Asma Nadia | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Konferensi Meja Panjang

Sejurus kemudian, keempatnya bergegas meninggalkan meja panjang.

Oleh ASMA NADIA

OLEH ASMA NADIA

Walau lebih banyak menulis di rumah, tak jarang saya mencari pojok sepi untuk bekerja dan menikmati hanya suara tuts laptop yang terdengar. Begitu pun sore ini.

Ditemani segelas jus alpukat, saya meneruskan Cinta Maha Luas, novel terbaru yang direncakan terbit pada 22 Februari 2022 melalui aplikasi kepenulisan yang menjadi rumah bagi beberapa karya baru, termasuk Surga yang Tak Dirindukan 3 dan Assalamualaikum Beijing 2.

Kenyataannya, suasana hening yang saya idamkan segera saja pecah oleh beberapa karyawan, rupanya baru pulang kantor, yang memasuki resto kecil itu. Saya melirik sebentar dan dengan cepat melihat ekspresi wajah hampir senada. Resah.

Keingintahuan pun mengusik. Dari mengamati sekilas, saya mulai memasang mata dan telinga, mendengarkan percakapan mereka.

 
Saya melirik sebentar dan dengan cepat melihat ekspresi wajah hampir senada. Resah.
 
 

“Katanya ini untuk kepentingan kita, Bro. Namanya saja Jaminan Hari Tua (JHT), ya harus diambil pas sudah tua, biar ketika tua kita tidak sengsara.” Seseorang berpostur paling tinggi membuka percakapan. Sanggahan serta merta terdengar.

“Semua karyawan kalau di-PHK ya pastilah butuh modal untuk usaha baru. Kenapa sekarang tabungan kita sendiri nggak bisa diambil?”

“Bukan nggak boleh. Boleh ketika usia 56 tahun. Lagian kalau PHK kan bisa dapat JKP, Jaminan Kehilangan Pekerjaan, dan itu katanya duit pemerintah, Bro!”

Berawal dari saling menimpali di antara dua orang, percakapan berkembang. Tak banyak yang mereka pesan saat daftar menu disodorkan. Hanya lima gelas teh manis yang dengan cepat terhidang.

Konferensi kecil di antara mereka kembali berlanjut.

Gimana kalau gue nggak di-PHK tapi dipaksa resign. Tahu sendiri banyak perusahaan yang begitu. JHT nggak dapat, JKP juga nggak bisa kan?”

“Katanya, walau belum 56 tahun tetap boleh diambil kok, Bro! Asalkan udah iuran selama 10 tahun!”

“Semua yang ditabung selama 10 tahun boleh diambil?” Hening. Terdengar seseorang menarik napas berat. “Pakai persentase katanya, Bro.” “Jadi nggak semua?” “Ya, semua kalau pas ente 56 tahun. Nah cairin deh. Katanya nggak ada masalah, Bro!”

“Asli gue nggak ngerti! Memangnya kalau ditahan dan nggak diambil sampai usia 56 tahun, saldo pokok bakal bertambah? Terus gimana kalau pegawai nggak bisa bayar iuran karena jadi wiraswasta atau dipaksa mengundurkan diri padahal sebenarnya di-PHK? Masa harus nunggu juga sampai 56 tahun?”

“Sumpah, gue juga nggak ngerti! Boro-boro bayar iuran, sekarang buat makan aja susah!” Komentar kali ini diiringi suara meja panjang yang digebrak, hingga beberapa pengunjung seperti saya spontan mengarahkan pandang ke meja panjang yang menjadi sumber keributan.

Saya melirik ke gelas teh manis di meja dan lega, sebab melihat tak ada yang tumpah.

 
Saya melirik ke gelas teh manis di meja dan lega, sebab melihat tak ada yang tumpah.
 
 

Seseorang di antara mereka menggelengkan kepala beberapa kali. “Sebenarnya biarlah para pegawai mengambil hak untuk kebutuhan mendesak, termasuk masa depan anak. Sudah susah, pandemi pula. Nanti di umur 56 tahun biar saja masa tua kami anak-anak yang mengurusi.”

Si lelaki jangkung mengibaskan tangan. “Bukan begitu, Bro. Katanya, masyarakat Indonesia itu tak punya tradisi nabung. Kurang sekali malah. Aturan ini justru supaya masa tua kita semua sejahtera. Katanya, kalau dikit-dikit diambil, nilainya berapa sih?”

“Ya, nggak seberapa buat dia berarti banget buat kita, gimana?”

“Tapi katanya….” Seseorang yang terlihat paling ekspresif sejak tadi, tiba-tiba memotong pembicaraan.

Gue cuma mau tanya nih. Yang capek gue, yang kerja gue, duit duit gue, kenapa jadi situ yang ngatur? Gini deh, waktu nabung kan aturan baru belum ada. Mending, jika duitnya memang ada, balikin aja dulu. Terus baru tawarin ke pegawai yang mau ikutan dengan ketentuan sekarang. Kasih kebebasan, baru fair, dong!”

“Benar. Lagian jangan cuma ngomong PHK. Jika dipaksa resign atau bekerja berdasarkan kontrak yang kapan pun bisa tidak diperpanjang, gimana? Perusahaan tak bayar pesangon, tidak perlu menaati peraturan PHK dana Jaminan Kehilangan Pekerjaan nggak akan keluar, sedangkan dana di BPJS Tenaga Kerja juga nggak bisa diambil. Terus?”

Saya ikut tercenung. Juga menanti jawaban seseorang yang selalu mengutip perkataan entah siapa. “Katanya sebagian JHT bisa diambil, nggak harus menunggu usia 56 tahun.” Si lelaki jangkung kembali bersuara.

 
Setelah sempat hanya saling pandang, empat pasang tangan kompak mengambil gelas dan mengguyur kepala lelaki jangkung yang kini gelagapan.
 
 

Suasana mendadak tercerahkan. Kemarahan berangsur mereda. “Benar begitu?” Yang ditanya mengangguk, “Cuma memang ada persentase yang bisa diambil segera. Terus ada kriterianya. Bentar…" si lelaki melihat catatan di ponselnya, “Bisa diambil, uang sisanya nggak hilang. Tetap menjadi hak ahli warisnya, asalkan dia cacat tetap atau meninggal!”

Astaga. Beberapa detik tak terdengar sanggahan. Saya sampai mengangkat wajah untuk mengetahui apa yang terjadi. Rupanya, setelah sempat hanya saling pandang, empat pasang tangan kompak mengambil gelas dan mengguyur kepala lelaki jangkung yang kini gelagapan.  

Sejurus kemudian, keempatnya bergegas meninggalkan meja panjang. Di antara langkah mereka, telinga saya masih menangkap helaan napas berat, teramat berat.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat