Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (kiri) memberikan pengarahan saat menghadiri pemantapan tim pemenengan pasangan calon bupati dan wakil bupati Magetan Suprawoto dan Nanik Endang Rusminiarti (ProNa) di lapangan Desa Purwodadi, Kabupaten | ANTARA FOTO

Jakarta

Dugaan Pungli di Pengurusan Sertifikat Prona

Warga Sunter Agung dipungut biaya hingga puluhan juta.

 

JAKARTA — Pembagian sertifikat tanah gratis melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang merupakan Program Nasional Agraria (Prona) diwarnai pungutuan liar (pungli). Pungli Prona dilaporkan terjadi di kawasan Sunter Agung, Jakarta Utara.

Pembagian sertifikat ini merupakan program andalan Presiden RI Joko Widodo. Seharusnya Prona di bawah Badan Pertanahan Nasional (BPN) ini tidak dipungut biaya alias gratis. Namun, kenyataannya masyarakat harus merogoh kocek hingga puluhan juta. 

Sejumlah warga harus mengeluarkan uang jutaan untuk bisa mendapatkan sertifikat tanah miliknya yang semestinya gratis. Oknum diduga meminta sejumlah uang dari warga yang ingin membuat sertifikat Prona sekitar Rp 3 juta hingga Rp 5 juta per bidangnya. Bahkan, ada masyarakat yang dipaksa mengeluarkan uang hingga Rp 20 juta untuk mendapatkan sertifikat yang jadi haknya.

Salah seorang warga RW 01 Kelurahan Sunter Agung, berinisial D, mengaku dipungut biaya Rp 20 juta untuk memperoleh empat sertifikat tanah miliknya. Pria paruh baya itu mengaku mengetahui informasi dari media massa jika Prona tidak dipungut biaya. Namun, ada oknum pemerintahan yang mengurusi Prona di kawasan RW 01, Sunter Agung, Jakarta Utara, yang menurut dia meminta bayaran. 

"(Katanya) bayar ini dari pusat, tapi saya dengar Pak Presiden gratis, kenapa di sini kena Rp 5 juta. Tapi, ya ikut saja, takutnya kalau nggak ikut takut nggak jadi," ujar D, saat ditemui di kediamannya di kawasan Sunter Agung, Jakarta Utara, Jumat (27/5).

Kekecewaan D tidak hanya soal biaya. Ia mengaku empat sertifikat yang diterimanya bukan berbentuk surat hak milik (SHM), melainkan sertifikat hak pakai. Dia menyebut, dia harus menunggu hingga 20 tahun untuk mengubah sertifikat tanah miliknya menjadi SHM. 

Tentu saja, hal ini di luar perkiraannya. Padahal, uang tersebut sangat besar nilainya bagi dia yang hanya pedagang kecil. "Harapan (sertifikat) harus hak milik. Kalau tidak, uang kembali," kata pria asal Jawa Tengah itu. 

Menurut dia, pada saat itu dari pihak RT setempat ada yang menawarkan pembuatan sertifikat melalui Prona dengan setoran awal Rp 2 juta untuk biaya administrasi. Sayang, ketika itu dia tidak ada di rumah sehingga oknum menemui ibu dari H yang tidak mengerti program bantuan pemerintah tersebut. 

Kemudian setelah sertifikatnya sudah jadi, H mengatakan, oknum itu kembali ke rumah dan menyampaikan bahwa sertifikat milik keluarganya sudah jadi dan siap diambil. Namun, untuk mengambilnya, dia harus menyetorkan uang sebesar Rp 3 juta tanpa diberi tahu untuk biaya apa. 

Anehnya, H mengaku, baik pada saat menyetorkan uang Rp 2 juta maupun Rp 3 juta, oknum tersebut tidak memberikan kuitansi apa pun. 

"(Semuanya) tidak ada kuitansi. Pengambilannya langsung ke rumah RT, disuruh datang saja ke rumah RT untuk mengambil, jadi bayar cash. Yang ngambil ibu sama keponakan kebetulan, saya lagi nggak ada. Dia (RT) bilang, kalau nggak dibayar, ini surat nggak akan jadi," ujar H.

Pungli sudah setahun

Keterangan RW setempat, aksi pungli itu sudah berjalan sejak 2017-2019 yang dilakukan oleh perangkat RW dan RT yang bertugas pada tahun itu. Bahkan, ada beberapa ketua RT yang sudah dicopot akibat pungli itu, tapi juga masih banyak yang tak terendus. 

Hal ini menimbulkan keresahan dan ketidakpuasan di masyarakat setempat jika kasus pungli Prona tidak dituntaskan. Menurut penjelasan RW setempat, kelurahan Sumber Agung mendapatkan jatah program sertifikat gratis dari pemerintah. 

Lalu dibentuklah Pondok Kerja Masyarakat (Pokmas), organisasi untuk pengurusan tingkat kelurahan dan ada juga kepengurusan tingkat RW kelompok sertifikat. Dalam pebentukan kelompok itu mereka membuat kesepakatan, yaitu adanya pungutan uang. Padahal pemerintah tidak mengizinkan. Pungutan itu berdalih dibagi-bagi kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN), RT, dan untuk ongkos operasional kelompok tersebut.

"Jadi, buat sertifikat harusnya gratis, ini malah harus bayar. Saya buka dikit-dikit. Jadi, ada kesepakatan Rp 2 juta per KK, tapi RT-nya itu mungut lagi dari Rp 5 juta hingga Rp 10 juta. Bukti ada," kata pengurus RW setempat.

Praktik pungli Prona di RW 01 Kelurahan Sunter Agung terendus ketika masyarakat mulai berani melapor. Hingga saat ini, RW setempat telah menerima banyak laporan pungli dan disertai dengan bukti-bukti yang meyakinkan. Hanya, hingga saat ini instansi yang berwenang belum melakukan tindakan signifikan untuk memberantas pungli Prona yang dilakukan secara masif dan terstruktur tersebut. 

"Saya harap ini dibenahi karena sudah banyak yang dirugikan. Karena sebetulnya warga di sini itu ada yang berani melapor ada juga yang mau tapi takut. Ini bukan satu dua orang, banyak orang," ujarnya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat