Bakal calon anggota KPU dan Bawaslu melakukan pendaftaran secara daring di Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Senin (18/10/2021). | ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/hp.

Opini

Mencari Penyelenggara Pemilu

Indonesia membutuhkan penyelenggara pemilu, baik untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), yang mampu bekerja dengan integritas total.

RIDHO AL-HAMDI, Wakil Dekan Fisipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Tahun 2024 menjadi pesta demokrasi paling spektakuler di dunia. Tidak hanya pemilu dengan lima kotak suara seperti 2019 tetapi juga pilkada untuk tingkat provinsi maupun kabupaten/kota pada tahun yang sama.

Jika pemilu dengan lima kotak suara di 2019 merupakan pemilu paling banyak di dunia, pemilu-pilkada serentak 2024 adalah pemilu spektakuler sepanjang sejarah peradaban manusia. Sebab, belum ada negara lain yang melaksanakan pemilu serupa.

Menghadapi situasi pemilu serentak 2024, Indonesia membutuhkan penyelenggara pemilu, baik untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), yang mampu bekerja dengan integritas total.

 
Indonesia membutuhkan penyelenggara pemilu, baik untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), yang mampu bekerja dengan integritas total.
 
 

Saat ini, proses seleksi anggota KPU dan Bawaslu  sampai tahap pengumuman lolos tes gabungan antara Computer Assisted Test (CAT), penulisan makalah, dan tes psikologi.

Sebanyak 28 nama calon anggota KPU dan 20 nama calon anggota Bawaslu diumumkan tim seleksi (timsel) pada 3 Desember 2021. Tes wawancara pada 26-28 Desember 2021. Ada evaluasi krusial pada seleksi tes gabungan itu, yaitu tak adanya transparansi skor.

Peserta tes tidak bisa melihat hasil skor CAT sesaat setelah tes selesai dengan alasan tes CAT tak menjadi penentu kelulusan tahap berikutnya tetapi bagian dari proses pengambilan keputusan.

Persentase skor CAT jauh lebih tinggi daripada nilai makalah meski rekomendasi hasil tes psikologi bisa jadi penentu gugur atau tidaknya calon.

Namun, hasil CAT dan makalah justru tetap menjadi penentu kelolosan 28 dan 20 nama tersebut meski ada aspek afirmasinya. Jadi, calon penyelenggara sulit menggugat hasil pengumuman timsel karena mereka tak tahu hasil tes yang sebenarnya.

Tak kalah penting, publik tak tahu apakah skor tes itu murni demikian atau ada pihak lain mempunyai akses dan kuasa mengubah angka hasil tes. Kalaupun publik menuntut transparansi skor, mereka tidak memiliki data akurat.

 
Di sinilah problem mendasar kinerja Timsel KPU-Bawaslu: buruk pada transparansi dan pertanggungjawaban publik. Kepada siapa kita harus percaya lagi?
 
 

Belum lagi berbagai informasi mengindikasikan, terjadi reservasi calon tertentu yang harus diloloskan tanpa melihat integritas dan tahapan profesionalitasnya.

Di sinilah problem mendasar kinerja Timsel KPU-Bawaslu: buruk pada transparansi dan pertanggungjawaban publik. Kepada siapa kita harus percaya lagi?

Sekarang, 28 calon KPU dan 20 calon Bawaslu akan mengikuti tes wawancara. Dari penelusuran terhadap latar belakang para calon penyelenggara, muncul kesan “Jakarta Sentris” dan “Jateng Sentris”.

Untuk menjaga stabilitas politik dan pemilu-pilkada serentak 2024, diperlukan sosok penyelenggara Jawa dan luar Jawa agar pesta demokrasi dirasakan seluruh anak negeri. Perlu didorong juga akademisi dan pegiat kepemiluan masuk penyelenggara pemilu.

Overdosis demokrasi 2024

Tentu, siapapun komisioner yang terpilih di KPU-Bawaslu, mereka harus bekerja secara imparsial demi  integritas Pemilu 2024.

Salah satu problem penyelenggara pemilu adalah ketidaknetralan dalam proses pemilu terutama di badan adhoc (kecamatan ke bawah) sehingga sering mereka terlibat jual beli suara maupun proses hitung suara yang sayangnya sulit terdeteksi secara hukum.

 
Tentu, siapapun komisioner yang terpilih di KPU-Bawaslu, mereka harus bekerja secara imparsial demi  integritas Pemilu 2024.
 
 

Namun tak menutup kemungkinan, penyelenggara pemilu di tingkat kabupaten/kota, provinsi, bahkan pusat terlibat perilaku curang.

Pemecatan terhadap Wahyu Setiawan (KPU RI) dan para komisioner di tingkat daerah seperti di Papua adalah contoh kecil betapa berisikonya posisi mereka untuk bisa dijualbelikan demi uang sehingga merusak moralitas penyelenggara pemilu.

Jika penyelenggara pemilu masih tak bisa independen, pesta demokrasi 2024 berisiko dengan berbagai problem.

Pemilu 2019 dengan lima kota suara saja menyisakan sejumlah pekerjaan rumah seperti meninggalnya ratusan penyelenggara pemilu, kecurangan di berbagai daerah termasuk politik uang dengan modus beragam serta sengketa yang berdampak panjang.

Tentu kompleksitas pemilu borongan 2024 membutuhkan penyelenggara yang bisa fokus pada penyelesaian masalah, bukan justru bagian dari masalah.

 
Jika penyelenggara pemilu masih tak bisa independen, pesta demokrasi 2024 berisiko dengan berbagai problem.
 
 

Pada 2024 menjadi tahun dengan dosis pemilu cukup tinggi, lima kotak suara plus dua kotak suara pilkada. Ibarat manusia minum obat sehari, jika tak dikelola dengan baik, pemilu borongan 2024 menjadi overdosis dan menyebabkan kekacauan psikososial di masyarakat.

Apa saja efek dari overdosis ini? Masyarakat lelah dan muak dengan kepalsuan yang dipertontonkan kontestan. Calon legislatif maupun eksekutif sibuk menang dan tak siap kalah, belum lagi harus mempersiapkan diri untuk tahapan sengketa.

Partai politik pontang-panting mencari calon terbaik. Selain itu, aparatur sipil negara kasak-kusuk untuk mendukung sana-sini sehingga netralitasnya bermasalah. Pesta demokrasi menjadi antiklimaks.

Ongkos finansial mungkin efektif tetapi tidak untuk ongkos psikososial dan konflik horizontal yang berkepanjangan seperti efek pasca Pemilu 2019. Di sinilah integritas KPU-Bawaslu yang terpilih dipertaruhkan. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat