
Teraju
Menjaga Inflasi tak Meninggi
Masih banyak peluang untuk menjaga inflasi sesuai koridor yang aman.
OLEH RAKHMAT HADI SUCIPTO
Inflasi kerap menjadi momok bagi setiap negara. Jangankan bagi negara-negara berkembang, negara-negara maju saja kelabakan begitu menghadapi tingkat inflasi yang tinggi.
Amerika Serikat dan mayoritas negara-negara Eropa juga sedang terbelit inflasi yang tinggi. Mereka benar-benar sudah terperangkap dalam hiperinflasi sehingga mengganggu kehidupan mayoritas masyarakat. Dengan inflasi yang tinggi, anggaran rumah tangga untuk mendapatkan barang-barang kebutuhan sehari-hari menjadi lebih tinggi. Beban pengeluaran makin berat karena untuk memperoleh beragam layanan pun harus dengan biaya yang lebih besar.
Indonesia pun terus mewaspadai pergerakan inflasi ini. Selama beberapa tahun pemerintah berusaha menjaga tingkat inflasi pada rentang 3,0-4,0 persen. Level inflasi tersebut dianggap yang paling pas serta aman bagi masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan harga barang dan jasa yang mereka butuhkan.
Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja mengumumkan angka inflasi bulan September 2022 pada Senin (03/10) lalu. Kepala BPS Margo Yuwono mengungkapkan, pada September 2022 terjadi inflasi sebesar 1,17 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 112,87. Dari 90 kota IHK, 88 kota mengalami inflasi dan dua kota mengalami deflasi.
Inflasi tertinggi terjadi di Bukittinggi sebesar 1,87 persen dengan IHK sebesar 114,45 dan terendah terjadi di Merauke sebesar 0,07 persen dengan IHK sebesar 109,49. Sementara, deflasi tertinggi terjadi di Manokwari sebesar 0,64 persen dengan IHK sebesar 113,97 dan terendah terjadi di Timika sebesar 0,59 persen dengan IHK sebesar 113,87.
Margo menjelaskan, inflasi terjadi karena adanya kenaikan harga yang ditunjukkan oleh naiknya sebagian besar indeks kelompok pengeluaran, yaitu: kelompok pakaian dan alas kaki sebesar 0,20 persen; kelompok perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga sebesar 0,16 persen; kelompok perlengkapan, peralatan dan pemeliharaan rutin rumah tangga sebesar 0,35 persen; kelompok kesehatan sebesar 0,57 persen; kelompok transportasi sebesar 8,88 persen; kelompok rekreasi, olahraga, dan budaya sebesar 0,31 persen.
Kelompok pendidikan sebesar 0,21 persen; kelompok penyediaan makanan dan minuman/restoran sebesar 0,57 persen; dan kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya sebesar 0,28 persen. Kelompok pengeluaran yang mengalami penurunan indeks, yaitu: kelompok makanan, minuman dan tembakau sebesar 0,30 persen serta kelompok informasi, komunikasi, dan jasa keuangan sebesar 0,03 persen.
Tingkat inflasi tahun kalender (Januari–September) 2022 sebesar 4,84 persen dan tingkat inflasi tahun ke tahun (September 2022 terhadap September 2021) sebesar 5,95 persen. Komponen inti pada September 2022 mengalami inflasi sebesar 0,30 persen. Tingkat inflasi komponen inti tahun kalender (Januari–September) 2022 sebesar 2,81 persen dan tingkat inflasi komponen inti tahun ke tahun (September 2022 terhadap September 2021) sebesar 3,21 persen.
Efek lanjutan
Bank Indonesia (BI) memperkirakan pada bulan-bulan mendatang tekanan inflasi IHK akan meningkat. Ini bisa terjadi karena ada dampak lanjutan (second round effect) dari penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, menguatnya tekanan inflasi dari sisi permintaan, dan masih tingginya harga energi dan pangan global. Berbagai perkembangan tersebut diprediksi bakal mendorong inflasi tahun 2022 sehingga melebihi batas atas sasaran 3,0±1 persen.
Dengan perkiraan seperti itu, menurut Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono, perlu sinergi kebijakan yang lebih kuat antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan Bank Indonesia, baik dari sisi pasokan maupun sisi permintaan untuk memastikan inflasi kembali ke sasarannya pada paruh kedua 2023.
Bank Indonesia terus memperkuat koordinasi kebijakan dengan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan mitra strategis dalam Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP dan TPID) melalui peningkatan efektivitas pelaksanaan Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) di berbagai daerah untuk menjaga stabilitas harga dan ketahanan pangan.
Penurunan inflasi inti secara bulanan terutama dipengaruhi oleh deflasi komoditas emas perhiasan seiring dengan pergerakan harga emas global di tengah dampak lanjutan penyesuaian harga BBM terhadap inflasi inti yang tetap terjaga pada September 2022. Penurunan lebih lanjut tertahan oleh kenaikan kelompok pendidikan seiring dengan berlanjutnya proses pemulihan ekonomi.
Bank Indonesia memperkirakan pada bulan-bulan ke depan inflasi inti dan ekspektasi inflasi masih akan berlanjut sejalan dengan dampak lanjutan dari penyesuaian harga BBM bersubsidi dan menguatnya tekanan inflasi dari sisi permintaan. Bank Indonesia berkomitmen untuk menurunkan ekspektasi inflasi dan inflasi inti kembali ke sasaran 3+1% pada paruh kedua 2023.
Perkembangan tersebut, menurut pengamatan bersama, terutama dipengaruhi oleh deflasi bawang merah, aneka cabai, dan minyak goreng sejalan dengan peningkatan pasokan seiring panen raya di daerah sentra produksi dan pasokan minyak goreng yang terjaga. Di sisi lain, komoditas beras mengalami inflasi seiring dengan periode musim panen gadu di daerah sentra produksi. Secara tahunan, kelompok volatile food mengalami inflasi 9,02% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi pada bulan sebelumnya yang tercatat sebesar 8,93 persen (yoy).

Terbilang rendah
Bila dibulatkan, tingkat inflasi September 2022 terhadap periode yang sama 2021 mencapai 6,0 persen. Meski demikian, beberapa pihak menilai angka inflasi Republik Indonesia (RI) ini tergolong rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lainnya.
Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, RI menjadi negara nomor lima dengan kenaikan inflasi terendah sesuai dengan data Mckinsey pada Juni 2022 lalu. Dia menuturkan, lonjakan angka inflasi Indonesia berada pada rentang 4,0 persen. Namun, inflasi RI masih lebih besar dibandingkan dengan Swiss, Arab Saudi, Cina, maupun Jepang.
Airlangga menyatakan, keempat negara tersebut mencatat kenaikan inflasi kurang dari 3,0 persen per 30 Juni 2022 berdasarkan data Mckinsey. Indonesia masih lebih tinggi. “Namun, masih kurang dari 4,0 persen year over year," ungkap Airlangga.
Indonesia, menurut Airlangga, ada pada posisi ketiga dalam daftar negara dengan kenaikan inflasi terendah di seluruh Asia. Kenaikan tingkat inflasi RI lebih rendah ketimbang Korea Selatan (Korsel). Jepang dan Cina masing-masing menempati urutan pertama dan kedua.
Menurut Airlangga, angka inflasi negara-negara Asia tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan perkiraan masing-masing negara. Eropa justru yang mengalami kondisi yang lebih parah. Sebagai contoh adalah Lithuania yang mencatat tingkat inflasi 15,5 persen per tahun. Tingkat inflasi sebesar itu lima kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan proyeksi inflasinya.
Pemerintah tentu harus semakin agresif mengontrol tingkat inflasi, terutama mengamati pergerakan harga barang-barang kebutuhan pokok, termasuk beras. Data BPS menunjukkan, harga beras terus melonjak dalam tiga bulan terakhir. Bila lonjakan harga makanan pokok masyarakat Indonesia ini tak terkendali, akan menambah tekanan inflasi yang lebih parah. Selama ini, beras menjadi komoditas pangan yang mudah memicu laju inflasi.
Berdasarkan data BPS, beras turut mendorong laju inflasi sebesar 0,04 persen (month to month) pada September 2022. Kontribusi komoditas ini ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi Agustus 2022 yang hanya tercatat sebesar 0,02 persen.
Margo pun menyoroti kontribusi komoditas beras terhadap inflasi. Dia juga mengaku sudah sering mengingatkan para pemangku kepentingan tentang efek kenaikan harga beras dan dampaknya ke inflasi Indonesia. Selama ini beras memberikan porsi atau bobot yang cukup tinggi dalam perhitungan inflasi, sebesar 3,33 persen.
Pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya tentu harus mencermati persoalan tersebut. Meski kenaikan beras tipis, komoditas ini terbukti memberi pengaruh besar terhadap inflasi.
Khusus pada September 2022, menurut Margo, kenaikan beras tak terjadi karena persoalan pasokan, tetapi dipicu kenaikan ongkos transportasi dan upah kuli panggul. “Ini karena kenaikan transportasi naik," ujar Margo.
Masalah tak akan muncul sepanjang cadangan dan pasokan beras memadai bagi seluruh masyarakat. Ketersediaan bahan pangan lainnya juga harus terkendali. Bila pasokan terganggu di tengah kenaikan ongkos transportasi, harganya bisa semakin melambung.
Dengan kemampuan produksi pangan yang memadai, seharusnya Indonesia tak boleh cemas menghadapi inflasi. Pemerintah harus mampu berkoordinasi dengan pihak-pihak lainnya demi menjadi suplai pangan tetap tersedia secara memadai. Tentu saja, pemerintah juga harus memperhatikan para petani agar mereka tetap termotivasi menggarap ladang mereka setiap hari.
Simthud ad-Duror, Kitab Maulid Nabi Bertabur Keindahan
Tulisan dalam kitab ini dirangkai dengan bahasa-bahasa pilihan dalam bentuk qasidah
SELENGKAPNYASiapakah Shahib Simthud ad-Duror?
Kitab Simthu ad-Duror ditulis oleh Habib Ali bin Muhammad bin Husain al-Habsyi
SELENGKAPNYASyekh KH Abdullah Mubarok, Sang Mursyid Pendiri Suryalaya
Ayahanda Abah Anom ini turut mengembangkan Tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah sejak zaman kolonial.
SELENGKAPNYA