Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusan perkara gugatan atas UU Otonomi Khusus Papua di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (26/10/2020). | GALIH PRADIPTA/ANTARA FOTO

Nasional

‘MRP tak Punya Ruang Gugat UU Otsus Papua’

Majelis Rakyat Papua merasa tindakan pemerintah pusat telah melanggar konstitusi,

JAKARTA – Saksi ahli presiden, Yusril Ihza Mahendra, menilai tidak ada ruang bagi Majelis Rakyat Papua (MRP) menguji Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus (UU Otsus) terhadap UUD 1945. MRP menjadi pemohon dalam pengujian UU Otsus Papua.

"Tidak tersedia ruang bagi MRP untuk menguji undang-undang tersebut terhadap Undang-Undang Dasar 1945," ujar Yusril dalam persidangan yang diakses melalui siaran Youtube MK, Senin (28/3).

Dia berpendapat, MRP dikategorikan sebagai lembaga negara yang dibentuk berdasarkan amanat Undang-Undang, bukan UUD 1945 secara langsung. Hak dan kewenangannya diberikan sebagaimana perintah UU.

Apabila suatu ketika terdapat hak atau kewenangan yang dikurangi/dihilangkan dalam perubahan UU, maka tidak tersedia ruang bagi MRP untuk menguji UU tersebut terhadap UUD 1945.

Yusril menilai, dalil terhadap UU Otsus Papua mengenai ketentuan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK) hanya bisa diajukan oleh individu atau partai politik (parpol) yang memiliki hak konstitusional, bukan MRP.

"MRP tidak mempunyai kerugian konstitusional secara langsung, nyata, dan faktual dalam bentuk apapun ataupun satu kerugian yang secara potensial menurut penalaran yang wajar dapat terjadi dengan berlakunya norma pasal-pasal tentang pengangkatan DPRP dan DPRK dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 ini," kata Yusril.

Begitu pula dengan dalil terhadap ketentuan mengenai penghapusan partai politik lokal dalam UU 2/2021. Menurut Yusril, MRP tidak mempunyai kerugian hak dan kewenangan konstitusional dengan dihapuskannya norma-norma tentang parpol lokal di Papua tersebut.

Yusril menjelaskan, parpol lokal tidak diatur dalam UU tentang Partai Politik, melainkan diatur dalam UU mengenai daerah otonomi khusus yang hanya berlaku di Aceh dan Papua.

Dia berpandangan, parpol lokal hanya dikenal dalam UU tentang Otsus Aceh dan Papua, sehingga keberadaan parpol lokal sangat bergantung kepada pembentuk UU yakni presiden dan DPR. Jika ada warga negara atau parpol lokal yang telah berdiri sebelumnya merasa dirugikan akibat penghapusan parpol lokal, maka keduanya lah yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan.

Yusril membenarkan MRP ialah lembaga negara sebagai representasi masyarakat Papua dalam hal tertentu sebagaimana disebutkan UU. Namun, MRP tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan pengujian pasal-pasal yang dimohonkan tersebut.

"Pada intinya kami berpendapat bahwa secara formal pemohon tidak mempunyai legal standing (kedudukan hukum) untuk mengajukan permohonan secara materiil," kata Yusril.

Sebelumnya, MRP mengajukan permohonan uji materi UU Otsus karena mendapati adanya klausul-klausul yang dinilai merugikan kepentingan dan hak konstitusional orang asli Papua (OAP). MRP menilai penyusunan UU 2/2021 yang merupakan revisi UU 21/2001 itu murni hasil inisiatif pihak pemerintah pusat, bukan usul dari rakyat Papua.

photo
Sejumlah massa yang tergabung dalam organisasi Ikatan Mahasiswa Papua melaksanakan aksi di depan gedung Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Rabu (24/2). Aksi tersebut dilakukan untuk menuntut penolakan rencana perpanjangan otonomi khusus dan daerah otonomi baru di seluruh tanah Papua. - (Republika/Putra M. Akbar)

"Oleh karenanya Majelis Rakyat Papua merasa tindakan pemerintah pusat tersebut telah melanggar konstitusi Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945," kata Ketua MRP Timotius Murib. 

Sebelumnya, Wakil Ketua I MRP Yoel Luiz Mulait juga meminta pemerintah menunda pembentukan daerah otonom baru (DOB) di Papua. Penundaan itu dilakukan sampai permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus (UU Otsus) Papua diputus Mahkamah Konstitusi (MK).

"Posisi MRP sudah jelas bahwa untuk DOB kita minta supaya menunggu putusan MK, karena kita lagi melakukan judicial review terhadap perubahan Undang-Undang Otsus yang secara sepihak," ujar Yoel dalam diskusi daring, Kamis (25/3).

Pemerintah pusat akan melakukan pemekaran dengan membentuk empat daerah otonom baru di Papua setelah UU Nomor 2/2021 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua disahkan Presiden Joko Widodo pada 19 Juli 2021. Keempat DOB itu adalah Provinsi Papua Pegunungan Tengah, Papua Tengah, Papua Barat Daya, dan Papua Selatan.

Namun, MRP kemudian mengajukan permohonan uji materi UU 2/2021 dan saat ini masih berproses di MK. Gugatan dilayangkan karena MRP menilai penyusunan UU tersebut tidak melibatkan masukan publik, termasuk MRP.

Menurut Yoel, revisi UU Otsus tidak akan memberikan harapan baru bagi masyarakat Papua. Di sisi lain, dia juga meminta pemerintah tidak mengesampingkan aksi penolakan keras warga terhadap kebijakan pemekaran wilayah atau pun UU 2/2021.

Dia meminta pemerintah melakukan studi atau meninjau kembali terkait rencana pemekaran wilayah. Pemerintah diingatkan tidak terus mendorong pembentukan DOB sebelum adanya studi komprehensif. "Sehingga bisa membuat di tingkat terakhir itu merasa tidak nyaman. Potensi konflik bisa terjadi di mana-mana," kata dia.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Teror KKB Papua Berlanjut

KSAL memerintahkan seluruh jajaran TNI AL mengibarkan bendera setengah tiang.

SELENGKAPNYA

Pemerintah Diminta Tunda Pemekaran Papua

Penundaan pemekaran Papua dapat menghentikan unjuk rasa yang memakan korban jiwa.

SELENGKAPNYA

Dua Warga Meninggal dalam Demo DOB Papua

Pemerintah perlu memahami karakteristik orang Papua dan potensi konflik yang ditimbulkan akibat pemekaran.

SELENGKAPNYA