
Kitab
Telaah Nilai Toleransi
Karya ini membicarakan tentang bagaimana Islam memandang toleransi.
OLEH MUHYIDDIN
Keberagaman adalah suatu hal yang niscaya dalam kehidupan ini. Hubungan sosial akan lebih bermakna bila kemajemukan disadari sebagai sebuah fakta. Sebab, masyarakat mana pun memiliki unsur-unsur yang saling mengisi dan berinteraksi satu sama lain. Bahkan, umat yang seagama pun masih memunculkan perbedaan-perbedaan, baik dalam hal pemikiran, praktik ibadah, dan lain-lain.
Islam mengajarkan bahwa keberagaman adalah lumrah. Sejak awal, Allah SWT menghendaki adanya perbedaan di tengah manusia. “Wahai manusia, sungguh Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang wanita dan menjadikanmu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kamu saling mengenal” (QS al-Hujurat: 13).
Agar kedamaian sosial tetap terjaga di tengah situasi majemuk, perlu adanya pola pikir, cara pandang, dan sikap toleransi. Untuk memahami hal itu, kaum Muslimin dapat merujuk pada Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Kedua sumber Islam itu digali terutama oleh kalangan ulama.
Di Indonesia, toleransi menjadi topik yang hangat diperbincangkan kaum alim kontemporer. Salah seorang di antaranya adalah KH Prof Muhammad Quraish Shihab. Karya terbaru mantan menteri agama RI itu membahas tentang penghargaan atas kemajemukan. Judulnya adalah Toleransi: Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Keberagamaan.
Di Indonesia, toleransi menjadi topik yang hangat diperbincangkan kaum alim kontemporer.
Buku yang terbit pada awal Agustus 2022 ini membedah makna toleransi. Pokok itu dikaitkan dengan berbagai tema, utamanya hubungan antara hamba dan Allah (habluminallah), serta antarsesama manusia (habluminannas).
Pada bagian pendahuluan, mubaligh kelahiran Rappang, Sulawesi Selatan, itu mengajukan definisi toleransi. Pengertian istilah itu adalah “pengakuan eksistensi terhadap pihak lain menyangkut diri, keyakinan, dan pandangannya tanpa harus membenarkan.” Menurut guru besar ilmu tafsir Alquran itu, rumusan tersebut didukung fatwa beberapa ulama terkemuka.
Di samping itu, ayat-ayat Alquran juga dengan jelas menekankan perlunya kerja sama di antara manusia seluruhnya. Tolong-menolong yang dimaksud berada dalam konteks ketaatan kepada Allah, ketakwaan, serta kebaikan bersama. Maka dari itu, manusia diimbau untuk menjadi makhluk yang bertoleransi.
Melalui karyanya ini, cendekiawan tersebut menghidangkan sekian banyak tuntunan Islam mengenai toleransi. Prof Quraish Shihab pun menunjukkan sejumlah contoh praktis dalam konteks demikian. Pada akhirnya, keberagamaan seorang Muslim beriringan dengan sikapnya terhadap kemanusiaan.
Menurut mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah ini, istilah toleransi dalam khazanah Islam disebut sebagai tasamuh. Kata itu berakar dari samaha, yang berarti ‘mudah’, atau samuha, ‘bermurah hati'. Karena itu, watak dan sikap toleransi pada dasarnya adalah memudahkan manusia dalam berkehidupan sosial atau muamalah.
Prof Quraish mengingatkan pembaca akan firman-nya, yang artinya, “Allah menghendaki kemudahan buat kamu dan tidak menghendaki kesulitas atas kamu” (QS al-Baqarah: 185). “Dia (Allah) tidak menjadikan atas kamu sedikit kesulitan pun” (QS al-Hajj: 78).
Umat Islam memperoleh beragam kemudahan. Hal itu dinyatakan Rasulullah SAW, umpamanya, dalam sebuah hadis. “Sesungguhnya, Allah menoleransi untuk umatku kesalahan (kekeliruan tanpa sengaja) dan karena lupa dan karena keterpaksaan” (HR Ibnu Majah-Ibnu Hibban).
Watak dan sikap toleransi pada dasarnya adalah memudahkan manusia dalam berkehidupan sosial atau muamalah.
Teladan Nabi
Ulama penulis Tafsir al-Misbah itu mengatakan, Nabi Muhammad SAW adalah contoh paripurna dalam hal bertoleransi. Sebagai contoh, tatkala Rasulullah SAW hijrah dari Makkah ke Yastrib—yang kemudian berubah nama menjadi Madinah. Beliau melihat adanya fakta keberagaman di tengah masyarakat setempat.
Kota itu tidak hanya dihuni kaum Muslimin, yang juga beragam, yakni terdiri atas kabilah-kabilah. Di sana, terdapat pula orang-orang Yahudi dan Nasrani. Maka dari itu, beliau menggagas Piagam Madinah. Isi dokumen itu mengatur hubungan antarelemen masyarakat Madinah yang plural.
Bahkan dalam posisi berkuasa pun, Nabi SAW tidak memaksakan agama Islam untuk dipeluk orang-orang. Pada momen Pembebasan Makkah (Fathu Makkah), beliau menyatakan bahwa seluruh warga setempat terlindungi jiwa, raga, dan hartanya.
Tidak ada dendam. Tidak ada kekerasan atas kaum Quraisy yang dahulu mengusirnya dari tanah kelahiran. Pada akhirnya, berduyun-duyunlah penduduk Makkah memeluk Islam.
Keteladanan Nabi SAW itu diikuti kaum Muslimin, termasuk kalangan sahabat. Umar bin Khattab, misalnya, ketika menjabat sebagai khalifah membebaskan Baitul Makdis. Kota itu dihuni kaum Nasrani dan Yahudi.
Mulanya, mereka mengira akan dihabisi oleh sang pemimpin Muslim. Namun, ternyata Umar datang dengan berwibawa dan sekaligus kesederhanaan. Gereja-gereja tidak diratakan dengan tanah. Malahan, tempat ibadah orang Kristen dan Yahudi turut diperbaikinya, begitu pun seluruh tata kota setempat. Baitul Makdis pun kembali menjadi kota yang majemuk dan damai di bawah pemerintahan Islam.
Istilah ‘kafir’
Prof Quraish menjelaskan, Islam mengajarkan kepada umat agar menjauhi kebiasaan-kebiasaan yang tidak terpuji. Misalnya, pemberian julukan atau sebutan yang buruk untuk orang atau pihak lain. Larangan melakukan itu terdapat pada Alquran surah al-Hujurat.
Salah satu hal yang disoroti ulama tersebut adalah istilah kafir. Penyebutan itu memang ada di dalam Kitabullah, umpamanya, pada surah al-Kaafiruun.
Menukil pendapat alim dari abad ke-12, Fakhruddin ar-Razi, terdapat pemaknaan atas kata qul (‘katakanlah’) pada awal surah tersebut. Dengan menggunakan qul dalam “Qul yaa ayyuhal kaafiruun,” ayat itu mengisyaratkan bahwa hanya Allah Yang Maha Mengetahui siapa saja yang kafir dan yang nonkafir (Mukmin) di antara manusia.
Karena itu, ar-Razi memaparkan, hati-hatilah dalam menyebut atau menghakimi seseorang sebagai kafir. Seandainya telah terkumpul pada diri si fulan sebanyak 99 dari 100 indikator kekafiran, maka jangan langsung menyatakan di tengah umum bahwa yang bersangkutan sudah kafir.
Seandainya terkumpul pada diri si fulan sebanyak 99 dari 100 indikator kekafiran, maka jangan langsung menyatakan di tengah umum yang bersangkutan sudah kafir.
Di dalam Alquran, istilah-istilah seperti ahl al-kitaab juga digunakan. Dengan itu, Alquran tidak menjuluki orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai kafir, tetapi pemilik atau penganut kitab suci. Gelar tersebut diberikan, meskipun pada faktanya mereka telah melakukan penyimpangan-penyimpangan dari ajaran yang lurus (hanif).
Dengan membaca buku karya Prof Quraish Shihab ini, kita dapat menyelami pemaknaan toleransi, sesuai ajaran Islam. Ulama tersebut mengajak kaum Muslimin untuk selalu merawat kemajemukan. Sebab, sekali lagi, keberagaman itulah sebuah keniscayaan dalam hidup.
Kini, dalam era globalisasi dunia diibaratkan para ahli sebagai “desa kecil". Dahulu, Nabi SAW mengibaratkan kehidupan duniawi seperti halnya perahu yang berisi para penumpang. Bayangkan, apabila para warga desa tidak menghendaki adanya perbedaan. Itu tentu menimbulkan ketidaknyamanan.
Begitu pula, para penumpang yang hanya mau bersama dengan orang-orang yang dianggap sama dengannya. Bila egoisme itu tidak terkendali, kapal dapat oleng dan karam; sesuatu yang merugikan seluruh penumpang, bukan hanya satu atau dua orang.
Buku Toleransi diluncurkan pada momen Islamic Book Fair (IBF) 2022 di Jakarta beberapa waktu lalu. Dalam acara peluncuran karya itu, pihak Penerbit Lentera Hati berkolaborasi dengan Majelis Hukama Muslimin (MHM) kantor cabang Indonesia.
Menurut Direktur Lentera Hati, Nasywa Shihab, penerbitan buku tersebut diharapkan dapat turut mendukung kuatnya rasa tepasalira di tengah warga bangsa. Indonesia, lanjutnya, adalah sebuah negara yang amat beragam, baik dalam hal agama, suku, budaya, dan lain-lain.
Pada saat yang sama, dunia kini sedang dihadapkan pada praktik-praktik intoleransi, termasuk yang dapat dengan mudah ditemukan di jagat media sosial. “Buku ini penting untuk hadir ke publik, tidak hanya untuk memahami makna toleransi, tetapi juga sejumlah nilai yang diajarkan Alquran dan praktik yang diteladankan Nabi Muhammad SAW,” kata Nasywa.

DATA BUKU
Judul: Toleransi: Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Keberagamaan
Penulis: KH Muhammad Quraish Shihab
Penerbit: Lentera Hati
Tebal: 202 halaman
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Ki Bagoes Hadikoesoemo, Penggagas Tegaknya Syariat Islam
Ki Bagoes merumuskan pokok-pokok pikiran KH Ahmad Dahlan hingga menjadi Mukaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah.
SELENGKAPNYA