Keluarga Penerima Manfaat (KPM) menimbang kembali beras bansos Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) di Lingkungan Citapen, Kelurahan Kertasari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Rabu (11/1/2022). Sejumlah KPM hanya menerima bantuan beras sebanyak 11 kilogram dari | ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/tom.

Ekonomi

Perubahan Iklim Tekan Produksi Beras

Kenaikan produksi beras pada 2021 sekitar 1,14 persen dibandingkan 2020.

JAKARTA -- Kementerian Pertanian (Kementan) menargetkan produksi padi nasional pada 2022 sebanyak 55,2 juta ton. Target produksi tersebut mengalami stagnasi dibandingkan proyeksi terakhir capaian produksi padi 2021. Perubahan iklim secara ekstrem dinilai menjadi ancaman terberat untuk mempertahankan produksi pangan nasional.

Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, mengatakan, upaya menjaga produksi pangan nasional pada tahun ini bakal dihadapkan pada tingginya tantangan terhadap anomali cuaca. Syahrul mengatakan, tantangan itu bukan hanya dihadapi Indonesia, melainkan juga seluruh dunia yang menjadi produsen pangan.

"Perubahan iklim dan cuaca ekstrem akan berdampak tidak linier, tidak bisa diprediksi, dan tidak berkelanjutan," kata Syahrul dalam Rapat Kerja bersama Komisi IV DPR, Senin (24/1).

Di tengah ancaman perubahan iklim tersebut, Syahrul mengatakan, alokasi anggaran pemerintah untuk menjaga produksi padi nasional menurun. Pada lima tahun lalu, tersedia anggaran sekitar Rp 5 triliun dan kini hanya sekitar Rp 1,74 triliun. Dengan kondisi tersebut, pemerintah pun mematok target yang realistis pada tahun ini.

Meski dengan target produksi yang stagnan, Syahrul mengatakan, pada tahun lalu produksi padi cukup memenuhi kebutuhan nasional. Itu juga tecermin dari pergerakan harga sepanjang tahun yang relatif tidak mengalami lonjakan tinggi.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Kementerian Pertanian RI (kementerianpertanian)

"(Sejak) dua tahun lalu kita tidak impor beras. Ini akan menjadi tahun ketiga kita tidak impor beras. Meski anggaran turun, kita terus dorong penggunaan KUR (Kredit Usaha Rakyat)," ujarnya.

Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menilai, produksi padi tahun ini justru berpotensi mengalami kenaikan dibandingkan tahun lalu. Peluang peningkatan produksi seiring prediksi iklim tahun ini yang akan mengalami La Nina di awal musim tanam pertama.

"Berkaca dari dua tahun terakhir, saya optimistis kalau pemerintah bisa memanfaatkan momentum La Nina paling tidak produksi stagnan dibandingkan tahun lalu atau bahkan ada peluang untuk naik," kata Khudori.

Kementan menargetkan produksi padi atau gabah pada 2022 sekitar 34 juta ton beras. Khudori mengatakan, kenaikan produksi beras pada 2021 sekitar 1,14 persen dibandingkan 2020. Hal itu dicapai meski luas tanam dan panen turun. Data itu juga menandakan adanya peningkatan produktivitas padi. Menurut dia, iklim La Nina sangat mendukung peningkatan produksi karena memberikan kecukupan air terutama di masa-masa kritis musim panen pertama periode Oktober-Maret.

"Tahun 2020 ada kemarau basah, lanjut 2021 masih ada La Nina. Tahun ini berdasarkan proyeksi BMKG masih ada La Nina sampai Februari kelanjutan dari tahun lalu," ujarnya.

Faktor lain yang menentukan, yakni terkait penyediaan dukungan produksi, khususnya pupuk. Khudori mengatakan, persoalan pupuk subsidi menjadi masalah yang berulang setiap tahun. Sementara itu, untuk pupuk nonsubsidi, terus mengalami kenaikan harga hingga di luar batas kemampuan petani.

"Intinya ketika petani perlu, pupuk harus tersedia sekalipun yang nonsubsidi," katanya.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Kementerian Pertanian RI (kementerianpertanian)

 

Harga pupuk

Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengungkapkan, penyebab kenaikan harga pupuk nonsubsidi saat ini akibat naiknya harga bahan baku impor. Syahrul mengatakan, salah satu bahan baku, seperti fosfat mengalami kenaikan harga hingga tiga kali lipat. Cina yang selama ini menjadi produsen bahkan sedang menyetop ekspornya.

 

 

(Harga) pupuk di dunia naik dan sebentar lagi ini akan menjadi persoalan.

 

SYAHRUL YASIN LIMPO, Menteri Pertanian
 

Menyikapi masalah harga tersebut, Syahrul mengungkapkan, Presiden Joko Widodo memutuskan agar harga pupuk bersubsidi tidak naik. Namun, sebagai konsekuensi, harga pupuk nonsubsidi perlu penyesuaian dengan situasi pasar. Kementan juga akan terus mendampingi petani untuk mengurangi penggunaan pupuk kimia dan beralih ke pupuk organik.

"Tahun ini kami akan mengajarkan petani bagaimana pupuk berimbang," kata Syahrul.

Direktur Utama PT Pupuk Indonesia (Persero) Bakir Pasaman mengatakan, langkah Cina yang menyetop ekspor fosfat memiliki pengaruh besar terhadap situasi harga bahan baku secara internasional. Selain fosfat, bahan baku lainnya, seperti KCL juga naik tinggi sekitar tiga kali lipat.

Ia melanjutkan, harga pupuk nonsubsidi yang dijual oleh perseroan di dalam negeri masih lebih murah dibandingkan harga internasional. Dia menjelaskan, rata-rata harga pupuk di pasar ekspor kini mencapai Rp 14,5 juta per ton. Sementara itu, di Indonesia hanya dijual seharga Rp 9,3 juta per ton.

"Jadi, di dalam negeri harga pupuk lebih murah sekitar Rp 5 juta dibandingkan luar negeri," kata dia. 

photo
Petani menyiapkan pupuk urea sebelum ditabur di area persawahan Galesong Utara, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, Minggu (6/6/2021). PT Pupuk Indonesia (Persero) mencatat realisasi penyaluran pupuk urea bersebsidi di Sulawesi Selatan mencapai 122.925 ton atau 69,2 persen dari total alokasi hingga akhir Mei 2021 sebanyak 163.219 ton. - (ARNAS PADDA/ANTARA FOTO)

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat