Personel TNI membantu warga mendorong motor yang mogok saat melintasi banjir di kawasan wisata Kraton Surosowan, Kasemen, Kota Serang, Banten, Selasa (1/3/2022). | ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman

Opini

Cuaca Ekstrem Terabaikan

Berkaca pada 2021, data BNPB menyebutkan, 5.402 kejadian bencana lebih dari 99 persennya akibat faktor hidrometeorologi.

MAKSUM PURWANTO, ASN pada Stasiun Klimatologi Jawa Timur

Berita kebencanaan akibat cuaca ekstrem akhir-akhir ini tampaknya tertutup berita lain yang lebih menarik perhatian. Padahal, beberapa kejadian cuaca ekstrem mengakibatkan bencana dengan kerugian korban jiwa ataupun materi yang tidak sedikit.

Salah satu yang bisa jadi terabaikan adalah informasi peringatan dini BMKG dengan munculnya dua bibit siklon di sekitar wilayah Indonesia, yang dapat memicu peristiwa kebencanaan akibat cuaca ekstrem.

Dua bibit siklon itu, sistem 99S di sekitar Laut Timor sebelah utara Australia dan sistem 90S di Samudra Hindia barat daya Sumatra. Dua bibit siklon tropis ini akhirnya menjadi Siklon Tropis Anika dan Sikon Tropis Vernon.

Peringatan dini BMKG akhirnya terbukti dengan banyaknya bencana mulai dari wilayah barat hingga timur Indonesia. Di antaranya, banjir di Medan, banjir dan longsor di Serang, banjir di Sikka, dan bencana lainnya akibat cuaca ekstrem.

 
Berkaca dari banjir Serang, umumnya tak hanya satu faktor penyebab.
 
 

Bahkan, untuk banjir di Serang pada 1 Maret 2022, konon merupakan banjir terbesar dalam jangka waktu lebih dari 50 tahun terakhir. Akibatnya, di Kota Serang terdapat lima korban jiwa meninggal, ribuan warga mengungsi, serta sekitar 1.500 rumah tergenang.

Berkaca dari banjir Serang, umumnya tak hanya satu faktor penyebab. Fakta curah hujan sangat tinggi benar terjadi. Stasiun Meteorologi Serang mencatat, curah hujan 180 mm selama 24 jam, ini curah hujan harian tertinggi sejak Stasiun Meteorologi itu berdiri.

Namun, faktor lain berupa sedimentasi dan penyempitan Sungai Cibanten ditengarai memperparah banjir. Banjir besar yang mengejutkan ini menunjukkan masih kurangnya perhatian kita pada peringatan dini cuaca ekstrem, yang dikeluarkan BMKG.

Kondisi ini salah satunya bisa jadi akibat berkurangnya hujan saat puncak musim hujan yang diperkirakan Januari-Februari 2022. Kita patut bersyukur bencana akibat cuaca ekstrem lebih sedikit dari perkiraan pada Januari-Februari lalu.

Salah satu faktornya, terjadinya Monsoon Break saat sirkulasi tertutup Borneo Vortex pada Januari. Borneo Vortex adalah sirkulasi tertutup/siklonik berlawanan arah jarum jam, yang muncul tetap di sekitar Kalimantan pada musim dingin Asia.

 
Meskipun Januari dan Februari yang diperkirakan puncak musim hujan terlewati, kewaspadaan tetap harus terjaga. 
 
 

Sirkulasi ini menghalangi massa udara dari Asia masuk ke sebagian wilayah Indonesia. Akibatnya, musim hujan seolah “terjeda” beberapa waktu.

Meskipun Januari dan Februari yang diperkirakan puncak musim hujan terlewati, kewaspadaan tetap harus terjaga. Pertumbuhan siklon tropis di sebelah selatan wilayah Indonesia masih berpeluang terjadi.

Seperti saat tulisan ini dibuat, terdapat bibit siklon 95S di sekitar Samudera Hindia selatan Jawa. BMKG memberikan peringatan dini cuaca ekstrem untuk wilayah Banten dan Jawa Tengah, berupa peluang terjadinya hujan dengan intensitas sedang hingga lebat.

Berkaca pada 2021, data BNPB menyebutkan, 5.402 kejadian bencana lebih dari 99 persennya akibat faktor hidrometeorologi. Banjir urutan pertama dengan 1.794 kejadian, lalu tanah longsor, cuaca ekstrem, karhutla, gelombang pasang dan abrasi, serta kekeringan.

Jika dibandingkan data kebencanaan dunia, berdasarkan laporan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), kondisi Indonesia sangat berbeda.

Jika faktor hidrometeorologi di Indonesia menyumbang sekitar 98 persen dari keseluruhan bencana (pada 2021 bahkan lebih dari 99 persen), akumulasi data di seluruh dunia menunjukkan, faktor hidrometeorologi hanya di kisaran 50 persen penyebab bencana.

 
Banyak penelitian menunjukkan, perubahan ini juga berpotensi menambah frekuensi kejadian cuaca ekstrem. 
 
 

Ini menjadi alasan Indonesia harus lebih memperhatikan bencana akibat faktor hidrometeorologi. Ditambah kondisi lingkungan dan daya dukung alam yang berubah.

Misalnya, perubahan kawasan perdesaan menjadi perkotaan. Dalam kurun 10 tahun (2010-2020), berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 120 tahun 2020, terjadi perubahan besar pada klasifikasi desa yang berubah menjadi perkotaan.

Pada 2010, desa yang masuk klasifikasi perkotaan berjumlah 15.786, pada 2020 meningkat hampir dua kali lipatnya menjadi 29.640. Kondisi ini berpeluang menambah kerentanan akibat bencana karena bertambahnya jumlah penduduk di suatu wilayah.

Banyak penelitian menunjukkan, perubahan ini juga berpotensi menambah frekuensi kejadian cuaca ekstrem. Maka itu, saatnya kita meningkatkan kewaspadaan terhadap bencana akibat faktor hidrometeorologi seperti cuaca ekstrem.

Kerugian materi ataupun korban jiwa semakin besar, dengan kurangnya perhatian terhadap faktor terbesar penyebab bencana di Indonesia tersebut. Ini tugas bersama dan harus dimulai dari diri kita sendiri.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat