Asma Nadia | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Dari Jejak Kartini

Banyak artikel mengungkap alasan RA Kartini dianggap sebagai salah satu tokoh emansipasi.

Oleh ASMA NADIA

OLEH ASMA NADIA

Banyak artikel mengungkap alasan RA Kartini dianggap sebagai salah satu tokoh emansipasi. Sebenarnya ada hal lain pada diri dan jalan hidupnya yang bila didalami, kita bisa memetik lebih banyak pelajaran. 

Pertama, Kartini mengingatkan kita untuk mendengar hati nurani. Pada saat nurani yang radarnya super sensitif membisikkan "something is not right", ada yang tidak benar, tak semua bisa menyimak. Sebagian orang bisa menangkap detaknya dan melakukan sesuatu, cukup banyak yang abai dan luput memberi perhatian.

Padahal mendengar suara hati sering menjadi pintu hidayah dan momentum sebuah perubahan besar. Nabi Ibrahim AS merasa ada yang tidak benar dengan apa yang dilakukan ayah dan masyarakat sekitar mereka.

Ia mengikuti panggilan hati dan menemukan hidayah. Salman Alfarisi merasa ada yang tidak masuk akal ketika manusia menyembah api, maka sang sahabat terus mencari, berpindah-pindah agama sampai akhirnya menemukan Islam.

Kartini merasa ada yang tidak benar dengan perlakuan terhadap wanita di masanya. Ia tidak hanya memberi perhatian, tapi mencatat dan mengungkapkan perasaannya dalam berlembar-lembar surat yang kemudian menjadi inspirasi bangsa.

 
Kedua, Kartini juga mengajarkan kita untuk berpikiran terbuka dan mau belajar.
 
 

Kedua, Kartini juga mengajarkan kita untuk berpikiran terbuka dan mau belajar. Sekalipun Kartini sempat merasa agama adalah salah satu pangkal ketidakadilan, misalnya ketika dia menolak perkawinan dan menganggap agama tidak relevan, tapi Kartini membuka diri atas ilmu dan informasi hingga akhirnya ia bisa melihat sesuatu, dalam hal ini Islam, secara proporsional dan bijak.

Pembaca bisa membandingkan surat-suratnya terdahulu dan yang ditulis beberapa tahun kemudian. Pada surat bertanggal 6 Nopember 1899 sebagaimana tercantum dalam Habis Gelap Terbitlah Terang, Kartini menyampaikan keluhan ini.

“Sebenarnya agamaku agama Islam, hanya karena nenek moyangku beragama Islam. Manakah boleh aku cinta akan agamaku, kalau aku tiada kenal, tiada boleh mengenalnya? Quran terlalu suci, tiada boleh diterjemahkan ke dalam bahasa mana jua pun. Di sini tiada orang yang tahu bahasa Arab. Orang diajar di sini membaca Quran, tetapi yang dibacanya itu tiada ia mengerti. Pikiranku, pekerjaan gilakah pekerjaan semacam itu, orang diajar di sini membaca, tetap tidak diajarkan makna yang dibacanya itu.”

Namun situasi batinnya berubah. Pada surat tertanggal 15 Agustus 1902, perempuan Jawa ini mengungkapkan perubahan hidupnya. 

“Betapa aman sentosanya di dalam diri kami sekarang ini, betapa terima kasihnya dan bahagianya, karena sekarang ini telah mendapat Dia; karena kini ini kami tahu, kami rasa, bahwa senantiasa ada Tuhan dekat kami, dan menjagai kami,” 

 
Ia juga menyebutkan seorang guru yang memperkenalkannya pada Islam yang utuh. Mengajarkan Alquran sekaligus maknanya.
 
 

Ia juga menyebutkan seorang guru yang memperkenalkannya pada Islam yang utuh. Mengajarkan Alquran sekaligus maknanya.

Bukan mudah mengubah keyakinan, pendirian, dan sikap. Butuh kerendahan hati, kejujuran, dan pikiran terbuka hingga seseorang bisa melihat bahwa pemahamannya dulu ternyata salah. Seandainya mata dunia tidak enggan membuka diri sebagaimana Kartini, tentu kita akan tinggal di tempat yang jauh  lebih baik.

Kartini dengan cepat mengoreksi pemahamannya, membuka hati untuk sebuah kebenaran yang sebelumnya salah ia pahami. Uniknya, berabad setelahnya masih begitu banyak orang terkunci pada jeruji pikiran sendiri. Seperti sebagian yang sampai saat ini menganggap ajaran Islam mendiskriminasi wanita, mengajarkan kekerasan dan tindak teror serta larut dalam stereotip lain. 

Ketiga, Kartini membuktikan kemampuan bersikap dewasa tak mengenal usia. Tokoh nasional ini baru berusia 25 tahun ketika wafat. Artinya, surat yang mencetak pemikirannya yang sudah begitu mendalam ditulis ketika usianya masih sangat belia.  

 
Kartini dengan cepat mengoreksi pemahamannya, membuka hati untuk sebuah kebenaran yang sebelumnya salah ia pahami. 
 
 

Keempat, Kartini menunjukkan kecintaan yang pekat terhadap budaya membaca. Kartini membaca koran Semarang De Locomotief, berlangganan paket majalah leestrommel, membaca majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie.

Buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20 di antaranya Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib), dan karya-karya Van Eeden, Augusta de Witt, Goekoop de-Jong Van Beek, Berta Von Suttner, dll. Semuanya berbahasa Belanda. 

Kekayaan wawasan dan pikiran terlihat pada surat-surat yang ditulisnya. Melalui jejak surat pula, kita mampu melihat sosoknya sebagai pembaca yang baik. Ia tidak hanya menikmati sebuah buku melainkan mencatatnya. Tidak jarang Kartini mengutip beberapa kalimat dari bacaannya.

Perempuan pejuang yang peduli terhadap pendidikan ini sejatinya tidak hanya berbicara tentang kesetaraan perempuan, tapi juga berbagai masalah sosial dan umum. Perjuangan kesetaraan agar perempuan memiliki kebebasan dan perlakuan serta kesempatan sama hanyalah sebagian dari kepedulian dan cita-citanya. 

Kelima, tidak hanya membaca. Kartini juga mewariskan budaya menulis. Beberapa tulisannya dimuat di De Hollandsche Lelie. Menjadi salah satu alasan mengapa nama RA Kartini tetap dikenang, sebab ia memilih menulis, memilih jalan keabadian. 

 
Ia tidak hanya menikmati sebuah buku melainkan mencatatnya. Tidak jarang Kartini mengutip beberapa kalimat dari bacaannya.
 
 

Keenam, Kartini juga memberi contoh untuk bergerak dengan apa yang ada, dalam situasi apa pun. Sekalipun harus menikah di usia muda, di tengah keterbatasan yang melingkupi seorang istri, saat itu, Kartini tidak berhenti memperjuangkan mimpinya.  

Sang suami yang mengerti keinginan istri --ini juga membuktikan kemampuan Kartini mengomunikasikan gagasan, harapan, dan cita-citanya-- lalu memberinya kebebasan mendirikan sekolah untuk perempuan. 

Terlepas dari kontroversi atau upaya membandingkan sosoknya dengan perempuan pahlawan lain yang dianggap berbuat lebih banyak, saya kira kita jelas bisa belajar tak hanya soal emansipasi seperti yang sering disematkan pada sosoknya, tapi tentang banyak hal dari kehidupan Kartini yang begitu singkat.

Jika ingin membuat perbandingan, barangkali bijak bila melakukannya dengan diri kita dulu. Jika Allah hanya memberi kesempatan hidup hingga 25 tahun padamu, adakah jejak inspirasi yang bisa kamu tebarkan dan apakah ia akan tetap mewangi meski ratusan tahun tubuhmu telah terbenam di dalam tanah? 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Adab-Adab Dalam Mem-Follow Akun Media Sosial

Akun yang di-follow itu berpengaruh dalam kadar tertentu terhadap mereka yang mem-follow-nya.

SELENGKAPNYA

Ummu Sulaim: Jelita Parasnya, Cantik Hatinya

Rasulullah menyebut ia mendengar langkah kaki Ummu Sulaim di surga karena ketakwaannya.

SELENGKAPNYA

Menjemput Lailatul Qadar

Lailatul Qadar dipahami sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia.

SELENGKAPNYA