Simpatisan yang diamankan saat upaya jemput paksa Moch Subchi Azal Tsani (MSAT) di Ponpes Shiddiqiyah dipulangkan dari Mapolres Jombang, Jawa Timur, Jumat (8/7/2022). | ANTARA FOTO/Syaiful Arif

Tajuk

Mencegah Kekerasan di Pesantren

Sudah semestinya, pondok pesantren memberi perhatian yang sangat serius dalam hal kekerasan tersebut.

Dalam satu bulan terakhir, kekerasan yang terjadi di pondok pesantren menjadi perbincangan banyak kalangan. Setidaknya ada dua kejadian di pondok pesantren yang berbeda di wilayah Provinsi Banten sangat menyita perhatian.

Kekerasan yang terjadi di dua pondok pesantren tersebut menyebabkan korban dua orang meninggal dan belakangan belasan santri menjadi tersangka. Beragam peristiwa yang tidak mengenakan tersebut wajar menjadi sorotan. Bukan hanya para pengamat pendidikan Islam, melainkan juga menjadi perhatian Wakil Presiden Ma’ruf Amin, yang berharap kejadian seperti itu tidak terulang.

Bagi kalangan orang tua atau wali santri, kejadian kekerasan yang terjadi di beberapa pesantren menimbulkan rasa cemas. Mereka khawatir anaknya menjadi salah satu korban dari kekerasan sebagaimana yang ramai dibicarakan. Ada pula orang tua yang berniat menyekolahkan anaknya di pesantren menjadi ragu setelah adanya berbagai kejadian tersebut.

 
Bagi kalangan orang tua atau wali santri, kejadian kekerasan yang terjadi di beberapa pesantren menimbulkan rasa cemas.
 
 

Tanpa bermaksud membenarkan kejadian kekerasan yang terjadi di pondok pesantren, tentu saja pondok pesantren masih menjadi salah satu lembaga pendidikan terbaik sebagai tempat menuntut ilmu. Lembaga pondok pesantren telah teruji zaman. Kita mengetahui, banyak tokoh nasional, baik tokoh agama, politik, ekonomi, pendidikan, maupun lainnya merupakan produk dari pesantren.

Sistem pendidikan lembaga pesantren telah ada, bahkan sebelum Indonesia merdeka pada 1945. Kiai dan santri berjuang di garis terdepan dalam mengusir penjajah di Tanah Air. Pondok pesantren memberi andil yang tidak kecil dalam kemerdekaan Indonesia dan mewarnai perjalanan bangsa ini sampai sekarang.

Untuk itu, masyarakat tidak perlu ragu melepas anak-anaknya menuntut ilmu di pondok pesantren. Sebab, potensi kekerasan dan perundungan anak berpotensi terjadi di lembaga pendidikan lain. Bahkan sebelum ini, kasus kekerasan dan perundungan lebih banyak terjadi di lembaga pendidikan nonpesantren.

Kendati demikian, bukan berarti kita boleh memaklumi kejadian kekerasan di beberapa pesantren. Walaupun jika dibandingkan jumlah pesantren di seluruh Indonesia yang berjumlah 26.975, kejadian di satu dua pesantren tidak mencerminkan wajah pondok pesantren secara keseluruhan.

 
Kendati demikian, bukan berarti kita boleh memaklumi kejadian kekerasan di beberapa pesantren.
 
 

Namun, kekerasan tetaplah kekerasan. Penyimpangan seksual tetaplah penyimpangan seksual. Dua masalah ini tidak boleh berkembang di lembaga pendidikan mana pun. Termasuk di pondok pesantren yang banyak mengajarkan nilai keagamaan dan moral. Nilai-nilai pelajaran agama yang banyak diberikan di pondok pesantren diharapkan mampu menekan potensi munculnya kekerasan, termasuk kekerasan seksual.

Sudah semestinya, pondok pesantren memberi perhatian yang sangat serius dalam hal kekerasan tersebut. Para pengelola pondok pesantren yang berjumlah 26.975 harus mengevaluasi diri terhadap sistem pengelolaan santri-santrinya selama ini. Apabila sistem manajemen penanganan santri sudah sangat bagus dan menutup rapat-rapat potensi adanya kekerasan sesama santri, silakan sistem tersebut dilanjutkan.

Namun, jika sistem pengelolaan santri dirasakan masih memberikan potensi terjadinya kekerasan seperti adanya sistem senioritas di pondok, tidak ada salahnya untuk memperbaiki sistem yang sudah lama diterapkan tersebut. 

Karena itu, kita mengapresiasi Komisi Perempuan, Remaja, dan Keluarga Majelis Ulama Indonesia (KPRK MUI), yang mengeluarkan sejumlah rekomendasi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di pondok pesantren. Termasuk di dalamnya mempunyai rencana membentuk role model pesantren ramah anak.

Sebelum semua itu diwujudkan KPRK, MUI pun mendorong pesantren-pesantren melakukan pernyataan sikap bersama menyerukan setop kekerasan seksual dan pelecehan seksual di pondok pesantren atau di mana pun. 

Kita semua tidak ingin kekerasan dan perilaku menyimpang terjadi di pondok pesantren ataupun lembaga pendidikan mana pun. Untuk mewujudkannya, tidak hanya menjadi tanggung jawab pengelola pendidikan, tetapi juga pemerintah, masyarakat, lembaga pendidikan tinggi, pemerhati pesantren, dan tentu saja orang tua yang diharapkan, mengajarkan anaknya sejak kecil nilai-nilai kebaikan. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Berkarya Bersama di Ruang Digital

Di dunia digital, para penyandang difabel bisa berkesempatan meningkatkan taraf kehidupannya.

SELENGKAPNYA

Nasionalisme dan Kisah Pendudukan Jepang

Di masa pendudukan Jepang hidup rakyat sangat menyedihkan.

SELENGKAPNYA

Tetap Bangga!

The Daddies masih mampu melaju ke partai puncak sekaligus menyelamatkan Indonesia.

SELENGKAPNYA