Asma Nadia | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Pagar Makan Tanaman

Kenapa perilaku pagar makan tanaman seolah menjadi tren yang gagal dikekang waktu?

Oleh ASMA NADIA

OLEH ASMA NADIA

Masih teringat pelajaran peribahasa di sekolah dulu tentang pagar makan tanaman. Kalimat sederhana, tetapi perlu waktu untuk memproses makna di dalamnya. Khususnya bagi kami yang saat itu baru pertama kali mendengar.

Berbagai pertanyaan tumpang tindih. Bagaimana mungkin, pagar yang merupakan benda mati melakukan aktivitas makhluk hidup?

Kepala kami baru mengangguk saat guru menjelaskan makna tersirat di baliknya, "Pagar yang berfungsi melindungi tanaman tapi di sini justru malah merusaknya." Mendengar penjelasan itu, semua menjadi lebih terang walau menyisakan ruang samar.

Barangkali karena penjelasannya bersifat abstrak dan ilustratif belaka. Namun, seiring waktu, kian banyak realitas yang membantu kami tak hanya memahami konsep, tetapi menjadi saksi betapa relevan dan kontekstual peribahasa tersebut.

Bahkan, seolah menjadi hidangan rutin dari hari ke hari di berbagai media massa. Di Jawa Barat, pembina pesantren tahfiz yang seharusnya mengajarkan makna dan menghapal Alquran justru melakukan dosa besar, menyetubuhi sejumlah santri berulang kali.

 
Seiring waktu, kian banyak realitas yang membantu kami tak hanya memahami konsep, tetapi menjadi saksi betapa relevan dan kontekstual peribahasa tersebut.
 
 

Kriminalitasnya bukan sekadar kekerasan seksual, melainkan juga pedofilia serta merusak kepercayaan terhadap lembaga pendidikan tahfiz, kitab suci, dan lembaga keagamaan. Sejak itu, minat masyarakat menyumbang lembaga sosial keagamanan turun cukup signifikan.

Belum selesai kasusnya di peradilan, Januari ini, seorang santri wanita melahirkan bayi prematur di kamar mandi salah satu pesantren di Kabupaten Ogan Komering Ulu akibat diperkosa salah satu ustaz di sana. Benar-benar terlalu.

Guru memerkosa atau mencabuli murid memang sudah pernah terjadi. Salah satu yang sempat sangat marak diberitakan adalah kasus di Jakarta Internasional School. Ironisnya, tragedi serupa tak kunjung hilang, malah terus berulang.

Bahkan, baru tiga pekan memasuki 2022, berbagai peristiwa pagar makan tanaman menghiasi laman surat kabar. Pertama yang dilakukan guru ekstrakurikuler silat di Pandeglang, Banten, yang tega memerkosa dua muridnya yang masih duduk di bangku SMP.

Kasus lain dengan cepat menyusul. Guru agama di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, menodai muridnya yang berusia 14 tahun. Lalu, seorang guru kesenian di Jawa Timur melakukan kekerasan seksual pada murid tarinya. Menambah jejak duka tahun lalu, saat 14 anak menjadi korban kekerasan seksual pemilik SMA Selamat Pagi Indonesia (SPI), Batu, Jawa Timur.

Wajah-wajah belia. Sosok tak berdaya seperti anak penyandang disabilitas yang harusnya diberi perlindungan lebih justru diperkosa beramai-ramai di Soppeng, Sulawesi Selatan. Orang tua justru menjadi pelaku yang merenggut kehormatan.

Tiga anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan dicabuli ayahnya. Di Halmahera Utara, Maluku Utara, remaja putri berusia 16 tahun hamil empat bulan akibat kekerasan seksual kakek, ayah, dan paman korban.

Ada apa Indonesia? Kenapa perilaku pagar makan tanaman seolah menjadi tren yang gagal dikekang waktu? Makin parah sebab tak hanya masyarakat biasa pelakunya.

 
Ada apa Indonesia? Kenapa perilaku pagar makan tanaman seolah menjadi tren yang gagal dikekang waktu? Makin parah sebab tak hanya masyarakat biasa pelakunya.
 
 

Di Sumatra Utara, oknum polisi yang seharusnya membasmi narkoba justru menyimpan bukti narkoba dan menjualnya ke pengedar. Di Maluku, Buleleng, dan Sikka NTT, viral berita tentara yang semestinya melindungi warga justru memukuli rakyat.

Di Surabaya, hakim yang merupakan putusan tertinggi hukum justru tertangkap KPK ketika menerima suap untuk kasus yang sedang ditangani. Di Bekasi, Panajam Paser Utara, Langkat, kepala daerah yang harusnya melayani justru menggerogoti uang rakyat.

Lalu, ke mana rakyat akan menemukan figur teladan jika mereka yang bahkan secara profesi dan jabatan bertugas menjaga dan melindungi malah bersikap sebaliknya?

Ilustrasi peribahasa ini kini tak lagi abstrak, tapi kian beragam bentuknya sebab bersumber dari fakta memalukan yang terus bermunculan. Karenanya, lumrah bila peribahasa yang menjadi bagian pelajaran bahasa Indonesia, kini harus ditekankan untuk membaguskan perilaku siswa.

 
Ke mana rakyat akan menemukan figur teladan jika mereka yang bahkan secara profesi dan jabatan bertugas menjaga dan melindungi malah bersikap sebaliknya?
 
 

Anak-anak kita adalah pewaris masa depan. Mereka sejak dini harus ditanamkan rasa malu hingga tak tumbuh menjelma pagar makan tanaman. Menjadi pagar yang tidak melindungi saja sudah tindakan memalukan, apalagi menjadi perusaknya.

Mengutip Lord Acton yang hidup di abad 19, "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely." Kekuasaan cenderung untuk dikorupsi dan kekuatan absolut pasti korup.

Apa pun wewenang yang kita miliki, bisa berbalik menjerumuskan pada penyalahgunaannya jika yang bersangkutan tak menyadari sejak awal dan bersikap hati-hati. Meski pemahaman di atas kekuasaan tertinggi apa pun ada Allah yang menyaksikan, seharusnya cukup untuk mencegah seseorang bertindak yang bukan hanya tercela juga sangat biadab.

Namun, iman saja sering jatuh bangun. Butuh pengawasan dari sesama manusia. Untuk itu, kita harus mengapresiasi lembaga atau individu yang tegas mengecam dan melakukan tindak lanjut legal kepada pelaku.

Penting pula memastikan, mereka di kemudian hari tak lagi memiliki daya untuk menghancurkan aneka tanaman di sekitarnya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat