Buya Hamka saat menjalani Ibadah Haji | Istimewa

Islamia

Hamka dan Dakwah Kebudayaan 

Hamka juga mengajukan sebuah prinsip penting untuk menganalisis kebudayaan itu sendiri.

AKMAL SJAFRIL, Kepala Sekolah Pemikiran Islam (SPI) Pusat

Perdebatan seputar Islam Nusantara dan jilbab hanyalah sebagian kecil dari diskursus seputar agama dan kebudayaan di Indonesia. Belum lama ini, fatwa Ustaz Khalid Basalamah yang mengharamkan wayang mendapat sorotan dari berbagai pihak. 

Sebagian orang yang merasa bahwa Ustaz Khalid telah merendahkan budaya Jawa menyelenggarakan pertunjukan wayang, yang kemudian menghina Ustaz Khalid melalui sebuah karakter wayang yang diberi wajah mirip beliau. Tindakan tersebut justru mendapat kecaman juga dari sejumlah budayawan Jawa lainnya, karena dianggap telah menggunakan wayang untuk tujuan yang tidak baik.

Di tempat lain, muncul pula sebuah rumah makan yang diberi nama Babiambo, dengan menyebut dirinya sebagai penyedia ‘a non-halal Padang food’. Restoran yang menawarkan menu rendang babi ini mendapat kecaman dari komunitas orang Minang. Di sisi lain, para pendukungnya balik mengecam masyarakat Minang dengan cap intoleran.

Dalam menghadapi persoalan-persoalan seputar agama dan kebudayaan ini, ada baiknya kita mempertimbangkan kembali konsep kebudayaan yang telah ditawarkan oleh salah seorang ulama besar asli Indonesia, yaitu Buya Hamka. Dalam tulisan-tulisannya, Hamka telah menguraikan banyak persoalan kebudayaan dan memberikan jawabannya dari perspektif Islam.

photo
Pementasan daring Wayang Climen Ki Dalang Jumartoyo di Kebonagung, Bantul, Yogyakarta, Jumat (26/3) malam. - (Wihdan Hidayat / Republika)

Hamka sebagai budayawan

H Abdul Malik Karim Amrullah, yang dikenal dengan sebutan Buya Hamka, adalah seorang ulama multitalenta. Beliau adalah seorang guru, mubaligh Muhammadiyah, sastrawan, novelis, tokoh pers, politikus Masyumi, anggota Konstituante, mantan ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pertama dan seorang mufasir. Meski demikian, Hamka sendiri dalam berbagai kesempatan lebih suka menyebut dirinya sebagai seorang pengarang atau budayawan.

Pada masa mudanya, Hamka justru lebih giat mempelajari adat-istiadat Minangkabau, terutama syair-syair, pantun, dan pidato-pidato adatnya, ketimbang menimba ilmu agama. Menurut kesaksian salah seorang sahabat terdekatnya yang bernama Zainal Abidin Syu’aib (Buya ZAS), Hamka muda rajin mengunjungi orang-orang tua di seluruh pelosok untuk mencatat petatah-petitih dan kisah-kisah sejarah Alam Minangkabau beserta profil tokoh-tokohnya.

Nama Hamka sebagai penulis mencuat ketika memimpin majalah Pedoman Masjarakat di Medan. Novel-novelnya, seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dimuat secara bersambung di majalah tersebut.

Berbeda dengan majalah-majalah Islam lainnya yang berorientasi pada fikih, Pedoman Masjarakat berdakwah dengan pendekatan kebudayaan. Pada masa Demokrasi Terpimpin, Hamka menakhodai dua majalah kebudayaan lainnya, yaitu Pandji Masjarakat (1959-1960) dan Gema Islam (1962-1967).

Konsep kebudayaan Hamka

Dalam Kongres Kebudayaan 1960 di Semarang, Hamka menyampaikan sejumlah poin pemikirannya seputar kebudayaan. Menurut Hamka, “kebudayaan” tersusun dari dua kata, yaitu “budi” dan “daya”. Budi adalah “cahaya atau sinar yang terletak di dalam batin manusia”, sedangkan daya adalah “usaha atau keaktifan manusia melaksanakan apa yang digerakkan oleh budinya”. Dengan kata lain, kebudayaan adalah hasil karya tangan manusia yang merupakan cerminan dari akal budinya.

 
Namun, menurut Hamka, jika akal budi manusia dibimbing oleh iman, barulah hasil perbuatan tangannya dapat menghasilkan amal saleh atau kebaikan yang hakiki.
 
 

Karena kebudayaan adalah hasil dari akal budi manusia, ia pasti eksis, dengan atau tanpa bimbingan agama. Namun, menurut Hamka, jika akal budi manusia dibimbing oleh iman, barulah hasil perbuatan tangannya dapat menghasilkan amal saleh atau kebaikan yang hakiki.

Hamka juga mengajukan sebuah prinsip penting yang dibutuhkan untuk menganalisis kebudayaan itu sendiri. Menurut dia, kebudayaan suatu bangsa terdiri atas filsafat, ilmu pengetahuan, dan seni yang dikembangkannya. 

Hamka memiliki sikap yang unik terhadap tradisi. Meski dikenal sangat mencintai Minangkabau, Hamka mengkritisi adat dalam hampir semua karya fiksinya. Bukunya yang berjudul Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi mengajukan sejumlah kritik terhadap adat matrilineal Minangkabau yang melucuti hak-hak suami dalam rumah tangga.

Menurut Hamka, adat tersebut telah menyebabkan banyak rumah tangga rusak dan para pemuda Minang sengaja merantau untuk ‘melarikan diri’. Dalam mengajukan kritik-kritiknya, Hamka mengingatkan masyarakat Minangkabau pada prinsip-prinsip hidupnya sendiri, antara lain “Adaik basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” dan “Syarak mangato, adaik memakai”.

Sikap Hamka di atas menunjukkan keyakinannya bahwa kebudayaan itu dinamis, tidak statis. Menurut dia, manusia sudah biasa menaruh benda-benda yang tak terpakai lagi di museum. Oleh karena itu, pemikiran dan cara-cara lama yang tak lagi layak digunakan pun semestinya disimpan dalam catatan, dan tak perlu ada keberatan untuk meninggalkannya.

Orang Minang juga tidak perlu canggung mengoreksi adat dan istiadatnya sendiri dengan menjadikan syariat sebagai acuannya. Semua itu disebabkan prinsip “Adaik basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”.

photo
Buya Hamka saat menjalani Ibadah Haji - (Istimewa)

Aminullah Lewa, salah seorang kontributor Pandji Masjarakat, pernah berupaya memberikan jawaban atas pertanyaan perihal siapa yang lebih dahulu eksis: agama atau kebudayaan? Menurut Aminullah, keduanya sama-sama telah hadir sejak peradaban manusia pertama kali muncul.

Namun, kebudayaan itu baru muncul ketika akal budi manusia telah mampu membedakan di antara yang benar dan yang salah. Karena manusia pertama adalah seorang nabi (yaitu Nabi Adam AS), dapat dipastikan bahwa kebudayaan yang dibangunnya adalah kebudayaan yang mendapat bimbingan dari ajaran agama, bukan yang kosong dari nilai-nilai agama.

Dakwah kebudayaan

Dalam sidang-sidang konstituante, Hamka mempergunakan argumen kebudayaan untuk menyatakan dukungannya terhadap Islam sebagai dasar negara. Menurut Hamka, kebudayaan bangsa Indonesia telah lama dipengaruhi oleh ajaran Islam. Oleh karena itu, Islam memang wajar untuk dijadikan sebagai dasar negara.

Melalui majalah-majalah kebudayaan yang dipimpinnya, Hamka dan para budayawan Muslim lainnya mendakwahkan Islam dari perspektif kebudayaan. Dari segi filsafat, misalnya mereka menunjukkan berbagai hikmah yang didapatkan dari ibadah-ibadah harian, atau memaparkan perbedaan pemikiran di antara filsuf Islam dan Barat.

Dari segi ilmu pengetahuan, banyak dibahas profil para ilmuwan Muslim, bahkan telah dibahas kemungkinan membangun konstruksi sains berdasarkan ajaran Islam, atau yang kini dikenal sebagai Islamisasi sains. Kesenian berbagai daerah yang mendapat pengaruh dari Islam juga kerap mendapat perhatian. Pola pemaparan semacam itu mengarahkan pembaca untuk menyadari bahwa Islam telah mengakar di Indonesia sejak lama, dan mampu menjawab berbagai permasalahan hidup manusia dari masa ke masa. 

Penelaahan tentang asal-muasal kebudayaan seperti yang dilakukan oleh Aminullah Lewa juga bermanfaat bagi dakwah. Karena semua manusia berasal dari Nabi Adam As, pastilah setiap kebudayaan yang eksis sekarang ini masih mewarisi setidaknya beberapa aspek dari ajaran para nabi.

Oleh karena itu, aspek-aspek kebudayaan yang sejalan dengan Islam dapat dikapitalisasi untuk melakukan koreksi terhadap aspek-aspek yang belum sejalan dengannya, sama seperti Hamka mengkritisi tradisi matrilineal Minangkabau dengan prinsip-prinsip Minangkabau sendiri.

 
Melalui majalah-majalah kebudayaan yang dipimpinnya, Hamka dan para budayawan Muslim lainnya mendakwahkan Islam dari perspektif kebudayaan.
 
 

Berbagai persoalan yang telah disebutkan di awal tulisan dapat dijelaskan dengan konsep-konsep yang telah dikemukakan. Persoalan utama pada ‘kasus wayang’ sebelumnya adalah tindakan membatasi budaya hanya pada level kebendaan dan mengabaikan aspek filosofisnya. Akibatnya, demi membela budaya Jawa, cara yang ditempuh justru mencederai filosofi Jawa, yang sangat mengedepankan kesantunan.

Bagi pengelola Restoran Babiambo dan para pendukungnya, rendang hanyalah sebuah metode pengolahan daging. Akan tetapi, bagi orang Minangkabau, rendang adalah produk budaya. Karena orang Minang selalu mengidentikkan kebudayaannya dengan Islam, tidaklah layak jika ada produk budaya Minang yang digunakan untuk hal-hal yang diharamkan.

Perbincangan seputar kebudayaan pada masa kini sangat jauh kualitasnya dengan pada masa-masa awal kemerdekaan. Saat ini, kebudayaan kerap dibatasi hanya pada level kebendaan (baju adat, rumah adat, dll). Akibatnya, komentar “jilbab adalah budaya Arab” masih saja muncul.

Selain itu, kebudayaan juga diidentikkan dengan seni sehingga yang diperhatikan tidak lebih dari tari-tarian, ukir-ukiran, dan semacamnya. Bangsa Indonesia merasa telah berbudaya jika telah memelihara tari-tarian dan ukir-ukiran tersebut, sementara pada kenyataannya kita sangat tertinggal dalam hal filsafat dan sains. Terbitlah kebanggaan yang menipu terhadap bangsa sendiri, sementara etika kehidupan berbangsa terabaikan dan riset jalan di tempat.

Marilah kita menjawab pertanyaan ini dengan jujur: ditinjau dari filsafat, ilmu pengetahuan dan seni, pantaskah kita menyebut diri sebagai bangsa yang berbudaya? 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Jual Beli Buket Uang Dalam Syariah Islam

Apakah diperbolehkan jika nominal uang di buket berbeda dengan harga jual?

SELENGKAPNYA

Jejak Romusha di Bayah

Sebagian besar jejak berdarah pembangunan rel kereta api Saketi-Bayah tersisa dalam cerita yang memudar.

SELENGKAPNYA

Biden: Pandemi Telah Usai

Masyarakat menganggap pembatasan yang masih dilakukan justru menjadi hambatan.

SELENGKAPNYA