Warga menukarkan kupon kepada petugas untuk membeli minyak goreng curah saat operasi pasar murah minyak goreng di Kelurahan Pahandut, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Senin (18/4/2022). | ANTARA FOTO/Makna Zaezar/aww.

Teraju

Bank Sentral Bersiap 'Menyerang' Inflasi

Bank-bank sentral di Asia mulai memerangi inflasi.

OLEH AGUNG P VAZZA

Dalam sebuah forum investasi sekitar sebulan lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjelaskan tahun ini akan menjadi momentum pemulihan ekonomi. Dalam kesempatan yang sama, Jokowi juga mengingatkan pemulihan ekonomi nasional masih harus menghadapi beberapa tantangan.

Selain penanganan pandemi, ditegaskan pemulihan ekonomi nasional harus menghadapi tantangan eksternal. Selain gangguan rantai pasokan yang memicu inflasi global, juga normalisasi kebijakan moneter di Amerika Serikat (AS), yang diperkirakan terjadi lebih cepat. Tekanan inflasi dan dampaknya itulah yang kini terjadi dan mulai merambah ke Asia.

Setelah dihantam pandemi, AS dan Eropa lebih dulu membuka perekonomian dibanding banyak negara di Asia. Tak pelak inflasi di negara-negara maju itu meroket. Sampai Januari lalu, inflasi di AS dilansir Badan Statistik AS, mencapai 7,5 persen level tertinggi dalam empat dekade terakhir. Kondisi ini memaksa The Federal Reserve (The Fed), bank sentral AS, menaikkan suku bunga untuk menahan laju inflasi.

Namun, ketika Februari lalu pecah perang Rusia-Ukraina, jaringan pasokan global pun terganggu, dan memberi tekanan inflasi lebih besar. Wall Street Jorunal memberitakan, Maret ini, inflasi AS mencetak rekor tertinggi baru di posisi 8,5 persen.

Harga pangan dan energi melambung, ditambah tingginya permintaan, menjadi penyebab utama inflasi. Chairman The Fed, Jerome Powell sudah mengindikasikan bakal menaikkan lagi suku bunga sebesar 50 basis poin. Bahkan petinggi lain The Fed di St. Louis, James Bullard, terbuka juga kemungkinan kenaikan sampai 75 basis poin.

photo
Inflasi Maret 2022 - (bloomberg)

Langkah serupa mungkin segera diikuti Bank Sentral Eropa (ECB). Meski belum memastikan kapan kenaikan suku bunga untuk menahan inflasi dilakukan, namun Associated Press mengabarkan segera menaikkan suku bunga secara gradual mengikuti AS, Inggris, dan negara lain untuk menekan laju kenaikan harga. Kenaikan harga pangan dan energi di Eropa, termasuk akibat perang Rusia-Ukraina, mendorong inflasi ke level 7,5 persen bulan lalu, level tertinggi sejak 1997.

Tanda-tanda meningginya inflasi sudah pula terlihat di Asia. Maka, sejumlah bank sentral di kawasan pun mulai pula mengambil langkah menaikkan suku bunga. Setelah cukup lama menahan diri untuk tidak melakukan kebijakan moneter ketat guna menghindari terganggunya pemulihan ekonomi pasca pandemi, bank-bank sentral di semakin tidak bisa mengabaikan tekanan inflasi.

Bank sentral Singapura, Korea Selatan, dan Selandia Baru sedang menyiapkan kenaikan suku bunga yang diperkirakan di kisaran 50 basis poin. Singapura dan Korea disebut-sebut menjadi bank sentral pertama di Asia yang mulai 'menyerang' inflasi.

"Sepertinya akan semakin banyak bank sentral di Asia yang segera bergabung dan mulai memerangi inflasi. Langkah ini memang bisa mengganggu pertumbuhan ekonomi, tapi ketika inflasi lebih mendesak diperhatikan, maka tidak ada pilihan lain kecuali menerapkan kebijakan moneter ketat," jelas Toru Nishihama, kepala ekonom Dai-ichi Life Research Institute, Tokyo, dilansir Reuters.

Sejumlah bank sentral di kawasan memang disebut-sebut sedang bersiap-siap menaikkan suku bunga demi mencegah inflasi. Filipina, Malaysia, dan India sudah memberi sinyal itu.

Begitupun, sebagian bank sentral di kawasan belum beranjak dari kebijakan akomodatif, dan belum terlihat tanda-tanda mengambil langkah serupa. Cina dan Jepang adalah dua raksasa ekonomi di Asia yang sementara ini tetap mempertahankan suku bunga rendah.

Gubenur Bank of Japan (BOJ), Haruhiko Kuroda, dikutip /Reuters/ pekan lalu, mengatakan tekanan kenaikan inflasi dapat mengganggu perekonomian, dan mendorong bank sentral untuk menahan kebijakan moneter tetap longgar. Bank sentral India juga masih bertahan dengan suku bunga rendah, meski sudah pula memberi sinyal meninggalkan kebijakan moneter longgar. Bank sentral Australia agaknya lebih memilih 'wait and see' dan menahan diri untuk menaikkan suku bunga.

Inflasi Inti

Seperti pandangan Toru, langkah mengetatkan kebijakan moneter dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi. Boleh jadi, sebagian bank sentral di kawasan memang memilih tetap menjaga pertumbuhan ekonomi meski tidak juga mengabaikan tekanan-tekanan terhadap inflasi. Bank Indonesia (BI), bank sentral Indonesia, agaknya lebih memilih tak terburu-buru mengambil langkah pengetatan kebijakan moneter.

Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pekan lalu memutuskan tetap mempertahankan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,50 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75 persen, dan suku bunga Lending Facility  sebesar 4,25 persen.

Gubernur BI Perry Warjiyo, dalam keterangan pers BI, menyatakan keputusan mempertahankan suku bunga acuan itu sejalan dengan upaya tetap mendorong pertumbuhan ekonomi, di tengah tekanan eksternal yang meningkat terkait dengan ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina dan percepatan normalisasi kebijakan moneter di negara maju.

Selain pertimbangan itu, BI juga menyatakan perlunya menjaga stabilitas nilai tukar dan terkendalinya inflasi. BI mencatat, infasi bulanan di Indonesia sampai Maret lalu mencapai 0,66 persen, dan secara tahunan di kisaran 2,64 persen. Angka tahunan ini lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya secara tahunan di kisaran 2,06 persen.

photo
Warga antre membeli minyak goreng curah saat operasi pasar minyak goreng curah di Lapangan Desa Megawon, Kudus, Jawa Tengah, Rabu (20/4/2022). - ( ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/wsj.)

Kenaikan tersebut didorong meningkatnya inflasi kelompok volatile food terutama dipengaruhi kenaikan minyak goreng. Sedangkan inflasi kelompok administered prices dipengaruhi harga bahan bakar rumah tangga dan bensin karena penyesuaian harga LPG nonsubsidi dan BBM nonsubsidi, serta inflasi angkutan udara seiring meningkatnya mobilitas masyarakat.

Begitupun, BI melihat inflasi inti tetap terjaga di tengah permintaan domestik yang mulai meningkat serta stabilitas nilai tukar rupiah. Sepanjang tahun ini, BI memperkirakan inflasi tetap di kisaran tiga persen, sembari terus mewaspadai sejumlah risiko inflasi, terutama dampak kenaikan harga energi dan pangan global.

Meski memperkirakan perbaikan ekonomi domestik tetap berlangsung seiring meningkatnya mobilitas masyarakat, BI melihat ke depan pertumbuhan ekonomi akan dipengaruhi volume ekspor yang tertahan lantaran melandainya perdagangan dunia akibat perang Rusia-Ukraina.

Bersamaan dengan itu, membaiknya permintaan domestik yang sedang terjadi juga akan terpengaruh melandainya ekspor serta kenaikan harga energi dan pangan global. Prakiraan inilah yang mendasari BI merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi domestik tahun ini menjadi lebih rendah, dari 4,7 persen sampai 5,5 persen, menjadi kisaran 4,5 persen sampai 5,3 persen. Apalagi, pertumbuhan global pun diprediksi melambat dari 4,4 persen menjadi 3,5 persen.

BI tentu saja tetap memperhatikan secara cermat gelombang pengetatan kebijakan moneter yang mulai dilakukan sejumlah bank sentral di Asia guna menghambat tekanan inflasi. Bahkan, sesungguhnya, BI sudah lebih dulu mengantisipasi gelombang tersebut. Mulai 1 Maret lalu, BI resmi menaikkan Giro Wajib Minimum (GWM) rupiah untuk Bank Umum Konvensional (BUK), Bank Umum Syariah (BUS), dan Unit Usaha Syariah (UUS).

GWM akan dinaikkan lagi pada Juni dan September mendatang. Langkah penyesuaian GWM ini dilakukan tak lain untuk menormalisasi kebijakan likuiditas dalam upaya menjaga stabilitas, sekaligus memitigasi dampak rentetan global dari normalisasi kebijakan moneter di AS dan negara-negara lain.

Kenaikan GWM tersebut ditegaskan Perry tidak akan membuat likuiditas perbankan sedikit. "Menjadi normal pun belum, masih berlebih," ungkap dilansiri Antara.

Normalisasi kebijakan likuiditas secara bertahap, dan tidak terburu-buru menaikkan suku bunga, sebagai langkah awal memitigasi dampak normalisasi kebijakan moneter global memang menjadi penting demi menjaga stabilitas perekonomian nasional. Namun, pada saatnya, BI tetap harus memperhitungkan langkah-langkah menaikkan suku bunga acuan secara bertahap, guna menghambat tekanan inflasi.

Keputusan pengetatan kebijakan moneter tersebut agaknya bakal dilakukan BI berdasar tren pergerakan inflasi inti, yaitu inflasi yang cenderung tetap dan dipengaruhi faktor fundamental antara lain lingkungan eksternal seperti nilai tukar, harga komoditi internasional, dan inflasi mitra dagang.

Inflasi inti tidak memperhitungkan sektor pangan dan energi. Sampai Maret ini inflasi inti memang mulai memanas di kisaran 2,4 persen, naik dari sebelumnya dua persen.

Memperhatikan tanda-tanda perang Rusia-Ukraina berlanjut dan mengakibatkan terdisrupsinya jaring pasok global, kenaikan inflasi inti Indonesia besar kemungkinan terakselerasi. Situasi tersebut sangat mungkin mendorong BI mulai melakukan normalisasi kebijakan moneter secara bertahap dalam beberapa bulan mendatang, demi meredam tekanan inflasi. 

Ja'far Si Bapak Kaum Miskin

Orang yang paling peduli dan paling siap membantu mereka yang miskin adalah Ja'far bin Abi Thalib

SELENGKAPNYA

Entitas Lorong Menuju Tuhan

Lorong-lorong menuju Tuhan mempunyai beberapa nama jalan atau entitas.

SELENGKAPNYA

Agar Khusyuk dalam Shalat

Salah satu kewajiban yang harus ditunaikan saat shalat adalah tumakninah dan khusyuk.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya