
Analisis
Dunia Gelap, Beruntung Kita Indonesia
Karena yang terbentuk pola pikir krisis, yang terbentuk pun akan menjadi perilaku ketika krisis.
Oleh SUNARSIP
OLEH SUNARSIP
Belakangan ini, banyak sinyal pesimistis terkait prospek ekonomi dunia pada 2023. Mulai dari lembaga keuangan internasional, para analis, bahkan termasuk pemerintah. Mungkin maksudnya agar kita waspada dan mempersiapkan diri ketika kondisi tersebut terjadi. Namun, juga tidak baik kalau kita terlalu sering menebarkan pesimisme.
Berita krisis akan membentuk pola pikir krisis. Karena yang terbentuk adalah pola pikir krisis, perilaku yang terbentuk pun akan menjadi perilaku ketika krisis. Kondisi ekonomi yang tidak krisis pun bisa terbawa menjadi krisis. Mindset akan menuntun, akan menjadi seperti apa kondisi ekonomi kita ke depan.
Eropa dan Amerika Serikat memang sedang menghadapi kondisi berat. Mereka menghadapi tekanan inflasi yang tinggi akibat mahalnya harga komoditas. Penyebab kenaikan harga komoditas beragam.
Pertama, karena adanya gangguan mata rantai pasokan (supply-chain disruption) seiring dibukanya kembali mobilitas pasca pandemi Covid-19. Kedua, adanya gangguan pasokan, khususnya energi, akibat perang Rusia-Ukraina. Kenaikan harga komoditas menyebabkan biaya produksi juga naik. Kenaikan inflasi akibat tekanan biaya produksi ini disebut cost-push inflation.
Berita krisis akan membentuk pola pikir krisis. Karena yang terbentuk adalah pola pikir krisis, perilaku yang terbentuk pun akan menjadi perilaku ketika krisis.
Sejumlah analis menyebutkan tingginya inflasi di Eropa dan AS juga dikontribusikan oleh dampak dari stimulus selama pandemi yang dinilai berlebihan (over stimulated). Konsekuensinya, jumlah uang beredar sangat besar (over liquid) yang mendorong kenaikan permintaan dan inflasi.
Kenaikan inflasi akibat dorongan permintaan ini disebut demand-pull inflation. Dengan kata lain, inflasi di Eropa dan AS dibentuk oleh dua faktor sekaligus: cost-push inflation dan demand-pull inflation.
Sejauh ini, respons kebijakan yang mereka lakukan baru sebatas mengendalikan demand. Pengendalian demand dilakukan melalui penarikan likuiditas. Caranya, mengerek suku bunga acuan (policy rate) pada level yang tinggi sehingga mendorong lembaga keuangan membeli surat berharga yang dikeluarkan bank sentralnya.
Melalui kebijakan ini diharapkan uang yang beredar masuk ke bank sentral sehingga mengurangi dorongan konsumsi dan investasi yang berdampak inflasi. Pertanyaannya, efektifkah kebijakan ini?
Data memperlihatkan bahwa setelah Eropa dan AS melakukan serangkaian kenaikan policy rate-nya, inflasi relatif tidak bergerak turun. Inflasi di Eropa masih tinggi. Meskipun sejak Juni 2022 inflasi AS memperlihatkan pergerakan turun, tapi masih relatif tinggi dibanding posisi April, ketika bank sentral AS belum secara masif menaikkan policy rate.
Melalui kebijakan ini diharapkan uang yang beredar masuk ke bank sentral sehingga mengurangi dorongan konsumsi dan investasi yang berdampak inflasi.
Di sisi lain, mereka juga mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi. Tingginya inflasi di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi inilah yang menimbulkan stagflasi. Sulitnya pengendalian inflasi disebabkan negara-negara itu belum mampu mengendalikan sisi cost-push inflation. Supply-chain disruption belum sepenuhnya dapat diatasi, kini muncul gangguan baru akibat perang Rusia-Ukraina.
Indonesia juga menghadapi situasi eksternal yang relatif sama: tingginya harga komoditas. Namun, karena regulasi dan kebijakan kita didesain berbeda maka hasilnya pun berbeda. Di Eropa dan di AS, setiap kenaikan harga energi dan bahan baku langsung dibebankan ke biaya produksi dan harga-harga barang.
Ketika harga minyak, batu bara, dan gas naik maka dengan sendirinya harga bahan bakar dan listrik juga ikut naik. Akibatnya, masyarakat dan industri di Eropa khususnya kini menjerit akibat tingginya harga energi terutama listrik.
Di Indonesia, komoditas strategis telah diregulasi sejak di hulu. Batu bara, misalnya, pemerintah menetapkan kebijakan domestic market obligation (DMO) 30 persen untuk kelistrikan nasional. Tidak hanya volumenya, pemerintah juga menetapkan harga tertinggi terhadap batubara DMO sebesar 70 dolar AS per ton sejak 2018.
Di Indonesia, komoditas strategis telah diregulasi sejak di hulu. Batu bara, misalnya, pemerintah menetapkan kebijakan DMO 30 persen untuk kelistrikan nasional.
Demikian juga untuk gas. Harga gas tertinggi 6 dolar AS per mmbtu untuk beberapa industri strategis seperti pupuk, petrokimia, baja, dan lain-lain. Dengan berbagai kebijakan ini, dampak kenaikan harga batu bara dan gas di pasar global dapat dimitigasi sehingga tidak secara langsung meningkatkan biaya produksi dan harga (tarif) produk.
Hasilnya, inflasi relatif terkendali. Terkendalinya inflasi ini menjadi modal menjaga daya beli dan mempertahankan momentum pertumbuhan. Dengan kata lain, di tengah ekonomi dunia yang diproyeksikan suram, Indonesia memiliki peluang konsisten tumbuh positif bahkan leading di antara negara-negara lain.
Krisis di Eropa dan AS memang akan berdampak pada Indonesia, khususnya dari sisi perdagangan. Namun, krisis ini juga bisa menjadi peluang, blessing in disguise. Faktanya, sejauh ini tidak semua negara menghadapi situasi serupa.
Banyak negara (berkembang) masih melanjutkan momentum pertumbuhan pasca pandemi. Negara-negara tersebut tidak ingin resesi yang diperkirakan terjadi di negara lain akan menghentikan momentum pertumbuhannya. Resesi menyebabkan berkurangnya pasokan. Karenanya, mereka akan mencari sumber pasokan lain untuk menjaga kontinuitas produksi.
Krisis di Eropa dan AS memang akan berdampak pada Indonesia, khususnya dari sisi perdagangan. Namun, krisis ini juga bisa menjadi peluang, blessing in disguise.
Dengan keragaman produk ekspor yang dimilikinya, Indonesia berpeluang mengisi kekosongan pasokan global. Nah, peluang ini tentu perlu dijaga jangan sampai hilang akibat kita mengikuti arus global dengan secara masif menaikkan suku bunga acuan.
Beberapa analis menyebutkan Indonesia perlu menyesuaikan suku bunga acuannya agar suku bunga riil (real interest rate) tetap positif dalam rangka menjaga investor portofolio tidak lari ke negara lain yang menaikkan suku bunga acuan. Suku bunga riil adalah suku bunga nominal dikurangi dengan inflasi.
Pertanyaannya, adakah negara yang saat ini memiliki real interest rate positif? Rasanya hampir tidak ada. Karena tidak ada, ujung-ujungnya para investor akan mencari negara yang menawarkan negative real interest rate terendah atau mengalihkan investasinya ke nonkeuangan.
Suku bunga riil Indonesia juga negatif. Namun, negative real interest rate kita relatif lebih kecil. Kalau masih lebih baik, lalu mengapa kita masih mengalami capital outflow?
Sayangnya, dua tahun terakhir ini tidak banyak perusahaan yang menerbitkan surat berharga baru, baik melalui IPO, rights issue atau obligasi.
Tentunya, jangan hanya dilihat dari aspek real interest rate saja. Perlu dilihat pula kedalaman pasar keuangan kita khususnya di pasar modal. Ini mengingat, ketika investor asing akan menempatkan dananya tentu akan melihat pula: kedalaman aktivitas pasar keuangan di negara tersebut.
Mereka tidak mungkin menempatkan seluruh investasinya pada instrumen yang dikeluarkan bank sentral. Mereka akan mencari instrumen investasi lain seperti pada saham dan obligasi.
Sayangnya, dua tahun terakhir ini tidak banyak perusahaan yang menerbitkan surat berharga baru, baik melalui IPO, rights issue atau obligasi. Nah, kalau tidak banyak, bagaimana mungkin para pemodal asing akan bertahan pada pasar yang sudah jenuh?
Inilah kira-kira alasannya, meskipun Bank Indonesia (BI) sudah menaikkan suku bunga acuan, capital outflow masih terjadi. Harus diakui, dua tahun terakhir ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memang belum bergerak aktif mendorong pendalaman pasar modal, memanfaatkan momentum pertumbuhan yang sedang terjadi.
Kesimpulannya, di belahan dunia lain memang boleh gelap prospeknya. Namun, Indonesia itu unik. Indonesia tetap memiliki peluang melanjutkan momentum pertumbuhan. Salah satu kuncinya dengan mempertahankan konfigurasi kebijakan dan regulasi sebagaimana disebutkan di atas.
Tinggal sektor keuangan yang perlu dijaga agar capital outflow tidak terjadi. Pendalaman pasar keuangan mutlak perlu didorong. Jadi, mari perbanyak sinyal postif, jangan sebaliknya: terlalu sering menyampaikan sinyal pesimistis.
Kain Persembahan Sultan
Tanggal 7 Oktober diperingati sebagai Hari Kapas Sedunia, tanaman yang buahnya selama berabad-abad berjasa menutup aurat warga bumi.
SELENGKAPNYASejarah Narkoba di Batavia
Sebelum masa VOC (1619), madat atau candu merupakan komoditas yang diperdagangkan di pelabuhan Sunda Kelapa.
SELENGKAPNYABerdiri Saat Baca Asyraqal Maulid, Apa Dasarnya?
Ketika mahallul qiyam, Rasulullah SAW seakan hadir di majelis maulid itu
SELENGKAPNYA