Sastra
29 May 2022, 08:00 WIBPuisi-Puisi Tjahjono Widarmanto
Selalu saja ada yang terbang. lepas dan melenggang begitu saja.
FANA
1
selalu saja ada yang terbang. lepas dan melenggang begitu saja.
seperti laron memburu pagi. memburu arah utara
2
dipanggilnya nama-nama itu, segenap nama yang dihafalnya
namun semuanya berkelebat dengan diam.
dia mendengar lonceng-lonceng bergemerincing. seolah berbisik
: mungkin ini malam terakhir. melambailah!
gemerincing lonceng itu mengguncang pelan
3
terburu-buru, ia akhiri doa yang mestinya panjang itu.
: ini musim penghujan. mendung meratapi bulir-bulir airnya
sekejap lagi menetes diserap tanah atau ditelan laut dahaga
4
antara ranting cemara dan gugur daun akasia
manakah yang lebih dicintai bumi?
TAMSIL USIA
cemas membayangkan sebutir larva menjelma ulat rakus menggrogoti apa saja
itukah usia?
kita tak pernah sanggup menangkap waktu
justru kita terperangkap dalam sarangnya
selalu terlambat untuk sekadar mencuri
selembar foto di kala remaja
kalender selalu merayap menuju warna-warna licin
seperti pengembara kehilangan purnama
tersesat di kuburan
tersaruk-saruk di antara nisan dan gembur kubur
berapa kali seseorang harus mengulang-ulang arah jalannya?
barangkali kita harus abadi menjadi ulat dan gagal menjelma kupu-kupu
selalu ditakdirkan lapar padahal lidah tidak lagi sanggup mencecap jejak
bahkan rempah paling getir sekalipun
lapar memaksa kita bercakap tentang pesta-pesta
berakhir di ruang-ruang musium di antara perabot tua
yang menghisap gelombang usia.
TAREKAT DAUN (1)
kurahasiakan semuanya. pun pada cecabang dan duriku
kutengadahkan wajahku pada sumba warna langit yang berkilau jauh
kusingitkan keinginan akar yang mencelup ke telaga
tak hanya puas pada gembut gembur tanah liat
padahal di gembutnya berdenyut semacam rindu
menjadi nujum yang membuat semuanya alpa pada hijau
warna yang dirahasiakan. disembunyikan di lontar-lontar primbon
seperti masa lampau yang kecewa pada segala sabda dan kata
lantas ingin mencipta ulang riwayat nabi-nabi mendaraskan wahyu-wahyu baru
: duh, duh segala kamus yang sembunyikan makna biarkan suluk-suluk itu terbakar
di gurun-gurun atau sebaliknya meringkuk di perpustakaan dan musium-musium gelap
atau sumusup di kekosongan seperti bau parfum kesturi dioplos kentut si badranaya!
Tjahjono Widarmanto adalah penyair, tinggal di Ngawi, Jawa Timur. Buku puisinya Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak menerima anugerah Buku Pilihan Hari Puisi Indonesia tahun 2016. Buku puisinya yang terbaru adalah Bersepeda dari Barat ke Utara hingga Tumbuh Bulu di Tulang Rusukku. Selain menulis, ia juga bekerja sebagai guru di SMA 2 Ngawi.
FANA
1
selalu saja ada yang terbang. lepas dan melenggang begitu saja.
seperti laron memburu pagi. memburu arah utara
2
dipanggilnya nama-nama itu, segenap nama yang dihafalnya
namun semuanya berkelebat dengan diam.
dia mendengar lonceng-lonceng bergemerincing. seolah berbisik
: mungkin ini malam terakhir. melambailah!
gemerincing lonceng itu mengguncang pelan
3
terburu-buru, ia akhiri doa yang mestinya panjang itu.
: ini musim penghujan. mendung meratapi bulir-bulir airnya
sekejap lagi menetes diserap tanah atau ditelan laut dahaga
4
antara ranting cemara dan gugur daun akasia
manakah yang lebih dicintai bumi?
TAMSIL USIA
cemas membayangkan sebutir larva menjelma ulat rakus menggrogoti apa saja
itukah usia?
kita tak pernah sanggup menangkap waktu
justru kita terperangkap dalam sarangnya
selalu terlambat untuk sekadar mencuri
selembar foto di kala remaja
kalender selalu merayap menuju warna-warna licin
seperti pengembara kehilangan purnama
tersesat di kuburan
tersaruk-saruk di antara nisan dan gembur kubur
berapa kali seseorang harus mengulang-ulang arah jalannya?
barangkali kita harus abadi menjadi ulat dan gagal menjelma kupu-kupu
selalu ditakdirkan lapar padahal lidah tidak lagi sanggup mencecap jejak
bahkan rempah paling getir sekalipun
lapar memaksa kita bercakap tentang pesta-pesta
berakhir di ruang-ruang musium di antara perabot tua
yang menghisap gelombang usia.
TAREKAT DAUN (1)
kurahasiakan semuanya. pun pada cecabang dan duriku
kutengadahkan wajahku pada sumba warna langit yang berkilau jauh
kusingitkan keinginan akar yang mencelup ke telaga
tak hanya puas pada gembut gembur tanah liat
padahal di gembutnya berdenyut semacam rindu
menjadi nujum yang membuat semuanya alpa pada hijau
warna yang dirahasiakan. disembunyikan di lontar-lontar primbon
seperti masa lampau yang kecewa pada segala sabda dan kata
lantas ingin mencipta ulang riwayat nabi-nabi mendaraskan wahyu-wahyu baru
: duh, duh segala kamus yang sembunyikan makna biarkan suluk-suluk itu terbakar
di gurun-gurun atau sebaliknya meringkuk di perpustakaan dan musium-musium gelap
atau sumusup di kekosongan seperti bau parfum kesturi dioplos kentut si badranaya!
Tjahjono Widarmanto adalah penyair, tinggal di Ngawi, Jawa Timur. Buku puisinya Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak menerima anugerah Buku Pilihan Hari Puisi Indonesia tahun 2016. Buku puisinya yang terbaru adalah Bersepeda dari Barat ke Utara hingga Tumbuh Bulu di Tulang Rusukku. Selain menulis, ia juga bekerja sebagai guru di SMA 2 Ngawi.
Nasionalisme Pancasila
Itulah nasionalisme autentik yang berpijak di bumi Indonesia milik bersama.
SELENGKAPNYAMenemukan Kilau
Sekalipun terpendam dalam lumpur kotor, berlian tak pernah kehilangan kilau.
SELENGKAPNYA