
Tokoh
HOS Tjokroaminoto, Orator dan Penggerak Perubahan
HOS Tjokroaminoto mengarahkan SI berhaluan nasionalisme yang merangkul seluruh suku bangsa di Tanah Air.
OLEH HASANUL RIZQA, DADANG KURNIA
Raden Mas Hadji Oemar Said Tjokroaminoto lahir di Bakur, Sawahan, Madiun, Jawa Timur, pada 16 Agustus 1882. Dia merupakan anak kedua dari 12 bersaudara. Ayahnya, Raden Mas Tjokromiseno, merupakan seorang wedana di Kleco, Madiun.
Kakeknya dari garis bapak, Raden Mas Adipati Tjokronegoro, pernah memimpin Kabupaten Ponorogo. Adapun buyutnya merupakan ulama besar, Kiai Bagoes Kesan Besari, yang mengasuh pondok pesantren di Tegalsari, Ponorogo. Dengan demikian, di dalam tubuh RM Tjokroaminoto sudah mengalir perpaduan darah ningrat dan ulama.
Setelah melalui pendidikan dasar, Oemar Said, demikian panggilan kecilnya bersekolah di OSVIA (Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren), yakni sekolah calon pegawai pribumi di Magelang. Dapat diduga bahwa keluarga nya telah memproyeksikan masa depan putranya itu sebagai bagian dari birokrasi pemerintah.
Saat berusia 20 tahun, dia pun lulus dari OSVIA. Ketika sedang berprofesi se bagai juru tulis di Glodog, Purwodadi, dia menikah dengan RA Soeharsikin, yakni putri keluarga priyayi RM Mangoensoemo, yang saat itu menjabat wakil bupati Ponorogo.
Namun, daya kritis yang dimilikinya sejak kecil membuatnya tidak bisa berlama-lama menjadi birokrat kolonial. Pada 1905, Tjokroaminoto mundur dari pekerjaannya. Keputusan ini sempat menuai protes dari mertuanya, tetapi yang bersangkutan bergeming.
Dapat diduga bahwa keluarganya telah memproyeksikan masa depan putranya itu sebagai bagian dari birokrasi pemerintah.
Dia lantas beranjak ke Madiun untuk mengunjungi sejumlah pondok pesantren. Setelah melalui pelbagai pertimbangan, dia memustukan untuk hijrah ke Semarang, dengan memboyong istri tercinta. Mulailah suatu episode kehidupannya, ketika Tjokro aminoto dapat berinteraksi langsung se cara bebas dengan rakyat.
Pada 1907, Tjokroaminoto pindah ke Surabaya untuk meneruskan pendidikan pada Sekolah Teknik Sipil BAS (Burgerlijke Avond School). Untuk membiayai kebutuhan sehari-hari, dia bekerja pada perusahaan niaga Kooy&Co. Tiga tahun kemudian, dia lulus dan sempat menerapkan keahliannya itu sebagai juru mesin dan juru kimia pada sebuah pabrik gula di Rogojampi, Surabaya, hingga tahun 1912.
Di sela-sela kesibukannya, bapak lima orang anak ini mulai aktif di organisasi sosial dan bahkan menjadi ketua perkumpulan Panti Harsoyo. Selain itu, masih disempatkannya pula untuk menulis pelbagai karangan tentang isu-isu sosial kemasyarakatan.
Memang, Tjokroaminoto sangat gemar menulis. Dia pun menekuni dunia jurnalistik. Artikel-artikelnya di Suara Surabaya berkaitan antara lain dengan eksploitasi perusahaan-perusahaan Belanda atas kaum pribumi. Berkat tulisan-tulisannya, namanya menjadi cukup terkenal di kota pesisir tersebut.
Dia menjadi apa yang diistilahkan sang perintis pers Indonesia, Abdoel Rivai (1871-1937), sebagai bangsawan pikiran. Bila bangsawan usul adalah mereka yang menjadi ningrat karena faktor keturunan, bangsawan pikiran menjadi ningrat karena kerja keras dan daya intelektualnya.
Artikel-artikelnya di Suara Surabaya berkaitan antara lain dengan eksploitasi perusahaan-perusahaan Belanda atas kaum pribumi.
Untuk diketahui, masa transisi dari abad XIX ke XX memunculkan suatu fenomena yang di dalamnya gagasan modernisme berkembang pesat di kota-kota besar Tanah Air. Hal itu didukung antara lain perubahan kebijakan pemerintah kolonial dengan politik etissehingga berdirilah banyak sekolah formal dengan kurikulum Eropadan teknologi cetak.
Selama di Surabaya, Tjokroaminoto tinggal di Jalan Peneleh VII Nomor 29-31. Rumah itu terletak di kawasan perkampungan padat penduduk. Walaupun resminya dia bekerja sebagai pegawai pabrik, aktivitasnya di pelbagai organisasi dan diskusi-diskusi membuat namanya dikenal sebagai tokoh pergerakan nasional.
Sejak 1912, misalnya, dia sudah dengan lantang menyerukan perlunya Hindia Belanda dilengkapi dengan pemerintahan otonom (zelfbestuur) yang lepas dari Negeri Be landa. Semangat nasionalisme yang disuarakannya membuat orang-orang terkesima dan akhirnya tertarik untuk mengikuti jejak langkahnya.
Salah satu figur yang pada masa remajanya berproses di sana adalah Sukarno. Ayah sang proklamator itu, Raden Sukemi, bersahabat baik dengan Tjokroaminoto. Sudah sejak awal Raden Sukemi ingin anaknya itu diinapkan di sana selama bersekolah di Surabaya.

Dalam autobiografinya, Bung Karno mengenang rumah Tjokroaminoto tersebut sebagai dapur nasionalisme, Aku meresapi lebih banyak lagi persoalan politik di rumah Pak Cokro, dapur dari nasionalisme. Sebutan itu cukup beralasan karena pada faktanya kediaman Tjokroaminoto sering ramai dengan tokoh-tokoh yang berdiskusi memikirkan nasib orang-orang Pribumi di bawah pemerintahan kolonial.
Selain Sukarno, tokoh-tokoh lain yang berproses di rumah itu adalah Semaun, Alimin, Musodo (Muso), Kartosuwiryo, Abikusno Tjokrosoejoso, dan Sampurno. Mereka sering hadir di sana dan mengikuti jalan nya diskusi di rumah Tjokroaminoto.
Melihat Sukarno Belajar Berpidato di Rumah Tjokro
Sebuah tiang bendera tertancap kuat di halaman rumah di Jalan Peneleh Gang VII Nomor 29-31, Genteng, Kota Surabaya. Kibaran bendera merah putih di ujung bagian atasnya seolah menyambut siapa pun yang berkunjung ke sebuah rumah dengan arsitektur Jawa tersebut.
Enam buah pot yang ditanami tum buhan berpadu dengan pagar kayu bercat warna hijau, memberi kesegaran di tengah kawasan padat penduduk itu. Begitu menginjakkan kaki di teras rumah berwarna kuning, sebelum melewati pintu masuk, pengun jung dapat langsung membaca penjelasan singkat terkait rumah yang didominasi cat warna hijau dan putih tersebut.

Rumah yang dimaksud merupakan tempat tinggal guru para pendiri bangsa, Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto. Tjokroaminoto tinggal bersama istrinya, Suharsikin, dan putra-putrinya di rumah tersebut kurang lebih 14 tahun, tepatnya dari 1907 hingga 1921.
Lebih jauh dari itu, rumah tersebut juga merupakan tempat para pendiri bangsa, termasuk presiden pertama Republik Indonesia, Sukarno, menuntut ilmu. Selain Sukarno, beberapa tokoh yang juga pernah menuntut ilmu dari sang guru adalah Semaoen, Alimin, Muso, Kartosuwiryo, hingga Tan Malaka.
Begitu melewati pintu dan berdiri di ruang tamu, tamu bisa menyaksikan foto dari beberapa tokoh nasional itu terpajang di dinding. Di sana juga terpajang foto tokoh lainnya seperti AM Sangadji, Agus Salim, KH Mas Mansur, Ahmad Dahlan, dan Ernest Douwes Dekker.
"Jadi, ruang tamu ini dulunya sering dijadikan tempat untuk berdiskusi atau rapat. Apalagi, beliau (Tjokroaminoto) kan juga ketua Sarekat Islam," kata Ahmad Yanuar Firmansyah (27 tahun), petugas jaga Rumah Tjokroaminoto dari Dinas Kebudayaan dan Pa riwisata Surabaya kepada Republika.

Selain pajangan foto-foto tokoh nasional, di ruangan tersebut juga ter dapat properti lain seperti meja, kursi, dan lemari. Namun demikian, kata Yanuar, semua properti yang ber ada di rumah tersebut merupakan hasil pengadaan baru, atau bukan peralatan asli yang sejak dahulu berada di sana.
Itu tak lain karena Pemerintah Kota Surabaya mendapatkan aset rumah bersejarah tersebut dalam keadaan kosong. Maka dari itu, lanjut Yanuar, Pemkot Surabaya berupaya mengadakan dan meletakkan barangbarang yang didesain menyerupai apa yang digunakan Tjokroaminoto dahulu. Meskipun tidak ada informasi utuh mengenai barang-barang apa saja dan tata letaknya seperti apa saat Tjokroaminoto dan tokoh nasional lainnya tinggal di sana.
"Pemkot Surabaya dapatnya dalam kondisi kosong karena sudah pernah berpindah kepemilikan. Entah barang-barangnya memang dibawa pindah be liau atau dijual sama penghuni selanjutnya, kita enggak tahu," ujar Yanuar.
Ruang tengah Rumah Tjokroaminoto tersebut terbagi menjadi tiga ruangan atau area. Ruangan pertama dan kedua diisi penjelasan singkat terkait penjalanan Tjokroaminoto, mulai kelahirannya di Ponorogo pada 16 Agustus 1882, kelulusannya dari Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA), perjalanannya di Surabaya hingga mendirikan Sarekat Islam (SI), serta bagaimana kegigihan perlawanannya terhadap penjajah.
Ruangan ketiga merupakan kamar pribadi Tjokroaminoto. Properti tempat tidur dan lain sebagainya juga bukan merupakan yang asli digunakan olehnya, melainkan hasil pengadaan baru oleh Pemkot Surabaya.

Beranjak ke ruangan paling belakang dari bangunan berukuran seluas 10 x 20 meter tersebut, di sana diisi pajangan foto dari tokoh-tokoh nasional yang pernah ngekos di rumah itu. "Ada fotonya Bung Karno, Kartosoewirjo, Semaoen, Alimin, dan Muso. Ya mereka ini yang pernah kos di sini," ujar Yanuar.
Sekilas dari luar, Rumah Tjokroaminoto tersebut memang terlihat hanya memiliki satu lantai. Namun, sebetulnya ada ruangan lebar di bagian atap yang dahulunya digunakan sebagai tempat tinggal tokoh nasional yang kos di sana.
Di bagian atas tersebut, tiga buah tikar tertata rapi di atas lantai yang terbuat dari kayu. Di sana juga terdapat sebuah cermin yang disebut-sebut sebagai tempatnya Bung Karno berlatih pidato. "Jadi, meskipun properti yang ada di sini bukan yang asli, tapi diharapkan pengunjung yang datang bisa membayangkan kayak Bung Karno belajar pidato, suasana, atau reka adegannya," ujar Yanuar.
Yanuar mengatakan, banyak yang tertarik mendatangi tempat tersebut. Menurut Yanuar, setiap bulannya ratarata ada sekitar 400 pengunjung. Sementara itu, pada momen-momen tertentu seperti 17 Agustus atau Hari Pahlawan, pengunjung bisa mencapai seribu orang per bulan.
Disadur dari Harian Republika edisi 23 Desember 2018 dan 30 Januari 2019
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Bintang Daud dalam Sejarah Islam
Bintang daud juga pernah dijadikan sebagai simbol bendera Dinasti isfendiyar
SELENGKAPNYAPentas Eksplorasi tanpa Batas
Penonton diajak mengeksplorasi lebih jauh tiga genre musik utama yang diusung
SELENGKAPNYA