
Nostalgia
Jejak Romusha di Bayah
Sebagian besar jejak berdarah pembangunan rel kereta api Saketi-Bayah tersisa dalam cerita yang memudar.
OLEH M AKBAR
Mentari kian meninggi ketika saya mengajak Sarjo (83 tahun) untuk meniti ulang sejarah hidupnya sebagai pekerja romusha di masa penjajahan Jepang di wilayah Bayah, Banten selatan.
Saya menyapanya Mbah Sarjo. Kami mengajak lelaki tak beranak itu dengan mobil yang kami bawa dari Jakarta. Selepas shalat Zhuhur di rumah, ia berganti pakaian. Ia mengenakan kemeja berwarna kuning yang telah lusuh dipadukan dengan celana bahan berwarna hitam serta tak lupa untuk memakai kopiah putih guna menutupi rambutnya yang telah berganti warna.
Sekitar 15 menit meninggalkan kediamannya di Desa Sawarna, tangan lelaki tua itu menunjuk ke sisi kanan jalan. Ia menunjuk sebuah area lapangan voli. Berhadapan dengan lapangan voli itu terdapat penginapan bagi tamu yang hendak berwisata ke Pantai Sawarna.
Di seberang lapangan yang ditunjuknya itu hamparan rumput ilalang dan semak belukar. Di bagian ujung dari semak dan ilalang itu adalah bibir pantai selatan dengan suara ombaknya yang tak pernah berhenti menderu. Lebar jalan yang kami lalui itu hanya sekitar empat meter atau hanya cukup dilalui oleh dua kendaraan roda empat.

Rumah sakit Jepang
Mbah Sarjo bercerita pada masa romusha, jalan beraspal itu tak ada. "Dulu di sana ada rumah sakit Jepang," katanya menunjuk area lapangan voli. "Terus ke sana, dulunya ada rumah-rumah bedeng tempat kami tinggal."
Rumah sakit yang dimaksud hanya sekelas di bawah puskesmas di masa kini. Di tempat itu tak ada ruang rawat inap maupun perlengkapan medis yang memadai. Biasanya para pekerja romusha menyambangi rumah sakit Jepang itu hanya untuk diklarifikasi kondisi kesehatan oleh para pengawas.
Kala itu, ukuran seorang pekerja romusha kondisi bugar hanya berdasarkan termometer. "Biasanya ditusuk di sini," kata Mbah Sarjo memeragakan gerakan tangan menaruh benda kecil di bawah ketiaknya.
Kendaraan kami hentikan sejenak ketika Mbah Sarjo menunjuk kawasan rumah sakit dan bedeng. Ia hanya duduk di dalam mobil. Sementara saya bersama tim turun sambil berharap masih bisa melihat sisa-sisa bangunan yang pernah dialami para pekerja romusha.

Pandangan saya tatapkan secara seksama. Sayangnya, sejauh mata mengawas, yang tersisa hanyalah hamparan tanah disertai tumbuhan ilalang yang tumbuh subur. Di beberapa tempat, ilalang itu ada yang sudah setinggi dada orang dewasa.
Hal yang sama juga terlihat di area lapangan voli. Walau area ini terlihat agak sedikit terawat, tapi nyaris tak ada jejak yang tersisa. Struktur bangunan rumah sakit pun raib seperti ditelan bumi. Bahkan, bedeng yang disebut tempat pekerja romusha tinggal itu sudah berganti menjadi hutan.
Mbah Sarjo bercerita, bedeng tempat pekerja romusha tinggal itu berukuran sekitar 10x15 meter. Dalam satu bedeng itu bisa dihuni hingga 100 orang. Di tempat itu tak ada kasur maupun bantal. Sedangkan alas bedeng itu masih dari tanah. "Tidur sebisanya saja. Alasnya pakai apa saja yang didapat," ujarnya sambil mengernyitkan kening untuk mengingat kembali masa-masa kelam tersebut.
Tak seberapa jauh kemudian, kami tiba di Pulau Manuk. Merunut sejarah, nama daerah ini diberi Pulau Manuk karena ada sebuah pulau kecil yang terpisah dari daratan. Manuk berasal dari kata Sunda yang berarti burung. Dinamakan Pulau Manuk karena di tempat itu kerap banyak manuk yang singgah di waktu tertentu.
Tinggal monumen
"Di tempat ini dulunya ada stasiun kereta api kecil. Biasanya kereta itu untuk menarik batu bara ke Bayah," kenang Mbah Sarjo.

Untuk kali kedua, laju kendaraan dihentikan dan saya langsung mencari jejak-jejak rel kereta api. Lokasi yang ditunjuk oleh Mbah Sarjo itu ada di sisi kiri jalan dari arah Pantai Sawarna atau mengarah ke bagian pantai. Hingga langkah saya mencapai bibir pantai, tak ada sisa-sisa besi ataupun bantalan rel kereta di area yang ditunjuk oleh Mbah Sarjo.
Seperti halnya di bekas rumah sakit maupun bedeng, jejak-jejak romusha seperti hilang begitu saja. Hal yang sama juga terjadi pada informasi sumur romusha, gua bekas tambang batu bara, kuburan romusha, makanan romusha, yang semuanya berada di kawasan Pulau Manuk.
Namun, di tempat ini saya sempat mendapatkan bongkahan batu berwarna hitam pekat. Ketika batu tersebut saya tunjukkan kepada Mbah Sarjo, lelaki tua itu menjawab, "Ini memang batu bara."
Tapi, rasa miris hati saya sesungguhnya kian menguar ketika Mbah Sarjo menunjukkan sebuah monumen. Monumen ini terletak di jalan utama menuju Bayah atau tak jauh dari SLTPN 1 Bayah. Monumen ini letaknya agak tinggi dari sisi jalan raya. Bangunan itu berbentuk persegi, masing-masing sisinya berukuran 10x10 langkah kaki orang dewasa. Untuk mencapai posisi tugu, disediakan 10 anak tangga.
Secara kasat mata terlihat bangunan monumen ini tidak lagi terawat. Ubin anak tangga di beberapa bagian sudah ada yang pecah. Batu konblok yang terpasang di area monumen juga sudah dipenuhi oleh rumput liar. Lalu tugu yang memiliki empat sisi itu dipenuhi pula oleh coretan tangan jahil.
Lebih membuat miris adalah bangunan yang konon dibangun oleh Tan Malaka, yang pernah bersembunyi di Bayah, ini sudah tidak memiliki identitas diri. Prasasti yang menandakan monumen ini sebagai bangunan kuburan massal para pekerja romusha sudah dicungkil dari tempatnya oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab.

Walau monumen tak ada lagi yang menaruh perhatian, tapi sesekali waktu Mbah Sarjo selalu meluangkan waktunya untuk berziarah. Sesampainya ke monumen ini, Mbah Sarjo meminta waktu untuk turun.
Kami perlu memapah Mbah Sarjo untuk meniti 10 anak tangga. Saat sampai di tempat, wajah pria asal Kutoarjo ini mendongak ke atas. Ia kemudian duduk bersimpuh. Tak lama, dari mulutnya meracau bacaan doa yang ia panjatkan kepada saudara-saudaranya yang sudah lebih dulu menghadap Sang Ilahi.
"Monumen ini dibuat supaya keluarga yang tidak tahu letak kuburan sanak keluarga mereka tak perlu lagi mencari. Mereka bisa berziarah di sini," jelasnya. "Saya tak terlalu sering ke sini. Tapi menjelang Lebaran, biasanya selalu menyempatkan untuk datang ke sini."
***
'Karung Goni Gatel Sekali Dipakainya …'
Mbah Sarjo saat ini menjadi satu dari empat pekerja romusha yang masih hidup. Ia ditempatkan di Gunung Madur, Bayah, oleh tentara Jepang pada 1943. Selama hampir tiga tahun ia menjalani tugas sebagai pekerja romusha.
Selama meniti kehidupan itu, lebih banyak duka ketimbang suka yang harus dilewatinya. "Sehari kami hanya dikasih makan 250 gram nasi atau satu batok saja. Biasanya hanya pakai garam yang ada," kata dia.
Ia ingat benar kala itu aktivitas dimulai dari pukul 07.00 WIB hingga pukul 16.00 WIB. Upah harian yang diterima sekitar 35 sen. Prosesi awal pada pagi hari adalah menyanyikan lagu Kimigayo dan hormat pada bendera Hinomaru.
Mbah Sarjo mengaku sewaktu menjadi romusha, tugas yang dilakukannya adalah mengangkat lempengan rel kereta bersama enam orang hingga mengangkut batu bara. Seragam yang digunakan terbuat dari karung goni. "Gatel sekali dipakainya."
Ia ingat benar kala itu aktivitas dimulai dari pukul 07.00 WIB hingga pukul 16.00 WIB. Upah harian yang diterima sekitar 35 sen.
Usia Mbah Sarjo sewaktu itu sekitar 12 tahun. Ia menjadi romusha karena tertangkap sewaktu pulang dari sekolah dasar. Saat itu ia masih duduk di kelas lima SD. Ia ditangkap polisi Jepang bersama enam orang rekannya tak jauh dari kantor Kecamatan Kutoarjo, Jawa Tengah. Selama tiga hari ia diinapkan bersama ratusan lelaki di kantor kecamatan.
Setelah itu, ia mengaku, dibawa layaknya hewan ternak dengan kereta. Sarjo mengaku kereta yang membawanya ke Tanah Abang, Jakarta, itu berupa gerbong-gerbong seperti pengangkut batu bara. Selepas dari Tanah Abang, Sarjo kemudian diboyong ke Rangkasbitung. Dari Rangkas, mereka 'ditumpuk' di dalam truk terbuka menuju Bayah.
Setiba di Bayah, Sarjo bersama ribuan pekerja romusha melanjutkan dengan jalan kaki menuju Gunung Madur. Perjalanan menembus hutan tanpa alas kaki itu harus ditempuhnya sekitar dua jam. "Baru di pagi hari, kami dibawa ke Pulau Manuk. Di sana kami dibagi-bagi untuk mengisi bedeng. Setiap bedeng dihuni sampai 100 orang," kenangnya.
Selama menjalani kerja romusha, ia banyak melihat orang-orang yang jatuh sakit dan meninggal dunia. Enda Alfaridzh dalam blognya menulis, diperkirakan ada sekitar 93 ribu pekerja romusha yang meninggal. Bayah sendiri pada masa itu menjadi lumbung batu bara.
Jika dibandingkan dengan pekerja lainnya, Sarjo mengaku tergolong yang cukup belia. Ia bahkan sempat bertemu dengan seorang Pak Haji asal Jawa Timur yang sudah berusia 40 tahun lebih. Usia pekerja lainnya berkisar 20-40 tahun. Umumnya para pekerja romusha itu berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Ia mengatakan, pada masa itu penduduk yang tidak memiliki tanda pengenal akan mudah dikategorikan sebagai pekerja romusha yang lari. Model semacam ini layaknya politik apartheid di Afrika Selatan. Para warga kulit hitam diharuskan membawa pengenal diri. "Makanya, itu banyak yang tertangkap walau mereka berhasil lari dari wilayah Gunung Madur ini," katanya.
Kini, Mbah Sarjo masih menaruh harap kepada pemerintah. Ia menginginkan janji yang pernah terucap pada zaman Megawati Soekarnoputri untuk membayar para pekerja romusha itu bisa terwujud. "Saya pernah diminta datang ke Jakarta bertemu dengan orang Jepang. Tapi, mereka bilang sudah dibayarkan kepada pemerintah (Indonesia). Hanya, sampai sekarang saya belum mendapatkannya," tutur dia.
***
Saketi-Bayah, The Death Railway
Pembangunan Jalur Saketi-Bayah dilaksanakan pada masa pendudukan Jepang, 1942-1945. Pembangunan rel kereta api dari Saketi, salah satu stasiun dekat Rangkasbitung hingga Bayah ini mengakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa sehingga dijuluki The Death Railway. Berikut sejarah ringkasnya.
- Panjang rel 89 km.
- Pembangunan jalan KA Saketi-Bayah bagian strategi perang Jepang bertujuan mengangkut batu bara dari tambang batu bara Cikotok yang merupakan bahan bakar kereta api dan kapal sekaligus menghindarkan angkutan laut yang sudah mulai terancam oleh serangan torpedo kapal selam sekutu.
- Tenaga yang digunakan adalah tenaga romusha umumnya dari Jawa Tengah, tenaga ahli perkeretaapian Belanda yang menjadi tawanan perang Jepang.
- Bahan pembuatan rel KA diambil dari seluruh Jawa.
- Para penambang batu bara juga tenaga romusha.
- Jumlah korban romusha 93.000 jiwa.
- Monumen peringatan korban romusha konon dibangun oleh Tan Malaka (1897-1949), yang pernah tinggal di Bayah.
Disadur dari Harian Republika edisi 02 Maret 2014
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
HOS Tjokroaminoto, Orator dan Penggerak Perubahan
HOS Tjokroaminoto mengarahkan SI berhaluan nasionalisme yang merangkul seluruh suku bangsa di Tanah Air.
SELENGKAPNYASelamat Jalan Tokoh Istiqamah
Ia telah meninggalkan banyak legasi yang tak gampang digantikan.
SELENGKAPNYAIstiqamah untuk Keilmuan Islam
Kepakaran Azyumardi di bidang sejarah Islam telah menempatkannya sebagai ahli sejarah Islam kawasan Asia Tenggara yang sangat berpengaruh.
SELENGKAPNYA