Richard Gere. | X00157

Geni

Richard Gere Bercerita Lewat Akting

Tidak hanya tersohor dalam industri perfilman, Richard Gere juga aktif di dunia filantropi.

 

 

Bintang Hollywood Richard Gere menganggap kariernya sebagai aktor adalah paket lengkap dalam hidupnya. Berkiprah di dunia akting membuatnya bisa bersinggungan dengan bidang-bidang yang menjadi minatnya tanpa harus menempuh studi formal.

Pria 72 tahun itu membagikan cerita tentang karier berakting serta filosofi hidupnya. Gere lahir di Philadelphia, Amerika Serikat, pada 31 Agustus 1949. Setelah lulus dari North Syracuse Central High School, dia mendapat beasiswa gimnastik untuk berkuliah di University of Massachusetts Amherst.

Aktor peraih Golden Globe Award itu memilih tidak melanjutkan kuliah dan banting setir ke dunia akting. Itu terjadi setelah melihat teman-temannya lebih jago gimnastik ketimbang dirinya.

"Saya tertarik akting dan sangat menikmati tampil beberapa kali saat masih di SMA. Saat itu saya hanya pemuda berusia 18 tahun, tidak terpikir nantinya saya akan jadi apa," ujar Gere saat menjadi bintang tamu program “Mola Living Live” besutan Mola TV, Kamis (13/1) petang. 

Pilihan Gere untuk mengikuti intuisinya ternyata membuahkan hasil. Dia pertama kali bekerja secara profesional di Seattle Repertory Theater dan Provincetown Playhouse di Cape Cod pada 1969.

Berlanjut dengan peran akting utama perdananya di Grease London versi asli pada 1973. Dari peran di atas panggung, Gere beranjak ke peran di depan layar mulai pertengahan 1970-an.

Beberapa judul sinema awal yang dia bintangi, yakni Report to the Commissioner, Baby Blue Marine, Looking for Mr Goodbar, dan Bloodbrothers. Baru di film Days of Heaven (1978), dia mendapat peran utama.

Mengenang itu semua, Gere mengaku menikmati dan mensyukuri semuanya. Menurut dia, akting seperti bercerita dan memungkinkannya mengeksplorasi banyak bidang, seperti musik, psikologi, metafisik, apa pun. “Ini profesi yang bisa mencakup apa saja keingintahuan yang saya miliki," kata dia.

Pada bincang santai yang dipandu Dino Patti Djalal dan Marissa Anita itu, Gere mengemukakan perbedaan antara berakting di atas panggung dan di film. Bagi Gere, yang berbeda adalah pemusatan energi.

Saat berada di panggung, dia akan memfokuskan energinya pada penonton, entah puluhan atau ribuan yang menyimak. Saat berakting di film, dia mengekspresikan energi pada lensa kamera sebagai karakter yang dimainkan.

Gere selalu mengingat ajaran dari para gurunya di dunia akting. Salah satunya, aktor atau aktris harus menemukan karakternya. Dari situlah Gere tergerak untuk mencari ciri khasnya sendiri yang tak sama dengan orang lain.

Membintangi puluhan film membuat Gere pernah bekerja dengan banyak sutradara. Menurut Gere, setiap sutradara punya keistimewaan. Masing-masing memiliki sentuhan berbeda sehingga film mereka punya identitas unik.

Ada satu sosok yang paling membuat Gere terkesan, yaitu John Schlesinger. Sutradara itu mengarahkan film //Yanks// yang dibintangi Gere. Sang aktor salut pada cara Schlesinger menghadapi masalah saat produksi.

Gere menyebut, Schlesinger sebagai pria yang cerdas dan sensitif. Tanpa banyak bicara, Schlesinger tahu bagian mana yang berjalan benar atau tidak, lalu dengan mulus mengembalikan semua ke jalurnya.

Bagi Gere, tidak segala hal perlu diucapkan. Dia dan Schlesinger dapat saling memahami hanya dengan saling menatap. "Kami punya selera humor yang sama serta cara serupa melihat dunia dan semesta," ujar Gere.

Penyuka tayangan komedi itu juga bersinggungan dengan deretan pemeran yang tak terhitung jumlahnya. Bagi Gere, sosok yang paling mudah untuk menerbitkan chemistry adalah aktris Julia Roberts.

Gere diperkenalkan pada Roberts pertama kali saat akan membintangi film komedi romantis Pretty Woman. Semula Gere ragu-ragu menerima tawaran peran di film tersebut. Semua berubah saat dia berjumpa dengan Roberts.

Saat sutradara menghubungi Gere mengenai kepastian menerima tawaran peran atau tidak, Gere sedang bersama Roberts. Kala itu, Roberts menuliskan "tolong terimalah" di atas kertas dan Gere menurutinya.

Duet mereka pada film sukses besar, mengantarkan Pretty Woman menjadi film berpendapatan terbesar nomor tiga sepanjang 1990. Mereka berdua kemudian kembali berjumpa di film Runaway Bride yang dirilis pada 1999.

Setiap peran yang dihidupkan Gere memberikan pelajaran baru baginya. Saat membintangi American Gigolo sebagai Julian Kaye, misalnya, Gere hanya punya waktu dua pekan untuk mendalami karakter pria bayaran.

Berbeda dengan pengalamannya berperan di film Norman: The Moderate Rise and Tragic Fall of a New York Fixer. Gere menghabiskan lebih dari satu tahun untuk menjiwai karakter Norman Oppenheimer.

Jadi “tunawisma”

Peran yang cukup membuatnya terkenang hingga kini adalah sebagai pria tunawisma bernama George di Time Out of Mind. Pada film tersebut, Gere sekaligus menjadi produser. Proses pengembangan film berlangsung cukup lama.

Dia setuju mengangkat kisah tentang tunawisma karena jumlah mereka cukup banyak di kota sebesar New York. Gere dan tim sengaja datang ke penampungan tunawisma untuk mengetahui secara langsung kondisi mereka.

Saat syuting, Gere meminta pengambilan gambar salah satu adegan dilakukan sealami mungkin. Dia berpakaian seperti tunawisma dan datang ke persimpangan yang ramai. Kru mengambil gambar dengan kamera tersembunyi di kedai kopi.

Gere mengira akan butuh beberapa detik sebelum ada yang mengenali dirinya. Dia dan kru terkejut karena tidak ada orang yang peduli sepanjang 45 menit syuting. Dia masih takjub dengan realitas memprihatinkan itu.

"Ketika saya berbusana seperti tunawisma, tak ada satu pun yang memperhatikan. Orang yang sama, Richard Gere, dengan tuksedo di karpet merah, semua orang menjadi tergila-gila," ujarnya.

Ada masa ketika Gere kesulitan untuk melepaskan diri dari tokoh yang dia mainkan dalam sebuah film. Lambat laun, dia bisa keluar masuk dari karakter yang paling ekstrem sekalipun, lantas pulang ke rumah sebagai dirinya sendiri.

Dia akhirnya memahami bahwa aktor adalah wadah untuk menyampaikan sebuah cerita. Akan tetapi, tokoh yang hendak dikisahkan sangat bergantung pada diri sang aktor. Emosi, pengalaman, memori, mimpi, pemahaman, cinta, juga kekuatan dan kelemahan sang aktor amat berpengaruh.

Tidak hanya tersohor di industri perfilman, sosok ikonik Hollywood ini juga aktif di dunia filantropi. Sang aktor mendirikan Gere Foundation yang didedikasikan untuk pelestarian budaya Tibet.

Yayasan itu juga menyediakan perawatan, penelitian, dan pengobatan HIV/AIDS. Dana yang dihimpun turut disalurkan untuk organisasi-organisasi yang menangani pelanggaran hak asasi manusia di seluruh dunia.

Gere dikenal sebagai murid dari Dalai Lama. Pria yang sering bertandang ke Bali dan pernah bertualang ke Kalimantan itu selalu mengingat sejumlah ajaran sang guru yang disebutnya sangat menyentuh.

Bagi Gere, agama apa pun mengajarkan kebaikan. Penyandang predikat "The Sexiest Man Alive" dari majalah //People// pada 1999 itu beranggapan, semakin seseorang mengesampingkan egonya, kebahagiaan akan datang.

"Semakin banyak kita memberi, semakin banyak yang kita dapatkan. Semakin kita mencintai, semakin kita balas dicintai. Semakin bijaksana sikap kita, semakin banyak kebijaksanaan yang kita terima," ujar Gere. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat