Santri Gontor putri melaksanakan baris berbaris | Youtube

Opini

Momentum Tak Terlupakan dari Perjalanan Gontor Putri

Gontor menyiapkan para santrinya untuk menjadi kader umat yang siap memperjuangkan kehidupan bernegara, berbangsa dan beragama.

PRAMUDYA WARDANI PUJI LESTARI; Alumnus KMI Pondok Modern Darussalam Gontor 2009

 

Ruang cinta aku berdayakan

Tapi waktunya lepas dari jangkauan

Lepas dari kamus, lepas dari sejarah

Lepas dari daya korupsi manusia

Demikianlah maka syairku ini 

Berani mewakili cintaku kepadamu

Oh pondokku, laksana ibu kandungku. 

 

Masuklah ke gerbang Kuwait, engkau akan disambut oleh dua baleho mentereng bertuliskan Panca Jiwa dan Moto Pondok Modern. Dua baleho ini adalah dasar yang menjiwai kehidupan pondok. Moto pertama, ‘Keikhlasan’, moto terakhir, ‘Kebebasan’.

Semua harus berurutan dan juntrung dalam proses implementasinya. Jika mengedepankan kebebasan dahulu sebelum semuanya, engkau akan bablas, lepas, hilang arah dan akhirnya tidak mendapat apa-apa selain penyesalan karena merasa telah terkungkung.  

Melangkahlah tiga puluh meter lalu hadap kanan. Engkau akan menemukan sebuah masjid bercat putih dengan kubah membulat dengan sayap kanan dan kiri yang konon tak pernah sepi karena dihuni oleh santri spesial; kelas akselerasi (intensif) yang harus njlimat njlimet njleput ketika belajar.

Semua mata pelajaran Kulliyyatul Muallimat Al Islamiyyah (KMI) selalu berorietasi pada pembentukan karakter . Tengoklah pelajaran Qiraatur rasyidah (Mutholaah) yang berisi hikmah kehidupan, dan Madfuzat yang berisi petuah-petuah kehidupan.  

Gontor menyiapkan para santrinya untuk menjadi kader umat yang siap memperjuangkan kehidupan bernegara, berbangsa dan beragama di Bumi ini. 

Duduklah sejenak di blue bank sekitar masjid mendekati waktu salat, dan rasakan sayup-sayup syair Abu Nawas yang dibacakan dengan syahdu dari pengeras suara di masjid itu. Niscaya engkau akan terisap ke masa silam, saat seluruh bangunan megah di Gontor Putri membuatmu gegar dan acapkali tersasar. Sofu awal. 

Lalu dengarkan lagi syair Abu Nawas itu sebelum bait terakhirnya yang semakin lirih, niscaya engkau akan terbetot pada pelukan terakhir bersama kawan-kawan setelah yudisium kelas 6, sebelum engkau berjuang mengabdi esok hari. Dan seterusnya. Dan seterusnya. Sebuah momentum akan menjadi monumen ketika waktu lepas dari jangkauan, lepas dari kotak-kotak analisa. 

Masjid yang luas dan megah itu dahulu menyimpan momentum tersendiri, yang takkan pernah dilupakan oleh generasinya. Tanggal 27 Mei 1997, kubah masjid itu jatuh begitu saja dan mencipta efek debum yang luar biasa. Seluruh santriwati menjerit ketakutan seolah ada pesawat jatuh tersasar ke tengah pondok.

Kejadian itu membawa duka seluruh penghuni pondok. Kiai Sutadji melihat saksama kubah yang sudah berubah puing. Beliau pun mengajak seluruh penghuni pondok; guru dan santriwati untuk memanjatkan doa sekaligus introspeksi diri.

Karena bisa jadi, musibah itu adalah peringatan dari Allah karena kita lalai. Masyaallah, beliau dan Kiai Hidayatullah senantiasa mengaitkan segala sesuatu kepada Allah. Alih-alih memeriksa konstruksi bangunan apakah ada yang tak beres, Kiai Sutadji segera mengajak kembali kepada Sang Maha Pencipta. 

Beberapa tahun kemudian, kubah kedua datang. Saat pemasangan kubah kedua, guru dan santriwati semakin khusyu berdoa, apalagi penyangga kubah pertama membentuk tangan yang sedang menengadah. Akhirnya, masjid yang yang bernama Muallimat ini diresmikan pada tanggal 21 Desember 1999. Kubah yang kita lihat saat ini adalah kubah kedua. 

Kini engkau berdiri di tengah jalan Nusantara. Melihat pendar lampu halogen yang menyinari seorang santriwati yang duduk di bawahnya sambil komat-kamit menghafalkan pelajaran. Engkau pun teringat dahulu pernah ada di situ, ditemani segelas minuman hangat yang kau teguk sedikit-sedikit agar kantukmu musnah. Dua puluh empat jam tak pernah cukup untuk menuntaskan hari itu.

Mari kita tengok ke belakang sana, di tahun yang tak pernah dilupakan generasi yang mengalaminya ketika Gontor Putri masih sangat muda. Setiap malam santriwati belajar di lapangan beratapkan sinar bulan dengan penerangan listrik yang terbatas. Suatu ketika listrik itu padam total.

Keadaan menjadi gelap. Tidak ada bunyi teriakan atau reaksi histeris, menandakan mereka sudah terbiasa. Karena semangat belajar itu tak ikut padam, mereka menghidupkan sebatang lilin yang sudah dijadikan jaga-jaga di tiap kelompok belajar.

Cahaya lilin menerangi halaqah belajar masing-masing santriwati. Seketika timbul melankolis dan romantisme di suasana belajar kala itu. Generasi kekinian semestinya lebih banyak bersyukur karena listrik sudah melimpah. Mereka bahkan bisa memeluk lampu halogen yang serupa bola sihir itu ketika kantuk menyerang. 

Demikian, setiap sudut di Gontor Putri menyimpan momentumnya sendiri, entah  yang lewat dan menjadi kenangan atau berubah monumen. Gontor Putri dirancang untuk selalu dirindukan oleh santrinya. Apapun keadaanmu di luar sana, jadilah santri selamanya. 

------------------------

Penulis kerap menggunakan nama pena Pramudya Utari. Lahir di Gresik, 04 Maret 1990. Pernah menjabat ketua Panggung Gembira saat menjadi santri Gontor Putri. Kini mengajar di madrasah ibtidaiyah di kampung halamannya dan menulis fiksi. Novel pertamanya, ‘Fantasmagoria’ terbit 2020 di Gramedia Pustaka Utama. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Takaranmu Adalah Apa Yang Kamu Cari

Setiap orang yang hendak belajar di Gontor akan ditanyakan, ke Gontor apa yang kau cari.

SELENGKAPNYA

Ruh Pondok Bernama Keikhlasan

Keikhlasan menjadi energi yang mewarnai seluruh aktivitas Pondok Modern Darussalam Gontor

SELENGKAPNYA

Politik Santri di Tengah Gempuran Sekularisme

Santri dan pesantren kerap menjadi rujukan bagi elemen masyarakat dalam pencarian solusi permasalahan hidup berdasarkan Islam.

SELENGKAPNYA