Jamban helikopter di Kabupaten Tangerang | Eva Rianti/Republika

Bodetabek

Jamban Helikopter Bertahan, Terdesak Kebutuhan dan Kebiasaan

Meski mesin air sudah dicuri, jamban helikopter tetap mengudara menjadi tempat warga melegakan pencernaan.

Dua jamban yang terbuat dari kayu dan kain karung tampak berjajar di atas bantaran sungai di Desa Kiarapayung, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang. Pada Senin (14/3), tampak beberapa warga bergantian memasuki salah satu jamban yang kerap disebut jamban helikopter itu.

Tak jauh dari lokasi tersebut, sekitar 15 meter, terlihat ada seorang warga sedang mencuci pakaian di kali tersebut. Sementara di pinggir kali, hanya berjarak sekitar 4 meter dari jamban terdapat sebuah bangunan toilet umum bertuliskan “program bantuan sarana publik MCK" yang terbengkalai.

Tanin (55 tahun), salah satu warga sekitar, mengatakan, dia dan sejumlah warga lainnya masih sering buang air besar di jamban 'helikopter' tersebut. Hal itu dia lakukan karena tidak memiliki toilet di rumah.

"Saya belum punya toilet di rumah. Dan memang kebiasaan dari dulu dari orang tua buang airnya di jamban," ujar Tanin saat ditemui di kawasan Pakuhaji, Senin (14/3).

Dia mengakui, masih ada sejumlah warga yang buang air besar sembarangan. Kadang kala mereka buang hajat di pepohonan atau semak-semak.

"Masih begitu budayanya, masyarakatnya. Saya pribadi sebenarnya juga pengen toilet di rumah, yang jalan airnya yang rapi pembuangannya. Tapi, belum punya dana untuk membuat toilet," kata dia.

Adanya kebiasaan buang air di sungai membuat warga enggan memakai toilet umum yang disediakan. Menurut dia, toilet umum yang berada persis di depan jamban justru tidak dipergunakan dengan semestinya.

"Ada WC umum sebenarnya sudah didirikan satu tahun yang lalu. Tapi, baru dipakai satu bulan, sudah enggak dipakai lagi. Soalnya mesin airnya dicolong, enggak ada air, lampu hilang, pada bocor karena kena buah kelapa dari pohon di atasnya, bau juga pada enggak suka. Sudah hancur," ujarnya.

Nina (55), warga lainnya, mengaku mendirikan sebuah jamban 'helikopter' dan menggunakannya sejak lebih dari empat dekade yang lalu. Kebiasaan menggunakan jamban untuk buang air besar dilakukan karena dia tidak memiliki toilet di dalam rumah.

"Memang enggak punya toilet jadi biasa memang pakai itu (jamban). Pengen punya, tapi masih belum ada biaya untuk membuatnya. Nanti deh kalau sudah ada biayanya bikin toilet," ujarnya.

Lain lagi Nemi (46), warga Pakuhaji yang mengaku memiliki toilet di rumah, tetapi masih sering menggunakan jamban 'helikopter' pada siang hari. Dia menyebut kebiasaan buang air di jamban lebih nyaman daripada di toilet rumah.

"Di sini memang begitu, toilet mah ada, tapi enggak biasa. Lebih ini (nyaman) saja, namanya di dalam dan di luar beda. WC di rumah paling dipakai kalau malam," ujarnya.

Menurut pengakuannya, dia tidak mengetahui mengenai dampak membuang kotoran lewat jamban 'helikopter' ke sungai terhadap lingkungan. "Enggak tahu (dampaknya), cuma memang nyaman saja sudah," kata dia.

Kepala Desa Kiarapayung Mudarip mengungkapkan, pihaknya telah rutin melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk buang air besar di tempat yang lebih layak. Namun, dia mengakui, masih ada sejumlah warganya yang memang belum memiliki toilet di rumah sehingga masih menggunakan jamban di kali.

"Jumlah warga saya total 5.000 KK (kepala keluarga). Dari angka itu, ada sekitar 200-an KK yang tidak memiliki toilet," kata dia.

Mudarip menuturkan, sudah ada beberapa upaya yang dilakukan untuk menstimulasi masyarakat agar memiliki fasilitas sanitasi yang layak. Hal itu di antaranya pembangunan toilet dari program Sanitren serta program gerakan bersama rakyat berantas permukiman kumuh dan miskin (Gebrak Pak Kumis). Namun, realisasinya masih belum maksimal, terutama terkendala kondisi dana seiring dengan kondisi pandemi Covid-19.

"Baru tercapai 35 toilet di 35 rumah dari puskesmas, ditambah program Gebrak Pak Kumis 62 toilet di 62 rumah. Jadi, totalnya hampir 100 toilet yang sudah dibangun. Targetnya ada 200 rumah. Semoga tahun ini bisa terwujud. Kendalanya memang di anggaran," katanya.

Dia mengatakan, paling tidak anggaran yang dibutuhkan sekitar Rp2,5 juta per toilet per rumah. Dia merangkul pihak manapun jika ingin membantu dalam mewujudkan pembangunan toilet di seluruh rumah warga di wilayahnya.

Menurut penuturan Mudarip, sebenarnya sudah ada perubahan perilaku masyarakat. Jumlah jamban yang berdiri di kawasannya saat ini dinilai sudah jauh berkurang dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu.

Dalam waktu dekat, setidaknya pihaknya akan memperbaiki toilet umum yang tengah terbengkalai. Dengan demikian, warga yang belum memiliki toilet bisa memanfaatkannya dan tidak sembarangan buang air di kali.

"Kita perbaiki toilet umumnya, api mungkin memang lebih baik dibuatkan di rumah karena pasti warga akan merawatnya daripada umum, tanggung jawabnya kurang," kata dia. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat