Asma Nadia | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Demi Nama Baik Kampus

Bagian dari menjaga nama baik kampus dan mengharumkannya justru dengan upaya sungguh-sungguh.

Oleh Asma Nadia

OLEH ASMA NADIA

“Tulisan kamu bagus sekali,” ujar seorang profesor pada mahasiswinya sambil menepuk bahu.

Sang mahasiswi terlihat bahagia mendapat pujian dari sosok hebat, meski sedikit tak nyaman karena pengajar senior itu tak sekadar menepuk, tapi sambil mengelus lembut bahunya. Apakah ini di luar kewajaran? Ah, mungkin hanya prasangka. Pikir sang mahasiswi.

Tak berselang lama, sang profesor mengajaknya makan malam bersama. Karena sempat dijanjikan menjadi asisten dosen, rasanya sulit menolak. Lagi pula, pertemuan dilakukan di tempat publik, tidak mungkin sang profesor berani berbuat sesuatu yang kurang pantas.

Sekali lagi, prasangka baik yang salah. Di sela-sela makan malam, sekalipun di tempat umum, pria tua itu berani meraba dan menyentuh bagian tubuh sang gadis yang tersembunyi di bawah meja.

 

 
Sekali lagi, prasangka baik yang salah. Di sela-sela makan malam, sekalipun di tempat umum, pria tua itu berani meraba dan menyentuh bagian tubuh sang gadis yang tersembunyi di bawah meja.
 
 

 

Berteriak tentu saja mempermalukan diri sendiri. Sementara, jika memilih diam, berarti sama saja merendahkan diri. Kedua pilihan terlihat salah. Dalam kebingungan, sang gadis akhirnya berontak dan berdiri sambil menegur keras sang profesor di tengah keramaian.

Kaget dengan keberanian mahasiswinya, sang profesor naik pitam, meninggalkan si gadis yang kini menjadi pusat perhatian.

Keesokan harinya, sang profesor menyatakan, tidak mau lagi membimbing sang gadis dan menolak membuat rekomendasi agar mahasiswi tersebut mendapat pembimbing baru. Peluang menjadi asisten dosen sama sekali ditutup.

Kini, sang gadis kehilangan semua kesempatan besar di depan mata karena berani menantang profesor yang memanfaatkan posisinya untuk melampiaskan nafsu seksual.

Peristiwa di atas merupakan cuplikan adegan serial televisi Hollywood yang saat ini masuk 10 tayangan terlaris. Cuplikan tersebut menggambarkan salah satu adegan kekerasan seksual yang menggunakan relasi kuasa untuk kepentingan pribadi.

Namun, siapa pun tahu, situasi serupa tidak hanya berupa potongan adegan film, tetapi terjadi di dunia nyata. Dulu, seorang budayawan diduga melakukan kekerasan seksual terhadap seorang mahasiswi dari satu universitas ternama di Jakarta.

 

 
Menyadari kekerasan seksual di kampus ternyata terjadi di banyak tempat, akhirnya beberapa mahasiswa tersebut mendirikan lembaga bernama HopeHelps yang berkomitmen membantu korban kekerasan seksual di perguruan tinggi.
 
 

 

Sayangnya, kemudian justru posisi sang mahasiswi yang terpojokkan, hingga akhirnya beberapa aktivis mahasiswa membuat sebuah gerakan untuk mengadili pelaku, lalu berkali-kali melakukan diskusi dan kampanye antikekerasan seksual di kampus tersebut.

Menyadari kekerasan seksual di kampus ternyata terjadi di banyak tempat, akhirnya beberapa mahasiswa tersebut mendirikan lembaga bernama HopeHelps yang berkomitmen membantu korban kekerasan seksual di perguruan tinggi.

Semangat memperjuangkan hak korban ternyata tidak cukup. Gerak mereka dibatasi aturan kampus yang belum melindungi korban.

Uniknya, ketika gerakan tersebut berjalan di Jakarta, beberapa mahasiswi dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan provinsi lain juga meminta dibela sebab mengalami kasus sama tetapi tidak tahu harus ke mana.

Beberapa pendiri HopeHelps memutuskan untuk mengembangkan HopeHelps Networks. Hingga saat tulisan ini dibuat, gerakan ini memiliki jaringan di 15 Kampus dan terus berkembang. Sekali pun akses sudah luas, mereka masih menghadapi banyak tantangan.

Aturan kampus yang berbeda, korban yang tidak jarang mendapat penghakiman, dan kendala lainnya. Padahal, untuk situasi demikian, seharusnya pemihakan lebih dulu diberikan kepada korban, bukan terduga pelaku.

Angin segar berembus ketika Mendikbudristek mengeluarkan Permendikbudristek Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Terlepas pro kontra, peraturan ini menjadi langkah awal untuk melindungi korban melalui sistem hukum Indonesia.

Keberadaannya juga menunjukkan kebesaran hati Mendikbudristek untuk mengakui adanya masalah kekerasan seksual di bawah jajarannya. 

 
Alih-alih menyembunyikan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungannya, seharusnya pihak perguruan tinggi menindaklanjuti kasus yang terjadi, menolong korban, menyelesaikan masalah, dan menghukum yang bersalah.
 
 

Bahkan, Mendikbudristek Nadiem Makarim mengungkapkan, terdapat 77 persen dosen yang mengakui tindak kekerasan seksual terjadi di lingkup perguruan tinggi. Sebanyak 63 persen di antaranya memilih tidak melaporkan meski mereka mengetahui.

Di masa lalu, fakta seperti ini sulit terungkap. Mengakui sebuah ketidakberesan internal tentu sesuatu yang seharusnya kita apresiasi. Sebab, tak sedikit pejabat memilih menyembunyikan keburukan dalam jajarannya demi citra dan nama baik.

Sementara, sang menteri, memilih untuk mengatasi masalah. Berharap sikap yang sama menjadi pilihan setiap kampus. 

Alih-alih menyembunyikan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungannya, seharusnya pihak perguruan tinggi menindaklanjuti kasus yang terjadi, menolong korban, menyelesaikan masalah, dan menghukum yang bersalah.

Bagian dari menjaga nama baik kampus dan mengharumkannya justru dengan upaya sungguh-sungguh membongkar dan menindak pelaku kekerasan seksual di kampus.

Sebaliknya, sikap yang dengan sengaja menyembunyikan kasus kekerasan seksual, memilih bersikap diam, apalagi melindungi pelaku, justru mencemari reputasi baik yang selama ini dibangun dan dijaga.  

Ciptakan ruang aman dan nyaman bagi semua, antara lain, dengan melawan serta tak memberikan tempat bagi pelaku kekerasan seksual dan memberikan akses keadilan serta pemulihan bagi korban. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat