sehat dalam tender menjadi mimpi yang terealisasi.

MUSTOFA KAMAL, Widyaiswara Ahli Madya di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)

Pada pengujung September 2022, khalayak pengadaaan di Indonesia dikagetkan dengan kejadian operasi tangkap tangan (OTT) pejabat layanan pengadaan secara elektronik atau LPSE Kabupaten Ketapang oleh Polda Kalbar. Kaget, karena gelombang perbaikan sistem di dunia pengadaan telah gencar berjalan seiring beberapa kali perbaikan regulasi pengadaan, tiba-tiba muncul OTT.

Ada kasus apakah dari kejadian OTT tersebut? Tanpa bermaksud me-judgment dan tetap junjung tinggi prasangka baik, pemerhati pengadaan tentu mafhum bahwa pejabat LPSE merupakan aktor signifikan pengawal implementasi “prinsip bersaing” dalam tender untuk meraih tujuan “Tepat Penyedia”.

LPSE (sekarang UKPBJ) menjadi entitas “kunci” yang sangat bisa mewarnai atmosfer persaingan sehat di tender secara elektronik. Jadi, kasus tersebut bisa menjadi bagian dari sinyalemen kemungkinan keterjadian persekongkolan di e-tendering. Fenomena itu bisa jadi hanya pemandangan puncak gunung es. Potensinya masih lebih banyak tidak tampak di permukaan “dokumen dan implementasi prosedur tender”.

 
Deskripsi ini memberi sinyal api “persekongkolan tender seolah tidak ada matinya” di bumi persaingan sehat bidang pengadaan Indonesia.
 
 

Laporan tahunan KPPU tahun 2021 menunjukkan ada 69,2 persen persekongkolan tender atau 45 dari 65 kasus penyelidikan persekongkolan (KPPU, 2022). Jika ditinjau dari tren tahun 2020 ke 2021, maka terungkap anomali antara indeks persaingan usaha (IPU) dengan putusan perkara persekongkolan tender (KongDer).

IPU meningkat dari 4,65 ke 4,81 (atau tumbuh 3,44 persen). KongDer juga meningkat dari 33 persen ke 39 persen (atau tumbuh 18,18 persen). Keduanya tumbuh dan berkorelasi positif dan pertumbuhan KongDer lebih tinggi dari IPU. Padahal, seyogianya hubungan keduanya berbanding terbalik atau korelasi negatif.

Kondisi ini memberi insight bahwa persaingan sehat di tender kemungkinan belum memberi dukungan yang optimal sebagai bagian dari atribusi pembentuk indeks persaingan usaha di Indonesia. Deskripsi ini memberi sinyal api “persekongkolan tender seolah tidak ada matinya” di bumi persaingan sehat bidang pengadaan Indonesia.

Api fraud persekongkolan tender potensi berkobar. Lalu, so what? Big question 1; Apa pemicu api fraud “persekongkolan tender”?

Pemicu fraud persekongkolan tender

Jika ditinjau dari teori fraud triangle (Cressey), maka ada tiga pemicu fraud persekongkolan tender berupa opportunity, pressure, dan rasionalization. Opportunity berupa sistem pengadaan secara elektronik (SPSE) kemungkinan masih lemah. SPSE kemungkinan belum mampu mendeteksi indikasi KongDer.

Padahal ada prinsip bersaing dan ada mandat “pengenaan sanksi kepada penyedia yang terindikasi persekongkolan” di pasal 78 dan 80 Perpres 16/2018 jo 12/2021 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (PBJP). Namun, di SPSE, prosedur untuk deteksi indikasi KongDer kemungkinan belum memadai atau bahkan belum ada.

Pressure bisa berupa tekanan oleh invisible hand kepada para pelaku pengadaan untuk menciptakan persaingan semu demi memenangkan rekanan yang telah booking. Sedangkan, rasionalization bisa berupa nalar umum bahwa bersekongkol dalam tender itu hal biasa.

 
Pressure bisa berupa tekanan oleh invisible hand kepada para pelaku pengadaan untuk menciptakan persaingan semu demi memenangkan rekanan yang telah booking.
 
 

“Persaingan usaha yang sehat dalam tender” hanyalah mimpi yang tak mungkin terbeli. Hari gini gak bersekongkol? Apa kata dunia. Rasionalisasi ini yang membuat rekanan yang waras (sungguh-sungguh mau bersaing secara sehat) menjauh dari lapak tender SPSE.

Jika ditinjau dari Sistem manajemen pemerintah, maka aspek opportunity dapat dioptimasi dengan penguatan SPSE (tanpa bermaksud menafikan aspek pressure dan rasionalization). Kelemahan SPSE dalam mencegah dan mendeteksi persekongkolan perlu dikaji atau ditelaah. SPSE perlu dievaluasi untuk mengetahui titik titik kelemahan system di SPSE.

Big question 2; siapa yang harus melakukan evaluasi? Lembaga Kebijakan Pengadaan Pemerintah (LKPP) kah? UKPBJ-kah? Pelaku PBJ-kah? Atau aparat pengawasan intern pemerintah (APIP)-kah? Atau siapa?

Pelaku evaluasi sistem tender di SPSE

Jika ditinjau dari Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 (PP60/2008) tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), maka dapat dideteksi aktor yang harus melakukan evaluasi sistem di SPSE. PP60/2008 mengungkap bahwa instansi pemerintah (IP) harus membangun SPIP.

Sistem pengendalian intern merupakan proses yang terus-menerus dan integral dalam IP yang dilakukan oleh pimpinan dan pegawai dalam rangka untuk mencapai tujuan organisasi.

Ditinjau dari definisi ini, dapat diungkap bahwa SPSE bagian dari SPIP. SPSE digunakan untuk mencapai tujuan IP berupa ketepatan penyedia dengan praktik prinsip bersaing melalui tender di SPSE. Oleh karena itu, aktor pelaku evaluasi SPSE yaitu semua pimpinan dan semua pegawai IP. 

Keterjadian persekongkolan tender menjadi bukti persaingan semu atau kegagalan persaingan sehat dalam pemilihan penyedia. Sementara itu, tidak ada satu pun IP yang bisa menjamin persekongkolan tender pasti tidak terjadi. So pasti, tender di seluruh IP memiliki potensi keterjadian persekongkolan.

 
Keterjadian persekongkolan tender menjadi bukti persaingan semu atau kegagalan persaingan sehat dalam pemilihan penyedia.
 
 

Jika ditinjau dari PP60/2008, Perpres 16/2018 jo Perpres 12/2021, Peraturan LKPP 10/2021, dan SNI 31000/2018 tentang manajemen risiko sektor publik, maka potensi keterjadian persekongkolan tender bisa masuk dalam terminologi risiko fraud persekongkolan tender di IP karena menghambat tujuan “tepat penyedia” dengan melanggar prinsip “bersaing” secara sehat.

Hal ini menunjukkan bahwa penanganan risiko fraud persekongkolan tender berada di wilayah manajemen IP, tanpa kecuali. IP menangani risiko/indikasi persekongkolan tender, sedangkan KPPU menangani pidana persekongkolannya.

Berdasarkan anomali di laporan KPPU 2021 tersebut diatas, maka likelihood risiko fraud persekongkolan tender bisa dikatakan cukup tinggi. Bahkan, hasil riset menunjukkan risiko fraud persekongkolan tender memiliki level risiko tertinggi dari tujuh risiko fraud pengadaan di era industri 4.0 (Kamal & Elim, 2021).

Deskripsi ini memberi insight baru bahwa ada kombinasi yang kurang baik di SPSE, yaitu SPSE memiliki prosedur dan atau pengendalian yang lemah, tapi ada risiko fraud persekongkolan tender ber-likelihood cukup tinggi.

Kondisi ini menggambarkan dengan jelas “opportunity” fraud persekongkolan tender memang ada. Jika tidak ada kesungguhan menangani peluang fraud, maka api persekongkolan tender mendapat angin untuk berkobar. Hal ini semakin memperkuat urgensi “evaluasi sistem tender di SPSE”.

Big question 3; bagaimana melakukan evaluasi sistem tender di SPSE?

Cara evaluasi sistem tender di SPSE

PP60/2008 mengungkap bahwa aktivitas pengendalian harus sesuai dengan hasil penilaian risiko. Aktivitas pengendalian di SPSE harus sesuai dengan hasil penilaian risiko di SPSE. Oleh karena itu, evaluasi prosedur/pengendalian tender di SPSE dapat dilakukan dengan cara membandingkan antara aktivitas pengendalian saat ini (existing control) di SPSE versus kebutuhan pengendalian untuk deteksi risiko fraud persekongkolan tender.

Existing control atau ECo dapat dikaji dan diidentifikasi dari Perpres 16/2018 jo 12/2021 dan peraturan terkaitnya, terutama yang mengatur tentang mekanisme dan atau prosedur tender elektronik. Sedangkan, praktik dari existing control dapat dikaji dari laporan-laporan tender dan atau putusan KPPU terkait persekongkolan tender. Di Putusan KPPU diungkap kronologi praktik tendernya. 

Secara umum, ECo terdiri dari lima prosedur utama dalam tender, yaitu koreksi aritmatik, evaluasi administrasi, evaluasi teknis, evaluasi harga, dan pembuktian kualifikasi. Kelima prosedur ini dilakukan secara “satu demi satu” untuk setiap penawaran peserta tender.

Jika ada perbandingan antar peserta tender, maka hanya membandingkan hasil dari setiap evaluasi tersebut. Perbandingan ini tidak menyentuh hal-hal detail atau isi dari dokumen penawaran rekanan.

 
Jika ada perbandingan antar peserta tender, maka hanya membandingkan hasil dari setiap evaluasi. Perbandingan ini tidak menyentuh hal-hal detail atau isi dari dokumen penawaran rekanan.
 
 

Padahal, UU 5/1999 mengungkap bahwa persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerja sama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol. Kajian putusan kasus persekongkolan tender tahun 2022 dan 2021 menunjukkan bahwa di antara modus persekongkolan berupa “kesamaan penawaran antara dua atau lebih peserta tender”.

Indikasi atau risiko fraud persekongkolan tender bisa terdeteksi dengan melakukan pembandingan “kesamaan-kesamaan” penawaran antar peserta tender. Penjelasan ini menyimpulkan bahwa ECo di SPSE memang belum efektif untuk mengawal pencapaian tujuan “tepat penyedia sesuai prinsip bersaing”. Kelemahan ECo ini masih kemungkinan dekadensi lagi dengan kelemahan manajemen risiko UKPBJ. 

Di situs Sistem Informasi Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa (lkpp.go.id), MR UKPBJ belum mengungkap risiko fraud persekongkolan tender sebagai bagian dari daftar risiko teridentifikasi di risk register UKPBJ. Fenomena ini cukup miris karena melengkapi “kebesaran peluang fraud persekongkolan tender”.

Hasil evaluasi sistem di SPSE menunjukkan bahwa prosedur tender di SPSE belum efektif untuk menangani risiko fraud persekongkolan tender.

Big question 4; bagaimana menangani kelemahan existing control dalam tender di SPSE?

Pengembangan prosedur dalam tender

Inovasi pengendalian untuk deteksi risiko fraud persekongkolan tender dapat dilakukan dengan maximum control atau MCo yang dapat dikembangkan dari mandat PP60/2008, Perpres 16/2018 jo 12/2021, Peraturan LKPP 10/2021, SNI 31000/2018. Langkah pertama; risk assessment dengan masukkan “risiko fraud persekongkolan tender” dalam risk register UKPBJ.

Risiko dapat diidentifikasi secara retrospektif atau bercermin dari insiden/peristiwa yang pernah terjadi (BPKP, 2015). Hasil penegakan hukum bisa menjadi ide untuk identifikasi kegiatan tender yang diduga ada persekongkolan melalui analisis putusan sidang KPPU (Wisny, 2016).

Level risikonya dapat dianalisis dengan telaah putusan sidang ‘persekongkolan tender’ KPPU dan atau rapat UKPBJ dan atau survei kepada penyedia dan atau teknik lain sesuai beberapa mandat di atas. Setelah level risiko diketahui lalu kembangkan risk response-nya berupa aktivitas pengendalian yang dibutuhkan untuk deteksi risiko fraud persekongkolan tender. 

Putusan sidang KPPU 2020 dan 2021 menunjukkan modus kesamaan penawaran, antara lain; kesalahan pengetikan, kesamaan dokumen penawaran, kesamaan metadata. Di samping itu, di putusan tersebut juga diuraikan rekomendasi KPPU kepada LKPP untuk mendeteksi indikasi persekongkolan tender.

Minimal ada empat kelompok rekomendasi, yaitu penyempurnaan regulasi untuk deteksi kesamaan, membuat petunjuk teknis deteksi indikasi persekongkolan, membuat tools deteksi indikasi persekongkolan di SPSE, dan pelatihan pelaku PBJ tentang deteksi indikasi persekongkolan tender. Penjelasan tersebut mencerminkan bahwa MCo dapat dikembangkan dan diintegrasikan ke SPSE secara legal dan akuntabel. 

Kesungguhan persaingan sehat dalam tender pengadaan

Semua uraian di atas menggambarkan bahwa kesungguhan persaingan sehat di tender tercermin dari kesungguhan dalam penanganan indikasi/risiko fraud persekongkolan tender melalui pengembangan MCo di SPSE. Semua sudah ada mandat, ada praktik nyata persekongkolan tender, ada rekomendasi KPPU, dan ada ide inovasi yang akuntabel. Tinggal, mau atau tidak, sungguh-sungguh atau tidak, tulus atau bulus dalam tender. 

Apabila pimpinan IP dan atau UKPBJ masih enggan mengembangkan MCo, maka ada insight bahwa memang itulah “risk appetite”-nya atau berselera untuk menghirup atmosfir persekongkolan tender di SPSE. Prinsip “bersaing” yang sehat dalam tender pengadaan jangan sampai berubah substansi menjadi prinsip “bertaring” yang kuat bersekongkol.

Akronim SPSE jangan sampai berubah substansi menjadi “sandiwara” pengadaan secara elektronik dan jangan sampai para pelaku usaha yang tulus untuk “bersaing secara sehat” semakin menjauh dari ekosistem pengadaan. Jika ini terjadi, maka persaingan semu dalam tender berpotensi abadi.

Lalu, untuk apa SPSE? Pelaku usaha yang bersekongkol potensi bercokol di ekosistem pengadaan dan mengitari keputusan persaingan semu tender di IP.  Sungguh tragis!

Semoga tidak. Pengadaan kredibel akuntabel masih bisa menjadi mimpi yang terbeli. Persaingan sehat dalam tender menjadi mimpi yang terealisasi. Rekanan yang tepat terpilih melalui prosedur tender SPSE yang patuh pada mandat secara tepat. Bukan tender patgulipat.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Jaringan Kesantrian Sebagai Bekal Hidup

Para santri telah disiapkan agar dapat berkiprah dalam berbagai bidang.

SELENGKAPNYA

Dakwah Santri Harus Lebih Kreatif

Dengan masyarakat yang semakin terdigitalisasi, santri harus lebih kreatif berdakwah

SELENGKAPNYA

Saat Qisas Berganti Pemaafan

Mereka pun meminta eksekusi dibatalkan lantaran memilih pemaafan.

SELENGKAPNYA