Pengunjuk rasa menggelar protes menentang kudeta militer di Mandaly, Myanmar pada 2021 lalu. | AP/AP

Kisah Mancanegara

Kudeta dan Mimpi Buruk Menstruasi

Junta mengusir 230 ribu orang yang kini kesulitan mendapatkan air bersih, kayu bakar, dan makanan.

OLEH FERGI NADIRA

Setahun lebih sudah Myanmar menghadapi situasi sulit akibat kudeta militer Februari 2021. Lebih dari setengah juta orang mengungsi dan jutaan orang tidak dapat mengakses makanan pokok, kebutuhan medis, dan air bersih.

Namun, belitan masalah bagi warga Myanmar tak berhenti sampai di sana. Bagi para perempuan, kudeta militer ternyata berdampak pada terbatasnya akses terhadap pasokan pembalut.

Kesulitan ini diperparah dengan tantangan mengatur menstruasi bulanan bagi para perempuan. Sejak meninggalkan desanya, para perempuan Myanmar diharuskan untuk tidur di bawah terpal di hutan atau berlindung di sekolah dan biara terdekat.

"Saya harus menggunakan satu pembalut sepanjang hari dan malam. Saya menggunakannya sampai darah meluap dan kadang-kadang, saya menggunakan kain ketika saya tidak memiliki pembalut sama sekali," kata Sandar, seorang perempuan dari wilayah Sagaing barat laut negara itu, dikutip dari Aljazirah, Ahad (29/5).

photo
Perempuan melayangkan salam tiga jari lambang perlawanan terhadap kudeta militer di Mandalay, Myanmar,  pada 21 Mei 2022. - (EPA/STRINGER)

Krisis tak hanya mempersulitnya untuk mendapatkan pembalut, namun juga untuk menemukan cukup air untuk mandi ataupun mencuci pakaian. Kesulitan itu membuatnya tidak nyaman secara fisik bagi perempuan.

Ada pula beban rasa malu, dan risiko terinfeksi penyakit yang cukup besar. "Saya tidak merasa percaya diri untuk berjalan-jalan atau mendekati orang lain ketika saya sedang menstruasi," katanya.

Aljazirah telah menggunakan nama samaran untuk Sandar dan wanita lainnya karena risiko pembalasan militer bagi mereka yang berbicara kepada wartawan. Di desa Sandar, saat ini hanya ada satu toko yang menjual pembalut, namun terkadang stoknya pun habis.

Bahkan jika pembalut tersedia, biayanya mencapai dua kali lipat sejak kudeta. Saat ini, para perempuan di Myanmar tenggara juga tengah mengalami masalah serupa. Daerah tersebut menyaksikan pertempuran tiada henti. Junta mengusir 230 ribu orang yang kini kesulitan mendapatkan air bersih, kayu bakar, dan makanan.

Krisis serupa juga terjadi di Negara Bagian Kayah. Lebih dari separuh penduduknya kini mengungsi dan militer telah mengebom ibu kota serta kamp-kamp pengungsian.

Htee Meh, yang merupakan mahasiswa sebelum pandemi dan kudeta, meninggalkan desanya Mei lalu karena pertempuran. Sejak itu dia berpindah dari satu tempat ke tempat lain, tidur di rumah orang lain atau di hutan.

Sama seperti Sandar, Htee juga sering kehabisan perlindungan sanitasi. "Kadang-kadang, pembalut tidak ada sama sekali karena jalan yang ditutup," katanya.

Saat ini, menurut Htee, orang tidak dapat bekerja karena pertempuran yang terus-menerus. “Bahkan jika kami ingin pergi dan membeli pembalut, sangat berbahaya untuk bepergian dan harga bensin juga sangat tinggi," ia menambahkan.

Tak ingin menyia-nyiakan kain, terkadang ia pergi tanpa produk menstruasi sama sekali. "Itu membuat pakaian dalam saya sangat kotor dan tidak nyaman," katanya.

Pada satu waktu, 800 juta orang di seluruh dunia mengalami menstruasi. Bahkan dalam situasi terbaik, pengalaman tersebut dapat menyebabkan ketidaknyamanan dan stres bagi banyak wanita.

photo
Pengunjuk rasa menggelar protes menentang kudeta militer di Yangon, Myanmar pada 2021 lalu. - (AP/AP)

Tetapi bagi mereka yang hidup dalam kemiskinan atau situasi yang mengganggu seperti konflik, menstruasi dapat memiliki implikasi yang jauh lebih buruk. Baik bagi kesehatan, keselamatan, hingga kesejahteraan mereka.

Peneliti kesehatan masyarakat di program Gender, Adolescent Transitions and Environment (GATE) Universitas Columbia, Amerika Serikat (AS), Maggie Schmitt mengatakan, perempuan dan anak perempuan telantar seringkali tidak hanya menghadapi kemiskinan haid, atau kesulitan membeli produk menstruasi, tetapi sering juga kekurangan akses terhadap produk-produk ini.

Termasuk juga, akses terhadap toilet pribadi yang bersih serta aman. Ketakutan akan noda darah karena produk menstruasi yang tak mencukupi, dapat membuat wanita dan remaja putri sulit berpartisipasi dalam aktivitas sehari-hari mereka, seperti bekerja dan sekolah.

Sementara ketidakmampuan untuk mandi dengan sabun dan air bersih atau mengganti produk menstruasi, membuat mereka sangat rentan terhadap infeksi. Apalagi, dengan perawatan medis yang kian terbatas akibat konflik.

"Ada kebutuhan untuk lebih memperhatikan kebutuhan menstruasi mereka yang mampir sebulan sekali. Termasuk anak perempuan dan perempuan yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari keselamatan dan perlindungan," kata Schmitt.

Di Myanmar, pertempuran dan ketidakstabilan yang meluas telah sangat memengaruhi kemampuan perempuan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka selama menstruasi. Wanita di Myanmar mengatakan, saat ini pembalut semakin melampaui anggaran mereka.

Hal ini tak lepas dari naiknya harga barang kebutuhan pokok yang harganya kian melejit di seluruh negeri. Belum lagi, masyarakat di sana juga masih harus berhadapan dengan tingginya harga bahan bakar, gangguan rantai pasok, dan jatuhnya nilai mata uang Myanmar, kyat.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Kemenag: Calhaj Tes PCR Sebelum ke Asrama Haji

Selama di asrama haji, kondisi kesehatan jamaah akan langsung diamati dan dikontrol petugas dari dinas kesehatan setempat.

SELENGKAPNYA

Kekerasan Meningkat di Kashmir

Situasi kekerasan terus tereskalasi di Kashmir, sejak pengadilan India menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada pemimpin pro-kemerdekaan Kashmir Yasin Malik.

SELENGKAPNYA

Mem-booster Etos Kerja

Menjaga konsistensi etos kerja bagi seorang Muslim harus terus diupayakan.

SELENGKAPNYA