Gabungan aliansi mahasiswa Yogyakarta menggelar unjuk rasa di Tugu Pal Putih Yogyakarta, Selasa (8/3/2022). Pada aksi ini mereka menyuarakan Indonesia darurat kekerasan seksual dan mendukung pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TP | Wihdan Hidayat / Republika

Nasional

RUU TPKS Atur Kekerasan Seksual Elektronik

Pembahasan semua inventaris masalah di panja RUU TPKS telah selesai.

JAKARTA -- Panitia kerja (panja) Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menyepakati adanya kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE). Hal tersebut diatur dalam Pasal 7A RUU TPKS yang telah disepakati oleh pemerintah dan DPR.

Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy mengatakan, denda maksimal untuk perbuatan tersebut sebesar Rp 200 juta. Hal itu mengingat kekerasan seksual berbasis elektronik adalah kejahatan tingkat sedang yang merupakan kategori 4 modified delphi system.

"Kalau kami menyusun itu ada yang dengan modified delphi system, itu untuk menentukan ancaman pidana itu ada tujuh kriteria. Jadi kalau merujuk RKUHP yang sudah disetujui dari segi kategori saya pikir cukup baik, maksimal 200 juta," ujar Eddy dalam rapat Panja RUU TPKS, Senin (4/4).

Dalam Pasal 7A Ayat 1 dijelaskan, tiga kategori yang dapat dipidana karena melakukan kekerasan seksual berbasis elektronik. Pertama, setiap orang yang tanpa hak melakukan perekaman dan/atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetujuan orang yang menjadi objek perekaman, gambar, atau tangkapan layar.

Kedua, orang yang tanpa hak mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual. Terakhir, melakukan penguntitan dan/atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi objek dalam informasi atau dokumen elektronik untuk tujuan seksual.

Ketiga, kategori tersebut dapat dipidana karena melakukan kekerasan berbasis elektronik dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Serta denda paling banyak Rp 200 juta.

Pasal 7A Ayat 2; "Dalam hal perbuatan sebagaimana pada Ayat 1 dilakukan dengan maksud untuk melakukan pemerasan, pengancaman, memaksa, menyesatkan, atau memperdaya seseorang supaya melakukan, membiarkan dilakukan, atau tidak melakukan sesuatu, dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau paling banyak Rp 300 juta".

Awalnya, pemerintah mengusulkan denda maksimal sebesar Rp 50 juta. Namun, anggota panja RUU TPKS, Irmadi Lubis menilai angka tersebut sangatlah kecil, karena usulan Badan Legislasi (Baleg) DPR adalah sebesar Rp 300 juta.

"Kalau begitu kita menganggap kekerasan seksual kejahatan biasa-biasa saja gitu. Kalau begitu cara penginiyaannya, mohon maaf prof, jadi kita berkesimpulan bahwa kekerasan seksual adalah kejahatan yang biasa-biasa saja," ujar Irmadi dalam rapat tersebut.  

photo
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, I Gusti Ayu Bintang Darmawati (kanan) memberikan laporan pemerintah kepada Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas (kiri) dalam rapat kerja di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen MPR/DPR-DPD, Senayan, Jakarta, Kamis (24/3/2022). Baleg DPR dan pemerintah menggelar rapat perdana pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). - (ANTARA FOTO/Reno Esnir/rwa.)

Panja RUU TPKS juga menyepakati dua pasal terkait penghapusan konten atau dokumen yang memuat konten seksual korban kekerasan seksual. Namun, dua pasal tersebut masih disebut sebagai Pasal X dan Pasal Y. Eddy menjelaskan, Pasal X Ayat 1 mengatur pemerintah berwenang menghapus dan/atau pemutusan akses informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang mengandung muatan tindak pidana kekerasan seksual.

"Ayat 2, ketentuan lebih lanjut mengenai penghapusan dan/atau pemutusan akses informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang mengandung muatan tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 diatur dengan peraturan pemerintah," ujar Eddy.

Selanjutnya dalam Pasal Y Ayat 1 dijelaskan, penyidik berwenang membuat suatu data dan/atau sistem elektronik yang terkait tindak pidana kekerasan seksual. Agar konten tersebut tidak dapat diakses, selain untuk prosedur peradilan. "Pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 dilakukan berdasarkan penetapan kepala kejaksaan negeri setempat," ujar Eddy.

Wakil Ketua Baleg, Willy Aditya mengatakan, pihaknya tidak bisa menampung seluruh aspirasi terkait kekerasan seksual dalam RUU TPKS. Salah satunya adalah dicabutnya Pasal 27 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang diusulkan The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). "Begini, kalau permintaan semua teman-teman itu diakomodir, ya mabuk lah kita," ujar Willy.

Pembahasan seluruh daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU TPKS telah selesai dilakukan oleh panitia kerja. Rencananya, rapat pleno pengambilan keputusan tingkat I dapat dilakukan pada Selasa (5/4). "Jadi kalau bisa selesai sesuai dengan jadwal, besok kita sudah pengambilan keputusan tingkat 1," ujar politikus Partai Nasdem itu.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Luhut: Kasus Covid-19 Terkendali

Secara nasional, jumlah kasus harian Covid-19 mengalami penurunan tajam hingga 97 persen.

SELENGKAPNYA

KPK Bersikeras Abaikan Rekomendasi Ombudsman

Ombudsman telah menemukan sejumlah maladministrasi dalam proses pelaksanaan TWK.

SELENGKAPNYA

IDI Punya Kewenangan Tindak Anggotanya

IDI sebut pemberhentian Terawan Agus Putranto tidak terkait dengan vaksin Nusantara.

SELENGKAPNYA