Jenderal Soedirman | istimewa

Tokoh

Mengapa Soedirman Jadi Panglima?

Panglima Besar Jenderal Soedirman juga dikenal sebagai sosok yang rajin beribadah.

Mengapa Soedirman? Mengapa bukan tokoh militer lain yang lebih senior untuk menjadi panglima besar tentara? Saat itu, menurut sejarawan Universitas Indonesia Anhar Gonggong, ada tiga basis militer di tentara Republik.

Pertama adalah Pembela Tanah Air (Peta). Kedua adalah Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL). Dan ketiga adalah laskar-laskar perjuangan. Ketiganya masuk ke dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang merupakan cikal bakal dari terbentuknya Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Kepala Bidang Dokumen Pusat Sejarah (Pusjarah) TNI Letkol Caj Kusuma mengungkapkan, TNI kerap disebut sebagai angkatan perang yang menciptakan dirinya sendiri. "Pembentukan tentara kan pelan-pelan. Makanya ada ahli bilang, tentara Indonesia itu adalah tentara yang tumbuh. Tentara yang menciptakan dirinya sendiri," tutur Kusuma saat berbincang dengan Republika, Selasa (15/1/2019).

Panglima Tentara Keamanan Rakyat yang resmi dan sudah ditunjuk pemerintah saat itu adalah Soepriyadi. Soepriyadi dikenal sebagai pemimpin gerakan pemberontakan Peta di Madiun. Masalahnya, sejak ditunjuk sampai dengan merdeka, dan situasi tentara dalam krisis kepemimpinan, Soepriyadi ini tidak pernah tampil.

Pemerintah Soekarno-Hatta dan Perdana Menteri Sutan Sjahrir pun meminta harus ada pertemuan seluruh pemimpin tentara untuk menentukan masa depan mereka. Agendanya soal reorganisasi tentara dan agenda sisipan memilih pemipin tentara.

Pertemuan digelar pada 12 November 1945 di Markas Tinggi TKR di Gondokusuman, Yogyakarta. Hadir selain dari kelompok militer adalah Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sunan Pakubuwono XII, dan Mangkunegoro X.

Wakil wilayah dalam pertemuan itu agak pincang. Tercatat, hanya Jawa Barat dan Jawa Tengah yang lengkap perwakilannya. Jawa Timur absen sebab di tengah serbuan tentara Inggris dan Belanda dalam perang 10 November. Perwakilan Sumatra hanya mengirimkan Kolonel Mohammad Noeh yang mengeklaim mewakili enam divisi. Tidak ada wakil dari Kalimantan dan Sulawesi.

photo
Presiden Sukarno saat menerima Jenderal Soedirman di Yogyakarta pada 1947. - (istimewa)

Anhar mengatakan, saat itu berdasarkan kalkulasi rasional, kemungkinan Oerip menjadi panglima jauh melampaui Soedirman. Apalagi, Oerip diutus langsung oleh pemerintah untuk mengorganisasi divisi-divisi perang di Jawa dan Sumatra.

Oerip unggul dari segi senioritas, kemampuan pengorganisasian, dan kepangkatan sebagai letnan jenderal. "Soedirman pangkatnya hanya kolonel dan baru beberapa tahun menjadi tentara Peta," kata Anhar.

Dalam buku yang ditulis eks ajudan Soedirman, Tjokropranolo, berjudul Jenderal Soedirman Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia, Kisah Seorang Pengawal (1993) dirunutkan bagaimana detik-detik pemilihan tersebut.

..."Suasana rapat menjadi makin hangat dan ramai tatkala pemilihan Pimpinan Tertinggi TKR dimulai, tetapi karena yang hadir belum siap untuk mengajukan calon masing- masing, maka atas prakarsa Pak Dirman rapat diskors sebentar. Pada saat itu nampaknya sudah kelihatan kebijaksanaan dan kearifan Pak Dirman yang ketika itu berpangkat kolonel dan termasuk pimpinan yang perlengkapan dan senjata pasukannya tergolong paling banyak.

Ketika rapat dimulai lagi, pimpinan rapat dipegang oleh Holland Iskandar. Pemilihan berjalan secara terbuka, demokratis, dan pada papan tulis dicantumkan nama-nama calon, di antaranya yakni Hamengkubuwono IX, Widjoyo Soeryokusumo, GPH Prabunegoro, Oerip Soemohardjo, Soedirman, Suryadarma, M Pardi, dan Nazir."

"Pemilihan dilakukan dengan hanya mengangkat dan mengacungkan tangan satu per satu, setelah nama-nama calon disebutkan oleh panitia. Pemilihan dilakukan tiga kali. Yang pertama dua orang calon gugur. Pemilihan selanjutnya dua orang calon juga gugur lagi. Barulah pada pemilihan yang ketiga, giliran nama Kolonel Soedirman disebut.

Hasil hitungan menunjukkan suara terbanyak bagi calon yang namanya disebut terakhir kali. Selisih perbedaan suara yang diperoleh antara Pak Dirman dan Pak Oerip Soemohardjo tidak banyak. Tetapi dari enam divisi di Sumatra yang mewakili enam suara memberikan seluruh suaranya itu kepada Pak Dirman. Dalam rapat itu, Pak Dirman sebagai salah satu bekas opsir Peta yang pada waktu itu baru berusia 29 tahun, terpilih sebagai Panglima TKR."

photo
Presiden Soukarno saat menerima Jenderal Soedirman di Yogyakarta pada 1947. - (istimewa)

"Oerip Soemohardjo yang usianya jauh lebih tua, diminta untuk tetap menjadi kepala staf umum TKR. Beliau dianggap mahir soal strategi militer dalam menghadapi tentara Belanda. Di samping itu juga, tokoh ini adalah seorang profesional di dalam urusan organisasi kemiliteran. Tetapi di pihak lain, latar belakang militernya sebagai seorang bekas opsir KNIL membuat dirinya dicurigai oleh banyak perwira TKR yang lebih muda usianya."

"...Akibatnya banyak dari perwira-perwira TKR yang mendukung Pak Dirman untuk menduduki jabatan sebagai orang nomor satu di jajaran TKR. Mengapa Pak Dirman? Apakah beliau dikenal baik oleh semua komandan divisi di Sumatera dan di lain-lain daerah?

Bentuk perawakannya tidak sekokoh rekan perwira yang lainnya, meskipun pernah mengikuti latihan Peta sebagai daidancho, namun sifat hakikinya adalah seorang pendiam, teguh hati, lemah lembut dalam bertutur kata, tetapi tegas sebagai seorang pemimpin dalam ketentaraan. Beliau lebih banyak mendengar pendapat orang lain, tetapi cepat mengambil kesimpulan yang tepat. Sekali putusan diambil, tidak dapat mudah diubah lagi oleh siapa pun."

"Mungkinkah pilihan itu diberikan berkat kepemimpinannya selama hari-hari pertama pembentukan BKR di Banyumas, yang mengadakan perlucutan senjata terhadap balatentara Jepang dengan jalan diplomasi tanpa banyak korban. Atau karena Pak Dirman memimpin divisi yang persenjataannya lebih banyak yang diperoleh dari hasil penyitaan dari pihak Jepang sehingga dapat membantu divisi lain yang kekurangan senjata?"

photo
Gerilyawan Republik Indonesia dari kalangan rakyat ditawan oleh militer Belanda di Surakarta. - ( Arsip Nasional Belanda)

..."Ataukah karena beliau seorang yang pernah menjabat sebagai guru Muhammadiyah yang biasanya memiliki sifat kebapakan. Ataukah karena beliau selalu tekun menjalankan agamanya yaitu agama Islam sehingga beliau berkat rahmat dan bimbingan Allah SWT lahir sebagai seorang pemimpin..." demikian pemaparan Tjokropranolo. 

Rekam jejak Soedirman

Pendidikan karakter dalam kepanduan Hizbul Wathan seperti keberanian, kesetiaan, membela kebenaran, kejujuran, dan kedisplinan mewarnai kehidupan Panglima Besar Jenderal Soedirman. Semasa remaja dia aktif di Hizbul Wathan Cilacap.

"Ibu saya, Siti Alfiah, dulu waktu remaja juga aktif di Hizbul Wathan karena eyang Sastroatmodjo (orang tua dari ibu) sebagai pengurus Muhammadiyah," kata M Teguh Soedirman (70 tahun) kepada Republika, di kediamannya yang merupakan rumah keluarga besar Panglima Jenderal Soedirman, Yogyakarta, Sabtu (12/1/2019).

Ketika masih seusia SMP, Soedirman sudah dipercaya menjadi pimpinan Hizbul Wathan dan waktu itu anggota Hizbul Wathan (HW) belum ada yang tua. "Di masa pemudanya, Soedirman juga aktif di Pemuda Muhammadiyah dan diangkat sebagai pimpinan HW di Cilacap, sehingga sering datang dan melakukan pertemuan di rumah eyang Sastroatmodjo dengan berkedok koordinasi internal Muhammadiyah," kata putra bungsu Jenderal Soedirman ini.

Sastroatmojo memiliki seorang putri bernama Siti Alfiah. semua orang ingin menjadi menantu Sastroatmodjo, termasuk Soedirman. Karena Soedirman merupakan orang yang disegani teman-temannya maka teman-teman Soedirman mundur.

Kebetulan Ibu Siti Alfiah sayang dengan Soedirman. "Ibu Sastroatmodjo mengatakan kepada Siti Alfiah bahwa ia tidak ingin memiliki menantu yang kaya, tetapi yang memiliki akhlakul karimah karena kalau kekayaan bisa dicari, sedangkan akhlak yang baik itu sulit dicari," kata Teguh.

photo
Sejumlah siswa mengamati tandu yang digunakan oleh Panglima Besar Jendral Soedirman yang dipamerakan pada Gelar Museum Nusantara, di Jakarta Convention Centre (JCC), Senayan, Jakarta, Kamis (22/11/2012). - (ANTARA)

Kebetulan Siti Alfiah ketika remaja juga sudah sering bertemu dengan Soedirman saat berkegiatan di pendidikan Wiworotomo (setara SMP) di Cilacap dan sama-sama aktif di kegiatan kepemudaan Muhammadiyah. Akhirnya, menikahlah Siti Alfiah dan Soedirman yang dikaruniai tujuh anak.

Ketika Siti Alfiah hamil anak sulung, ia dan Soedirman diundang sebagai utusan Muhammadiyah dari wilayah Banyumas untuk mengikuti Kongres Muhammadiyah di Gunung Tidar, Magelang. Waktu itu Soedirman selain aktif di Pemuda Muhammadiyah juga sudah menjadi guru di sekolah Muhammadiyah. Karena terkesan dengan kegiatan di sana maka anak pertamanya diberi nama Ahmad Tidarwono.

Soedirman sejak kecil dididik orang tuanya yang paling pokok dalam kehidupan itu pendidikan agama. Sepulang sekolah, Soedirman pergi ke langgar untuk belajar Alquran (sekarang TPA). Soedirman yang lahir di Rembang, Purbalingga 24 Januari 1916 dari keluarga bangsawan yang bertugas sebagai Asisten Wedana (camat) di Bodas Karangjati Purbalingga Raden Tjokrosoenarjo dan setelah pensiun pulang ke Cilacap.

Karena itu, pada waktu menikah, Soedirman diberi nama tua "Tjooatmodjo" yang hanya digunakan waktu perang gerilya ketika Soedirman mengirim surat kepada istrinya lewat kurir agar tidak diketahui oleh musuh.

"Yang diyakini oleh keluarga kami, Raden Tjokrosoenarjo merupakan ayah kandung Pak Dirman (panggilan akrab Panglima Besar Jenderal Soedirman) dan Pak Dirman merupakan anak tunggal Raden Tjokrosoenarjo dengan Siyem. Setelah memiliki anak Pak Dirman, Siyem menikah lagi dengan Pak Karsid). Pernikahan Siyem dan Pak Karsid memiliki seorang anak bernama Samingan," kata Teguh yang saat ayahnya meninggal berusia sembilan bulan.

photo
Kendaraan bermotor melintas di dekat patung Jenderal Soedirman yang dalam proses akhir pemasangan di jalur jalan Sudirman, Tanah Tinggi, Tangerang, Banten, Selasa (16/12/2014). - (ANTARA FOTO)

Menurut Teguh, waktu ayahnya meninggal, kakak sulung Teguh yang bernama Ahmad Tidarwono masih berusia 12 tahun. Semua cerita yang terkait dengan Panglima Jenderal Soedirman diperoleh dari ibunya.

"Ibu pernah mengatakan cerita tentang Bapak harus diketahui anak-anaknya, supaya nanti tidak kepaten obor mengenai sejarah Pak Dirman. Karena para generasi muda yang lahir sesudah tahun 1950-an mungkin tidak tahu siapa Pak Dirman," tutur Teguh.

Pesannya adalah pendidikan agamanya kuat dan selalu menjalankan perintah Allah yang disampaikan kepada Rasulullah SAW, yakni tak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Karena itu, Pak Dirman selalu menekankan pendidikan agama dan menekankan shalat lima waktu kepada putra-putrinya melalui Bu Dirman.

"Kewajiban shalat lima waktu sudah kami lakukan sejak kecil hingga sekarang, alhamdulillah. Itulah yang selalu ibu sampaikan dan contohkan kepada anak-anak karena shalat lima waktu kuncinya masuk surga dan tiang agama," kata dia.

Mengapa Pak Dirman selalu berhasil dan selalu dilindungi Allah SWT, tidak pernah ditangkap oleh musuh? Karena selalu di dalam segala perbuatannya hanya mengingat Allah.

"Dalam sejarah tidak pernah Pak Dirman ditangkap musuh, meskipun Pak Dirman sakit, Belanda dengan peralatan yang demikian lengkap, canggih, pakai tank, pakai metraliur, pakai pesawat ternyata tidak bisa menangkap Pak Dirman. Hal itu karena perlindungan dari Allah. kalau Allah tidak melindungi ya Pak Dirman sudah ditangkap sejak awal. Allah SWT selalu melindungi Pak Dirman," kata Teguh yang memiliki satu anak dan tiga cucu ini.

Karena didikan ayahnya, ia mengaku selalu berserah diri kepada Allah.

photo
Jenderal Soedirman mengikuti upacara di Yogyakarta pada 1947. - (istimewa)

Rajin beribadah

Selain dikenal karena semangatnya yang pantang menyerah, Panglima Besar Jenderal Soedirman juga dikenal sebagai sosok yang rajin beribadah. Hal itu pun tergambar dari bekas kediamannya yang telah diubah menjadi museum Sasmitaloka Panglima Jenderal Besar Soedirman. Museum ini terletak di Jalan Bintaran Wetan, Pakualaman, Yogyakarta.

Sajadah dan krekel yang ia gunakan untuk beribadah masih tertata rapi di kamar tidurnya. Tempat shalat itu diletakkan tepat di samping tempat tidurnya yang ada di museum.

Kepala Museum Sasmitaloka Panglima Jenderal Besar Soedirman, Yogyakarta, Heru Santoso, mengatakan, ada tiga kehebatan Soedirman dalam beribadah berdasarkan sejarah. Pertama, Soedirman merupakan sosok yang selalu menjaga kesuciannya dengan berwudhu.

Kedua, saat wudhunya batal, ia akan berwudhu kembali. Bahkan jika tidak dalam masuknya waktu shalat pun, ia tetap akan berwudhu.

Ketiga, karena Soedirman selalu menjaga menjaga wudhunya, saat mendengar suara azan ia pun langsung melaksanakan shalat dalam keadaan apa pun. "Beliau siap setiap saat untuk shalat, tidak ada nanti-nanti. Beliau adalah seseorang yang taat beribadah," kata Heru kepada Republika (15/1/2019).

photo
Jenderal Soedirman memimpin perang gerilya dengan ditandu melawan Agresi Militer Belanda II pada 1948. - (Dok TNI AD)

Saat memimpin perang gerilya pun, Hery menambahkan, Soedirman tidak pernah menunda untuk melakukan ibadah. Pun, saat dalam kondisi sakit. Saat bergerilya, Soedirman memerintahkan kepada ajudannya untuk membawa kendi yang berisi air. Air tersebut ia gunakan untuk berwudhu ketika saat perang gerilya.

Soedirman juga sempat beberapa kali hampir tertangkap oleh Belanda saat mempertahankan kemerdekaan. Namun, sebelum tertangkap, ia pun berhasil menghindari hal tersebut.

"Nalurinya kuat sekali akan keberadaan musuh. Misalkan, ia merasakan sebentar lagi tidak aman, ia langsung bergerak. Saat di Wonosari, misalnya, baru bergerak 200 meter, langsung ada musuh. Mungkin, karena beliau dekat dengan Tuhan," kata Heru lagi.

Untuk mempetingati hari kelahiran dan meninggalnya Soedirman, Museum Sasmitaloka memiliki acara rutin yang diisi oleh keturunan Panglima Besar.

"Peringatan biasanya diawali shalat Isya berjamaah dan dilanjutkan bacaan Yasin dan doa. Diakhiri dengan tausiyah tentang Islam biasanya sama anak bungsunya Pak Teguh. Juga, ada pemberian santunan untuk yatim dan masjid," ujar Heru. 

Tindak yang Bersalah di Kanjuruhan

Komnas HAM menyebut ada indikasi terjadinya pelanggaran HAM saat kerusuhan.

SELENGKAPNYA

Tragedi Kanjuruhan Renggut Nyawa 33 Anak

Sebanyak 26 korban masih dalam perawatan.

SELENGKAPNYA

Napas Tempur Komodor Yos Sudarso

Yos Sudarso ingin menancapkan bendera Merah Putih di Irian Barat.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya