Sejumlah umat Muslim melaksanakan Shalat Jumat berjamaah di Masjid Istiqlal, Jakarta, Jumat (20/8). | Republika/Putra M. Akbar

Khazanah

Syiar Islam Harus Mengandung Keindahan

Keindahan dan kesyahduan telah terbukti menjadikan Islam diterima di berbagai kalangan.

JAKARTA – Sekretaris Jenderal Dewan Masjid Indonesia (DMI) Imam Addaruqutni, mengatakan, dalam menyiarkan ajaran Islam, takmir masjid harus tetap memperhatikan kesyahduan. Hal ini disampaikan Imam ketika menjadi narasumber Obrolan Seputar Soal Islam (Obsesi) yang diselenggarakan Bimas Islam Kemenag secara daring pada Selasa (22/2/2022).

"Saya melihat ini bukan hanya soal harmoni atau heterogenitas dari masyarakat, tapi lebih dari itu. Syiar Islam harus tetap berjalan, di sisi lain tetap memperhatikan tingkat kesyahduan. Maka, menjadi hal yang urgent tentang adanya pengaturan, tapi saya kira perlu diikuti evaluasi-evaluasi," kata Imam dalam acara bertema Kupas Tuntas Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushola ini.

Imam mengungkapkan, sebelum Surat Edaran (SE) Menteri Agama Nomor 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushola ini keluar, Ketua Umum DMI Jusuf Kalla ketika melakukan kunjungan ke daerah-daerah, atau melantik pengurus DMI di daerah, hampir selalu menyampaikan pesan-pesan mengenai fenomena speaker di luar masjid.

"Ketua DMI Bapak Jusuf Kalla hampir selalu menyampaikan pesan-pesan mengenai fenomena speaker di luar masjid. Di Jakarta saja ada empat ribu masjid, kalau misalnya satu masjid memiliki empat speaker di luar, artinya ada 16 ribu speaker. Yang terjadi suara antara speaker saling berbenturan, sehingga tidak syahdu lagi. Benturan suara itu bukan saja di angkasa, tapi juga di audio (telinga) setiap orang," ujarnya.

Meski demikian, Sekjen DMI ini tidak mempermasalahkan perbedaan pendapat terkait pedoman penggunaan speaker masjid yang terjadi di tengah masyarakat. Sebab, menurutnya, perbedaan pendapat itu dilatarbelakangi banyak hal, seperti reaksioner, kritis, reseptif, hingga alur budaya.

"Sementara DMI melihatnya dari beberapa aspek yang ini memang alur budaya dan dikombinasikan dengan keinginan agar syiar Islam menjadi syahdu," jelasnya.

photo
Muadzin mengumandangkan adzan di Masjid Al-Ikhlas Jatipadang, Jakarta, Rabu (23/2/2022). Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menerbitkan Surat Edaran Menteri Agama No SE 05 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala, sebagai upaya untuk merawat persaudaraan dan harmoni sosial di lingkungan masyarakat Indonesia yang memiliki keberagaman dari sisi agama maupun keyakinan. Republika/Putra M. Akbar - (Republika/Putra M. Akbar)

Imam menambahkan, masyarakat perlu melihat aturan pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan mushola ini dari aspek kesehatan. Sebab, masyarakat yang heterogen, khususnya di daerah kota-kota besar, kehidupannya sudah terjadwal, mulai dari masa istirahat, masa kerja, menjaga kebugaran, dan sebagainya.

"Konteks ini bukan hanya soal heterogenitas, tetapi juga ada kaitannya dengan kapasitas kesehatan manusia, khususnya di kota besar yang hidupnya sudah teknokratik, terjadwal masa istirahat dan kebugarannya. Kalau ini tidak ditopang dengan aturan, maka akan mempengaruhi produktivitas kerja,” jelasnya.

Dia berharap, adanya aturan terkait speaker di luar masjid ini bisa menjadikan syiar Islam lebih syahdu dan maksimal. Esensi dari adanya speaker di masjid itu adalah untuk menyampaikan pesan-pesan dari masjid atau suara masjid secara maksimal dengan syahdu dan nyaman.

"Kalau ini diatur, maka suara-suara benturan antar speaker masjid akan berkurang dan syiarnya menjadi lebih maksimal," kata Imam.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Kementerian Agama RI (kemenag_ri)

Pedoman pelantang masjid

Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menerbitkan edaran yang mengatur penggunaan pengeras suara (speaker) di masjid dan mushala. Aturan ini tertuang dalam Surat Edaran Menteri Agama Nomor SE 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushala.

Menag mengatakan, penggunaan pengeras suara di masjid dan mushala merupakan kebutuhan bagi umat Islam sebagai salah satu media syiar Islam di tengah masyarakat. Pada saat yang sama, masyarakat Indonesia juga beragam, baik agama, keyakinan, latar belakang, dan lainnya. Karena itu, diperlukan upaya untuk merawat persaudaraan dan harmoni sosial.

"Pedoman diterbitkan sebagai upaya meningkatkan ketenteraman, ketertiban, dan keharmonisan antarwarga masyarakat," kata Menag melalui pesan tertulis yang diterima Republika, Senin (21/2)

Menag menjelaskan, surat edaran yang terbit pada 18 Februari 2022 itu ditujukan kepada kepala kanwil Kemenag provinsi, kepala kantor Kemenag kabupaten/kota, kepala Kantor Urusan Agama kecamatan, ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI), pimpinan organisasi kemasyarakatan Islam, dan takmir/pengurus masjid dan mushala di seluruh Indonesia. Sebagai tembusan, edaran ini juga ditujukan kepada seluruh gubernur dan bupati/wali kota di seluruh Indonesia.

"Pedoman ini agar menjadi pedoman dalam penggunaan pengeras suara di masjid dan mushala bagi pengelola (takmir) masjid dan mushala dan pihak terkait lainnya," ujar Menag.

photo
Muadzin mengumandangkan adzan di Masjid Al-Ikhlas Jatipadang, Jakarta, Rabu (23/2/2022). Republika/Putra M. Akbar - (Republika/Putra M. Akbar)

Adapun beberapa ketentuan dalam pedoman itu yakni sebelum azan Subuh, pembacaan Alquran atau shalawat/tarhim dapat menggunakan pengeras suara luar dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) menit. Sedangkan pelaksanaan shalat Subuh, zikir, doa, dan kuliah Subuh menggunakan pengeras suara dalam.

Kemudian sebelum azan Zuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya, pembacaan Alquran atau shalawat/tarhim dapat menggunakan pengeras suara luar dalam jangka waktu paling lama lima menit. Kemudian, sesudah azan dikumandangkan, yang digunakan pengeras suara dalam.

Lalu, sebelum azan pada hari Jumat, pembacaan Alquran atau shalawat/tarhim dapat menggunakan pengeras suara luar dalam jangka waktu paling lama sepuluh menit. Sementara, penyampaian pengumuman mengenai petugas Jumat, hasil infak sedekah, pelaksanaan khutbah Jumat, shalat, zikir, dan doa, menggunakan pengeras suara dalam. Adapun pengumandangan azan menggunakan pengeras suara luar.

Diatur pula penggunaan pengeras suara pada kegiatan syiar Ramadhan, gema takbir Idul Fitri, Idul Adha, dan upacara hari besar Islam. Penggunaan pengeras suara di bulan Ramadhan, baik dalam shalat Tarawih, ceramah/kajian Ramadhan, dan tadarus Alquran menggunakan pengeras suara dalam.

photo
Muadzin mengumandangkan Adzan sebelum melaksanakan Shalat Dzuhur berjamaah di Masjid At-Tin, Jakarta, Jumat (18/9).. Republika/Putra M. Akbar - (Republika/Putra M. Akbar)

Kemudian, takbir pada 1 Syawal/10 Dzulhijah di masjid atau mushala menggunakan pengeras suara luar sampai pukul 22.00 waktu setempat dan dapat dilanjutkan dengan pengeras suara dalam. Sementara pelaksanaan shalat Idul Fitri dan Idul Adha menggunakan pengeras suara luar.

Sekretaris Jenderal Dewan Masjid Indonesia (DMI), Imam Addaruquthni, menyambut baik pedoman penggunaan pengeras suara masjid dan mushala yang diterbitkan Kemenag tersebut. Menurut dia, pengaturan pengeras suara masjid dan mushala juga pernah disampaikan Ketua Umum DMI, Jusuf Kalla.

Ketua umum DMI, lanjut Imam, tidak hanya memberi masukan untuk pengaturan pengeras suara, tapi juga pengaturan suara azan. Harapannya, kumandang azan bisa bersamaan, yakni dengan sistem sentralisasi azan, misalnya untuk daerah Jakarta dan sekitarnya, sehingga tidak terjadi keriuhan suara azan dan supaya maslahat.

"Jadi, istilah maslahat itu dalam hukum Islam selalu kembali kepada kepentingan terbaik manusia, khususnya umat Islam dan juga masyarakat yang majemuk itu," jelasnya.

Imam juga menyampaikan, kalau bisa pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan mushala ditandatangani oleh wakil masyarakat atau umat. Misalnya, oleh ketua umum DMI, ketua umum MUI, dan Kemenag.

“Kalau pedoman itu dikeluarkan bersama, landing (sampainya ke masyarakat)-nya akan lebih enak, hubungan masyarakat dengan pemerintah juga enak, jadi tidak disalahpahami seolah-olah pemerintah masuk ke urusan masjid, mudah-mudahan tidak disalahpahami.” 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat