Sukarno dan Mohammad Hatta saat berada di Rengasdengklok. | wikimedia commons

Kronik

'Nafsu Merdeka' Pemuda Menteng di Rengasdengklok

Mereka menculik Sukarno-Hatta ke Rengasdengklok karena tak sabar membebaskan Indonesia dari belenggu penjajah.

OLEH BUDI RAHARDJO

Hari masih pagi. Rakyat sudah berkumpul di sebuah lapangan. Mata mereka tampak basah menyaksikan naiknya bendera Merah Putih. Air mata gembira. Di benak mereka, semua berpikiran sama, Indonesia sudah merdeka!

Hari itu, 16 Agustus 1945. Sebuah upacara sederhana, namun hikmat, telah dilangsungkan di sebuah lapangan kecamatan yang letaknya cukup jauh dari Jakarta. Lapangan di sebuah kota kecil di utara Karawang, Jawa Barat, yang bernama Rengasdengklok. Bendera Jepang, Hinomaru, diturunkan dan sebagai gantinya, Merah Putih dikibarkan. Jepang telah kalah!

Sebelumnya, penguasa Rengasdengklok, Wedana Mitsui, bersama staf, dan sejumlah orang Jepang lainnya sudah ditawan. Dipelopori pemuda yang tergabung dalam prajurit Peta (Pembela Tanah Air), pengalihan kekuasaan itu terjadi.

Lantas diangkatlah seorang camat yang baru dari kalangan pribumi, Sujono Hadipranoto. Dialah yang kemudian memimpin upacara pengibaran bendera Merah Putih itu.

Tak jauh dari situ, di sebuah rumah milik warga keturunan Tionghoa, Djiaw Kie Siong, Sukarno dan Muhammad Hatta berada. Dua orang tokoh perjuangan nasional itu belum lama tiba di Rengasdengklok setelah dini hari sebelumnya dibawa secara paksa dari Jakarta oleh sekelompok pemuda yang dipimpin Shodancho Singgih, seorang perwira Peta dari Daidan I Jakarta.

photo
Pengunjung melihat isi rumah bersejarah peninggalan keluarga Djiauw Kie Siong yang pernah disinggahi Proklamator RI Soekarno-Hatta di Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat, Sabtu (15/8/2020). Rumah bersejarah tersebut pernah digunakan sebagai tempat persinggahan Soekarno dan M Hatta menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 16 Agustus 1945. Rumah tersebut juga menjadi salah satu destinasi wisata sejarah untuk mengenang dan menghormati proklamator. - (Muhamad Ibnu Chazar/ANTARA FOTO)

Para pemuda itu menculik sang Dwi Tunggal dan membawa serta istri dan anak Sukarno, Fatmawati dan Guntur yang ketika itu masih berusia sembilan bulan. Pemuda mendesak keduanya untuk segera mendeklarasikan kemerdekaan RI.

Sejarawan, Susanto Zuhdi, melihat peristiwa yang diotaki oleh kelompok pemuda Menteng 31 itu sebagai salah satu bagian penting dari rangkaian sejarah Indonesia menjelang proklamasi kemerdekaan. Dilatari perbedaan pandangan dan langkah yang terjadi antara kalangan pemuda dan golongan tua yang direpresentasikan oleh sosok Sukarno-Hatta untuk mendeklarasikan kemerdekaan.

Semua ingin merdeka. Begitu mendengar kabar kekalahan Jepang dari Sekutu usai dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, para pemuda Menteng 31 yang dipelopori oleh Chaerul Saleh, Adam Malik, Wikana, dan Soekarni ini melihat terbukanya kesempatan untuk segera mendeklarasikan kemerdekaan. Mereka menganggap kemerdekaan harus segera diwujudkan tanpa campur tangan Jepang yang tak lama lagi bakal hengkang dari Indonesia. Tak perlu ditunda-tunda.

Namun, Sukarno sebagai ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mempunyai pikiran berbeda. Di PPKI itu, Hatta menjabat sebagai wakil ketua. Golongan tua ini lebih memilih menggunakan jalur PPKI yang dibentuk Jepang untuk mempersiapkan kemerdekaan.

Kendati pada 13 Agustus 1945 Sukarno-Hatta sudah mendengar langsung kabar kekalahan Jepang dari Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, keduanya belum memberikan sinyal kepastian proklamasi sehingga membuat pemuda semakin tidak sabar.

photo
Komunitas reka ulang sejarah Indonesian Reenachtors beradegan untuk difoto di Museum Gedung Joang 45, Jakarta Pusat, Sabtu (4/8). - (ANTARA)

Sehari kemudian, 14 Agustus 1945, sekembalinya dari Markas Besar Tentara Jepang untuk kawasan Asia Tenggara itu, Soekarno-Hatta langsung didesak para pemuda untuk segera mendeklarasikan kemerdekaan. Tapi, keduanya tetap ragu-ragu.

Desakan serupa dilakukan esok harinya. Tapi, lagi-lagi, tak mendapatkan jawaban memuaskan. ''Silakan kalau Anda mau memproklamasikan sendiri tanpa kami,'' kata Sukarno balik menantang Wikana dan kawan-kawan (dkk).

Ketegangan pun memuncak. Malam harinya, mereka kembali menggelar pertemuan dan lahirlah keputusan untuk menculik Sukarno-Hatta ke Rengasdengklok karena daerah itu sudah sepenuhnya di bawah kendali Peta. Dipimpin Shodanco Singgih, Sukarno-Hatta dibawa dari rumahnya masing-masing pada 16 Agustus 1945 dini hari tanpa diberitahu arah tujuannya.

Para pemuda sebenarnya merencanakan pendeklarasian kemerdekaan itu di Rengasdengklok. Naskah proklamasi kabarnya sudah disiapkan. "Interpretasi sejarawan, pemuda tidak bisa meyakinkan, mendesak, atau menekan Soekarno-Hatta untuk memproklamasikan di sana," kata Susanto.

Namun, tujuan penculikan itu tak bisa dikatakan gagal. Peristiwa Rengasdengklok tetap memberikan makna besar. Sebab, langkah menuju ke arah deklarasi kemerdekaan RI menjadi cepat, kendati tak sepenuhnya bisa lepas dari pengaruh Jepang.

photo
Pewaris rumah bersejarah, Djiauw Kiang Lin (kanan) menjelaskan kepada pengunjung kisah rumah Djiauw Kie Siong yang pernah disinggahi Proklamator RI Soekarno-Hatta di Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat, Ahad (15/8/2020). - (ANTARA FOTO/M Ibnu Chazar)

Melalui mediasi yang dilakukan anggota PPKI, Achmad Soebarjo, pemuda sepakat untuk melepaskan Sukarno-Hatta dengan jaminan bahwa kemerdekaan segera dikumandangkan di Jakarta.

Sebenarnya, Kamis (16 Agustus 1945) pagi, PPKI akan menggelar rapat. Undangan sudah disebar kepada 26 anggotanya. Namun, ketika waktunya tiba, semuanya merasa heran mengapa Soekarno-Hatta tidak datang. Tak ada penjelasan alasan ketidakhadiran kedua pemimpin itu. Melihat gelagat yang tak wajar dan mencemaskan keselamatan kedua orang itu, peserta rapat menugaskan Soebardjo untuk mencari tahu.

Setelah berupaya keras, Soebardjo yang memiliki kedekatan dengan Wikana dapat mengetahui tempat Soekarno-Hatta diculik. Soebardjo melunakkan salah seorang tokoh Menteng 31 ini dengan meyakinkan bahwa rapat PPKI sudah merancang matang kemerdekaan dan tinggal menunggu hari.

Wikana kemudian meminta rekannya, Pandu Kartawiguna, untuk mengantar Soebardjo menemui Sokarno-Hatta. Tapi, jalan untuk membebaskan kedua pimpinan PPKI itu masih tidak mudah. Di Rengasdengklok, ia kembali harus meyakinkan pemuda Peta yang menjaga Sukarno-Hatta.

photo
Rumah bersejarah yang pernah disinggahi Proklamator RI Soekarno-Hatta di Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat, Senin (1/10). - (ANTARA FOTO)

Sempat terjadi ketegangan antara menteri luar negeri Indonesia pertama itu dengan Chudancho Subeno. Sebagai pemimpin Cudan Rengasdengklok (setingkat kompi) yang bertanggung jawab atas keamanan Sukarno-Hatta, Subeno tak mengizinkan Soebardjo membawa kedua tokoh itu kembali ke Jakarta.

Keduanya lantas berunding. Sedikit mengancam, Subeno meminta jaminan Subardjo bahwa proklamasi kemerdekaan segera dikumandangkan. ''Tembak saja saya!'' tantang jebolan Universitas Leiden, Belanda, itu kepada pemuda.

Hari itu juga, Sukarno-Hatta dibawa kembali ke Jakarta. Namun, Soebardjo ganti dipusingkan mencari tempat yang aman untuk menyusun naskah proklamasi.

Kondisi saat itu sangat rawan. Para tokoh perjuangan kemerdekaan diincar tentara Jepang, Kampetai. Meskipun sudah kalah, Kampetai ditugasi Sekutu untuk menjaga status quo di Indonesia. Tak boleh ada perubahan politik di negeri bekas jajahan Belanda dan Jepang ini sampai Sekutu mengambil alih.

Sebagai diplomat ulung, Soebardjo lantas menggunakan rumah dinas Laksamana Maeda untuk merumuskan naskah proklamasi. Rumah ini dirasakan sangat aman karena mempunyai semacam kekebalan diplomatik dari gangguan Kampetai.

photo
Komunitas reka ulang sejarah Indonesian Reenachtors mengunjungi Museum Gedung Joang 45, Jakarta Pusat. - (ANTARA)

Saat itu, Jawa dan Sumatra masuk dalam kendali tentara Angkatan Darat Jepang. Sedangkan, Maeda adalah perwira penghubung dari Angkatan Laut Jepang yang wilayahnya ada di Indonesia bagian timur.

Hari sudah malam. Naskah proklamasi kemudian disusun bertiga oleh Sukarno, Hatta, dan Soebardjo, di lantai atas. Tuan rumah sama sekali tak ikut campur. Namun, hadir perwakilan pemuda, Soekarni dan Sajuti Melik.

Begitu pula dengan lokasi dilangsungkannya deklarasi kemerdekaan. Semula, disepakati tempatnya di lapangan Ikada (sekarang lapangan Monas). Namun, lantaran sudah dijaga ketat Kampetai, mendadak dipindah ke kediaman Sukarno di Jalan Pegangsaan Timur 56. 

Waspadai Musuh Besar Pemuda Masa Kini

Kelompok Menteng 31 diambil dari alamat sebuah gedung di permukiman elite Jakarta Pusat. Bangun tersebut kini menjadi Museum Gedung Joang 45. Melihat dari sejarahnya, gedung itu memang lekat dengan perjuangan kalangan pemuda yang memiliki sifat revolusioner sejak zaman pergerakan di masa kolonial Belanda, Jepang, hingga pasca-Proklamasi 17 Agustus 1945.

Tercatat dalam sejarah, gedung ini pernah menjadi tempat menempa ilmu dan diskusi-diskusi pemuda yang dimentori oleh tokoh-tokoh pergerakan, seperti Sukarno, Hatta, Muhammad Yamin, hingga Ki Hajar Dewantara. Para pemuda itu berasal dari latar belakang dan tingkat pendidikan yang beragam.

Sedangkan, di zaman Jepang, gedung ini pernah dijadikan Kantor Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dan kantor Jawa Hokokai. Keduanya merupakan organisasi bentukan Jepang.

photo
Foto Raisan Al FarisiLatihan UpacaraSejumlah murid SMP terpilih se-Jabodetabek berlatih upacara bendera di Gedung Joang 45, Menteng, Jakarta Pusat. - (Republika/Raisan Al Farisi)

Kendati aktivitasnya sempat meredup lantaran keberadaan Putera, pemuda Menteng 31 kembali menggeliat pada Juni 1945. Pemicunya, rencana kemerdekaan Indonesia yang dipersiapkan oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk Jepang.

Para pemuda mendirikan Pemoeda Angkatan Baroe (PAB) yang diketuai oleh BM Diah, sekaligus untuk menandingi Gerakan Rakyat Baroe bentukan Jepang yang dipimpin Mr Sartono. PAB menjadikan Menteng 31 sebagai markasnya.

Sayangnya, PAB ini hanya berusia singkat. Tiga hari sejak didirikan, pada 3 Juni 1945, PAB dibubarkan Jepang yang khawatir dengan semangat progresivitasnya. Kendati demikian, para pemuda tetap menjalin hubungan erat. Tokoh-tokoh pemuda Menteng 31, seperti Chairul Saleh, Soekarni, Wikana, dan Adam Malik, terus menjaga komunikasi politiknya setelah mendengar kabar tanda-tanda kekalahan Jepang dari Sekutu. Mereka juga dibantu oleh Sutan Sjahrir.

Tak hanya peristiwa Rengasdengklok, Pemuda Menteng 31 juga berperan dalam pembentukan Komite van Aksi Proklamasi pada 18 Agustus 1945. Komite yang diketuai oleh Soekarni ini bertujuan untuk mendorong berbagai upaya mengisi kemerdekaan, menyempurnakan pemerintahan, hingga menggalang rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan.

Puncaknya, rapat raksasa yang digelar di Lapangan Ikada atau kini Monas, Jakarta, pada 19 September 1945. Melalui rapat Ikada, pemuda mendesak Sukarno segera mewujudkan pemindahan kekuasaan dari Jepang sebagaimana diamanatkan dalam teks proklamasi.

Pasalnya, sebulan sejak proklamasi dideklarasikan, pemuda melihat pemindahan kekuasaan itu belum benar-benar terjadi. Meskipun sudah tak bersemangat kerja lagi, Jepang masih menguasai kantor-kantor pemerintahan. Jepang pun masih menguasai senjata sehingga faktanya tetap berkuasa di Indonesia.

"Karena itu, pemuda mendesak lagi melalui rapat Ikada. Pemuda mengingatkan bahwa kekuasaan masih di tangan Jepang," ujar Guru Besar Sejarah Universitas Indonesia. Susanto Zuhdi.

photo
Pewaris rumah bersejarah, Liauw Chin Lan, membersihkan rumah yang pernah disinggahi Proklamator RI Soekarno-Hatta di Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat. - (ANTARA FOTO)

Di komite itu, bercokol pula Chairul Saleh sebagai wakil ketua, AM Hanafi (sekretaris), Adam Malik, Wikana, Pandu Kartawiguna, Maruto Nitimihardjo, Kusnaeni, Darwis, Djohar Nur, dan Armunanto. Karena memiliki benih radikalisme, beberapa di antara mereka kemudian bersimpati dan bergabung dengan gerakan Tan Malaka.

Peranan pemuda selalu mewarnai perjalanan sejarah negeri. Jauh sebelum kemerdekaan, bangsa ini sudah mengenal organisasi Budi Utomo dan Perhimpunan Indonesia yang dimotori kalangan mahasiswa.

Budi Utomo, yang dibentuk pada 20 Mei 1908 dan Perhimpunan Indonesia di tahun yang sama, merupakan cikal bakal lahirnya benih-benih gerakan pemuda intelektual yang sangat memengaruhi era pergerakan. Semangat nasionalisme pemuda di zaman itu tak perlu diragukan lagi.

Sejarah juga mencatat keterlibatan pemuda pada masa peralihan kekuasaan dari zaman Orde Lama ke Orde Baru. Pun, ketika era Reformasi menggusur Orde Baru, lagi-lagi di dalamnya muncul sosok pemuda yang direpresentasikan oleh kalangan mahasiswa. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, era globalisasi, dan merebaknya kapitalisasi, semangat nasionalisme pemuda Indonesia tampaknya telah memudar. Benarkah?

Pakar pendidikan, Arief Rachman, mengakui kenyataan itu. Tapi, ia melihat kehidupan pemuda saat ini lebih banyak dikuasai budaya individualisme, konsumerisme, materialisme, dan hedonisme. Kalangan ini terjebak dalam kehidupan borjuis yang dipengaruhi budaya yang mengunggulkan materi dan kekuasaan.

"Itu adalah musuh besar dan kaum muda harus waspada. Kita harus menyeimbangkan kehidupan individualisme ini dengan masyarakat, rohani dengan jasmani, kekuasaan politik dengan moral," tutur Arief.

Musuh besar lainnya berupa hilangnya idealisme bangsa dan negara serta kebodohan dan kemiskinan yang masih menjerat banyak rakyat. "Tapi, saya paling takut oleh hilangnya idealisme ini daripada kebodohan dan kemiskinan," tandas Arief.

Disadur dari Harian Republika edisi 17 Agustus 2008

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Ribut Budi Utomo Sebelum Akhirnya Berfusi

Di rapat tertutup Kongres Budi Utomo pada 1926 itu pula muncul keinginan agar Budi Utomo tidak lagi aktif di kegiatan politik.

SELENGKAPNYA

Batavia Menjiplak Amsterdam

Bukan hanya nama Batavia diputuskan di Belanda, tapi juga pembangunan kota dirancang dari Kota Amsterdam.

SELENGKAPNYA

Membantu Orang Zalim

Semoga kita dijauhkan dari orang-orang zalim dan jangan menjadi bagian dari kezaliman.

SELENGKAPNYA