Azyumardi Azra | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Literatur Islam Indonesia: Rekonsiliasi

Lazimnya, literatur itu memberi indikasi tentang perkembangan dan dinamika di lingkungan masyarakat Muslim lokal.

Oleh Azyumardi Azra

OLEH AZYUMARDI AZRA

Literatur Islam kepulauan nusantara yang sejak abad ke-17 bercorak utama wasathiyah Islam mencakup berbagai bidang ilmu agama Islam (al-‘ulum al-diniyah).

Literatur yang tersedia, baik sudah dicetak maupun masih berupa naskah mencakup tafsir (sebagian atau lengkap 30 juz), fikih (ibadah, muamalah, dan siyasah), tasawuf (akhlaqi atau ‘amali dan falsafi) dan kalam (teologi).

Juga cukup banyak literatur sejarah (sumber dan historiografi) dan bahkan mujarrabat. Berbagai literatur itu, selain berisi ajaran normatif Islam yang dilengkapi penjelasan ulama penulisnya juga mengandung indikasi dan isyarat tertentu.

Lazimnya, literatur itu memberi indikasi tentang perkembangan dan dinamika di lingkungan masyarakat Muslim lokal.

 
Lazimnya, literatur itu memberi indikasi tentang perkembangan dan dinamika di lingkungan masyarakat Muslim lokal.
 
 

Dengan begitu, khazanah literatur keagamaan Islam dapat sekaligus menjadi sumber penulisan sejarah sosial-intelektual masyarakat Muslim, tempat literatur itu diproduksi dan direproduksi.

Dalam perspektif itu, literatur Islam kepulauan nusantara sejak masa awal, khususnya pada abad ke-15 dan 16 juga mengindikasikan kontestasi di antara doktrin fikih dan tasawuf.

Bahkan lebih awal lagi, sejak awal penyebaran Islam secara masif pada paruh kedua abad ke-13, kontestasi di antara kedua aspek Islam ini telah berlangsung, yang mencapai kulminasi pada abad ke-16. Penyiar atau ‘ulama’ berorientasi fikih mengecam praktik tasawuf inklusif-akomodatif yang bercampur aduk dengan tradisi spiritualitas lokal, yang dipraktikkan sebagian tokoh agama dan kaum awam.

Mufaraqah, bukan barang baru dalam perkembangan dan tradisi pemikiran dan praktik Islam. Pertikaian antara fikih dengan tasawuf bermula tak lama setelah Rasulullah wafat.

Kecewa karena pertikaian, konflik yang berujung perang (misalnya Perang Jamal dan Perang Siffein), sahabat Abu Dazr al-Ghifari menenggelamkan diri ke dalam zuhud dan uzlah. Dia menjadi pola dasar (prototipe) tasawuf eksesif yang disebut ‘antinomian’.

 
Mufaraqah, bukan barang baru dalam perkembangan dan tradisi pemikiran dan praktik Islam. Pertikaian antara fikih dengan tasawuf bermula tak lama setelah Rasulullah wafat.
 
 

Praktik sufisme antinomian yang mengabaikan sunah Nabi, misalnya tentang tanggung jawab kemanusiaan, dikecam banyak muhadditsun (ahli hadis) dan fukaha sebagai ‘menyimpang’.

Kedua kelompok ulama ini juga mengecam tasawuf falsafi seperti dikembangkan Rabi’ah al-Adawiyah (95-185H/713-801M), Abu Yazid al-Bustami (lahir 188H/804M), Mansur al-Hallaj (244-306H/858-922H), Suhrawardi al-Maqtul (1154-1191M), dan Ibn ‘Arabi (1165-1240).

Mereka mengembangkan tasawuf falsafi atau tasawuf teoretis dari mahabbah (cinta antara manusia dan Tuhan), ittihad (penyatuan manusia dengan Tuhan), hulul (peleburan manusia dalam zat Tuhan) dan wahdatul wujud (kesatuan eksistensial di antara makhluk dengan Tuhan).

Di kepulauan nusantara, tasawuf falsafi pertama kali terkait Syekh Siti Jenar (1426-1517). Dia disebut Babad Tanah Jawi termasuk Wali Sanga di masa Kesultanan Demak. Namun, dia kemudian dijatuhi hukuman mati oleh Wali Sanga lain karena mengajarkan hulul atau manunggaling kawula gusti.

Dalam sumber Belanda, Syekh Siti Jenar disebut ‘al-Hallaj van Java’. Tasawuf falsafi di kepulauan nusantara kembali menemukan dalam literatur Islam kepulauan nusantara melalui karya-karya Hamzah al-Fansuri (lahir 1527) dan Syamsuddin al-Samatrani (wafat circa 1630).

 
Dalam sumber Belanda, Syekh Siti Jenar disebut ‘al-Hallaj van Java’.
 
 

Dalam literatur puisi dan prosa, keduanya jelas menganut wahdatul wujud Ibn ‘Arabi. Walhasil, keduanya dituduh ulama lain di Aceh, Nur al-Din al-Raniri (wafat 1658) dalam beberapa karyanya sebagai penganut ‘wujudiyah mulhid’ atau wujudiyah zindiq (wujudiyah sesat, ateistik).

Dia (ar-Raniri) mengeklaim pengikut ‘wujudiyah muwahid’ (wujudiyah tawhidik). Al-Raniri menggunakan kekuasaannya sebagai penasihat Sultanah Aceh melakukan pemburuan dan pembakaran literatur karya Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Samatrani.

Kajian lebih belakangan tentang karya Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Samatrani, al-Raniri, dan ‘Abd Rauf al-Sinkili (1024-1105H/1615-1693M) menyimpulkan, terlalu berlebihan menuduh Hamzah dan Syamsuddin ‘sesat’.

Keduanya, seperti juga al-Raniri dan al-Sinkili, selain menganut wahdatul wujud, juga menekankan pentingnya syariah atau fikih dalam bertasawuf.

 
Rekonsiliasi kedua aspek ini, mengakhiri pertikaian dan konflik panjang di antara fikih dan tasawuf.
 
 

Kontroversi tentang wahdatul wujud yang tecermin dalam literatur Islam kepulauan nusantara abad 16-17 seperti terlihat dalam karya-karya ulama tadi, akhirnya juga mencerminkan rekonsiliasi antara syariah atau fikih pada satu pihak dan tasawuf di pihak lain.

Rekonsiliasi kedua aspek ini, mengakhiri pertikaian dan konflik panjang di antara fikih dan tasawuf.

Seperti disimpulkan almarhum Profesor Fazlur Rahman, guru besar Universitas Chicago, tokoh paling berjasa dalam membuat terjadinya rekonsiliasi itu adalah Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad yang lebih dikenal sebagi al-Imam al-Ghazali (1058-1111).

Rahman menyimpulkan, berkat rekonsiliasi, tasawuf dapat dikembalikan ke dalam ortodoksi Suni; sebaliknya, jika tidak ada rekonsiliasi, bukan tidak mungkin tasawuf menjadi aliran spiritualitas yang terpisah dari induknya, ortodoksi Islam. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat