Suasana belajar di Gontor putri | Youtube

Opini

Bangkit dari Keterpurukan: Belajar dari Gontor

Gontor mengajarkan kita untuk optimisme dan semangat menjalani kehidupan.

CERIA FAJAR; Alumnus KMI Pondok Modern Darussalam Gontor 2005

"Jangan lupa darimana kamu berasal, itulah yang membuatmu menjadi dirimu hari ini." 

Begitu orang bijak pernah bilang. Dahulu, saya bertahan di Gontor karena saya terlalu melekat pada teman-teman saya yang seru. Namun, jauh setelah menjadi alumni, saya menyadari bahwa pernah di gembleng Gontor adalah sebuah privilege.

Bahkan pengalaman yang kurang menyenangkan di sana tak dinyana malah menjadi tameng yang menyelamatkan kehidupan saya di masa dewasa saya. Jauh setelah saya lulus di tahun 2005.

Di tahun 2015 usaha konveksi suami mengalami kebangkrutan. Kolaps hingga kami yang awalnya memulai usaha di tahun 2008 dari nilai 0, terjun bebas ke minus 8 digit. 

Kebangkrutan ini bermula dari kami mendapat orderan setelan baju seragam dan kaos dari seorang klien dengan kuantiti yang banyak. Pemesan tersebut juga menjanjikan jika kerjasama ini akan berkelanjutan. Salah satu syaratnya adalah penurunan uang muka yang biasanya 50% dari total order menjadi hanya 20% saja. Tergiur janji, kami pun menyanggupi. Tentu saja, karena rendahnya uang muka, untuk modal produksi kami terpaksa meminjam uang sana-sini untuk modal produksi.

Tak disangka klien membawa lari semua baju yang  dia pesan tanpa menyelesaikan pembayaran dan tak pernah terlihat kembali. Giro yang diberikannya, bloong semua! Klien menghilang hampir tanpa jejak, tinggallah kami dengan hutang produksi yang tak sedikit jumlahnya.

Kami bukan tidak tahu tentang larangan mendekati riba dan hukuman bagi pelaku riba. Tapi untuk pengusaha muda yang hanya bermodal nyali, riba terlihat seperti sebuah solusi yang paling rasional. Kami harus membayar para karyawan, kami juga harus mengembalikan uang dari kawan dan saudara yang dipinjam. 

Saya harus pura-pura lupa dengan banyaknya hadist yang “terpaksa” dihafal untuk ujian naik kelas dulu. Sambil menahan tangis saya menandatangani surat persetujuan pinjaman didepan notaris. Semakin menjadi ketika mengetahui, hanya untuk notaris dan administrasi belasan juta terpotong dari besaran pinjaman dan akan jadi beban hutang cicilan.

Bisa dibayangkan, tak punya modal dan bertambah dengan beban hutang, usaha kami hampir lumpuh total. Satu persatu mesin kami jual untuk menutup cicilan. Puluhan mesin habis terjual hanya dalam beberapa bulan hingga kami tak lagi punya apapun untuk di jual. Setiap hari adalah sebuah perlombaan. Lomba menggali dan menutup hutang. 

Semua yang kami hasilkan saat itu, fokus untuk kejar cicilan hingga tak jarang, kami hanya punya kerupuk sebagai lauk. Anehnya, saya tetap makan lahap sekali. Itu karena saya dan kerupuk memang kawan sejati sedari jaman santriwati. 

Untuk santri yang tidak  bisa sarapan dikarenakan mengantri mandi, tidak bisa makan siang karena dijemur oleh bagian keamanan dan nggak bisa makan malam karena disidang Bagian Bahasa, maka kerupuk adalah satu-satunya barang mewah yang bisa kita temukan secara gratis di luar jam makan!

Dan untuk bisa memakannya juga bukan hal mudah! Karena harus lihai bermain petak umpet sama mbok-mbok Kopda (koperasi dapur) yang juga merangkap sebagai jasa pengintai. Dibutuhkan keberanian, juga keberuntungan dan perlindungan dari malaikat. 

Jadi, bisa makan nasi berlauk kerupuk dengan tenang dan khidmat tanpa takut di-strap Bagian Keamanan itu sudah sebuah kenikmatan tak terkira. Alhamdulillah. 

Bisa dibilang saya jadi bersyukur pernah menjadi adik kelas kesayangan dari kakak-kakak penghuni Syanggit (Gedung Organisasi Pelajar) maupun santri kesayangan Ustadzat Riayah. Saya sering keluar masuk gedung-gedung mereka itu di petang hari untuk penggemblengan mental ala-ala orientasi pelajar. Omelan, marahan dan teriakan sudah menjadi menu setiap pekan. 

Karena terlatih untuk tetap diam tak bergeming saat disidang, saya bisa lakukan hal yang sama saat debt collector rajin sekali bersilaturahmi. Walau kali itu, sumpah serapah dan hinaan juga harus rela diterima. Saya menerimanya dengan lapang dada dan tanpa perdebatan, toh sama seperti jaman di pesantren dulu, saya bukan korban, saya menuai akibat.

Ngeri, takut, malu pasti tapi bahu  tetap bahu tegak. Karena seperti semua jenis hukuman saat di Gontor,  walaupun membuat mental terasa hancur tapi saya selalu yakin semua ada akhirnya. Karena tidak mungkin selamanya saya mujafaf (dijemur), selalu ada jaros (lonceng sekolah) yang akan mengakhiri.

Tak tega karena susah makan dan ikut dikejar hutang suami pernah menawarkan saat itu, "kamu boleh pergi kalau kamu mau, saya ikhlas,"  ujarnya.

Dengan penuh percaya diri saya jawab, "saya bukan orang murahan, saya nggak akan pergi hanya karena masalah ekonomi."

Gontor itu sejak kelas 3 KMI sudah mengajarkan tentang kewajiban suami-istri. Satu ajaran yang paling mengena, suami itu adalah pakaian bagi istri dan istri adalah pakaian bagi suami. 

Fungsi pakaian bukan cuma menutup aurat, bukan? Pakaian harus melindungi, pakaian harus nyaman, pakaian juga baiknya beradaptasi dengan situasi dan kondisi. Jika panas, ia seyogyanya menyerap keringat. Jika dingin, ia seharusnya bisa menghangatkan. Kami dalam situasi tidak nyaman, karenanya seharusnya kami saling melindungi, menjaga dan menghibur satu sama lain. 

Kala itu, setiap hari terasa berat dan penuh emosi. Setiap hari saya memohon Allah membantu menyelesaikan masalah yang kami buat untuk diri kami sendiri. Hingga akhirnya, skenario penyelamatan itu datang melalui seorang kawan lama dari Gontor

Tersebutlah seorang teman sebangku jaman di kelas 3C dulu tiba-tiba mengontak kami dan memesan 300 helai baju anak. Karena merasa 'se-ibu kandung' dengan jujur dan tidak punya malu saya bilang, "ukh, kami sudah nggak punya modal!"

Hal yang tidak pernah berani kami sampaikan pada klien manapun. Qodarullah, kawan saya menyanggupi untuk membayar DP 70% walau baru kali itu kami bekerja sama.

Kami lalu membuka toko baju anak di e-commerce dan media sosial. Alhamdulillah responnya sangat baik. Puluhan order datang setiap harinya, ratusan baju bisa terjual dalam tempo singkat.

Dan sekali lagi, modal menjadi kendala.  Karena menjual melalui pasar online, itu artinya kami harus pasang modal di awal. Modal akan kembali pada kami, hanya jika produk diterima dengan baik oleh pembeli dan itu butuh waktu. Semakin banyak pemesanan, semakin besar modal yang harus dikeluarkan.

Ratusan pesanan gamis anak masuk kala itu dan kami kehabisan bahan baku. Sedang kami hanya punya 5 hari untuk menyelesaikan semuanya. Dalam kondisi panik suami lalu kembali mengusulkan untuk mengajukan pinjaman riba. 

اَ يُلْدَغُ الْمُؤْمِنُ مِنْ جُحْرٍ وَاحِدٍ مَرَّتَيْنِ 

Hadist yang susah-susah dihafal zaman KMI ini jadi penyelamatan kewarasan. Saya tegas menolak. Selain itu, Al-hayya minal iman. Saya masih punya rasa malu sama Allah yang mendengar do'a saya setiap shalat. Malu sama Allah setiap kali saya mengakui dosa saya tentang riba hampir setiap hari. Tidak, tidak untuk riba! Saya jelas menolak keras saat itu 

Kekeras kepalaan saya membuat kami terlibat dalam perdebatan. Suami dengan pikiran logisnya dan saya yang memilih untuk pasif, “batalkan saja semua ordernya, mungkin belum rejeki. Sudahlah, nggak usah ngotot. Kita hidup gimana Allah saya."

Kalimat pamungkas saya setelah perdebatan panjang. Masa bodoh dengan traffic yang susah payah kami raih, masa bodoh dengan point penalty yang bisa membuat toko kami bisa di limitasi. Saya hanya kapok!

Suami akhir nya mengalah, beliau pergi ke kamar untuk memenangkan diri. Dan itulah saat keajaiban dari Allah terjadi. Masya Allah. Tiba-tiba seorang klien lama kembali menghubungi. Bagian ajaibnya, suami sudah mengganti nomor ponsel berkali-kali. Hampir tidak ada kontak klien lama di ponsel beliau.

Seperti kejatuhan durian, klien itu mengatakan ingin memesan ribuan stel seragam olah raga dan tanpa diminta menawarkan DP sebanyak 90%. Masya Allah walhamdulillah. Dalam sekali pukulan, masalah kami langsung selesai!

Kami punya cukup modal untuk mengerjakan pesanan dari klien tersebut, sekaligus ratusan helai gamis dari e-commerce. 

Allah benar kasih pelajaran saat itu, sebuah tamparan keras bahwa manusia harus sadar kepada siapa dia menyerahkan hidup! Innalillahi. Kita milik Allah, jadi hidup saja bagaimana manual yang diberikan Allah. Fatawakkal alallah artinya bagi kami, kerja saja semaksimal mungkin tapi untuk kelanjutan ceritanya biar menjadi hak prerogatif Allah.

Kami akhirnya terlepas dari jeratan riba lebih cepat yang kami kira. Tidak ada lagi gali tutup-lobang. Bermula dari 300 helai baju, saat ini Alhamdulillah kami bisa memproduksi hingga  30 ribu helai setiap bulannya. 

Selain itu kami walau tidak seberapa, kami berupaya menyisihkan sedikit untuk memberdayakan wirausaha kecil yang mengalami kekurangan modal seperti kami, melalui pinjaman modal berjangka tanpa unsur riba sama sekali. Alhamdulillah selama 4 tahun program berjalan, program ini walau tidak sempurna tapi bisa dibilang cukup berhasil. 

Berdasarkan testimoni pribadi yang merasakan dahsyatnya pendidikan pesantren, kini saya rajin sekali untuk membisikkan mantra khusus kepada anak-anak saya, " kalian kudu mondok. Harus pokoknya, percaya deh! kalian akan berterima kasih sama bunda, puluhan tahun dari sekarang."

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Ruh Pondok Bernama Keikhlasan

Keikhlasan menjadi energi yang mewarnai seluruh aktivitas Pondok Modern Darussalam Gontor

SELENGKAPNYA

Politik Santri di Tengah Gempuran Sekularisme

Santri dan pesantren kerap menjadi rujukan bagi elemen masyarakat dalam pencarian solusi permasalahan hidup berdasarkan Islam.

SELENGKAPNYA

Cyberdakwah: Inspirasi Society 5.0 dari Rasulullah 

Cyberdakwah menggambarkan kegiatan dakwah umat melalui penguasaan teknologi informasi.

SELENGKAPNYA