Azyumardi Azra | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Riset dan Inovasi: Asesmen BRIN

BRIN menjadi ‘super body’ atau dalam istilah Najib Burhani dkk

Oleh AZYUMARDI AZRA

OLEH AZYUMARDI AZRA

Sebelum bicara tentang banyak masalah dan riset serta inovasi untuk memajukan Indonesia, penting adanya asesmen kritis tentang Badang Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Badan baru ini diharapkan dapat memajukan riset dan inovasi Indonesia sejak dari tingkat nasional sampai lokal, dengan melintasi batas kementerian dan lembaga pemerintah lainnya.

Uraian relatif lengkap, tapi ringkas tentang proses kelahiran BRIN diberikan A Najib Burhani, Lilis Mulyani, dan Cahyo Pamungkas dalam The National Research and Innovation Agency (BRIN: A New Arrangement for Research in Indonesia (ISEAS: Yusof Ishak Institute, 18: [November?] 2021).

Briefing ini menjelaskan singkat perkembangan riset sejak pascakemerdekaan menuju pembentukan BRIN. BRIN dibentuk berdasarkan Perpres No 33 Tahun 2021 tentang BRIN tanggal 28 April 2021.

Perpres ini kemudian diperbaiki Perpres No 78 tanggal 24 Oktober 2021 yang menegaskan tentang riset dan inovasi nasional berhaluan ideologi Pancasila. Perpres tentang BRIN ini berlandaskan UU No 11 Tahun 2019 tentang Sisnas-Iptek.

 
BRIN menjadi ‘super body’ atau dalam istilah Najib Burhani dkk "super-government agency with overarching rule"—badan super pemerintah dengan jangkauan dan cakupan kekuasaan luas.
 
 

Berdasarkan Perpres 33 Tahun 2021 empat LPNK (LIPI, BPPT, BATAN, dan LAPAN) diintegrasikan atau dilebur ke dalam BRIN menjadi Organisasi Riset (OR).

Integrasi melalui likuidasi LPNK itu berdasarkan pemahaman Pasal 48 kata ‘integrasi’ dalam UU No 11/2019 (…mengintegrasikan kegiatan litbang jirap…)—penelitian pengembangan pengkajian penerapan.

BRIN tidak hanya mengintegrasi seluruh LPNK, tetapi juga 228 Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian atau Lembaga (K/L) milik pemerintah, 329 Balitbang non-K/L, dan 34 BRIDA (daerah).

BRIN menjadi ‘super body’ atau dalam istilah Najib Burhani dkk "super-government agency with overarching rule"—badan super pemerintah dengan jangkauan dan cakupan kekuasaan luas.

Pembubaran empat LPNK adalah tragedi sejarah dan riset saintek karena masing-masing pernah memainkan peran historis penting.

LIPI sudah eksis sejak zaman Belanda, 1928 dan dikuatkan Keppres 128, 23/8/1967 dan Keppres 25/1978; BATAN Keputusan Pemerintah 5/12/1958; BPPT Keputusan Pemerintah 28/1/1974; LAPAN, Keppres 31/5/1962.

 
Sejak dibentuk beserta likuidasi keempat LPNK ke dalamnya, skema struktur BRIN terlihat kompleks dan rumit—tidak mengisyaratkan kelincahan.
 
 

Kemenristek yang juga dibubarkan berdiri sejak 1962. Ristek dimasukkan ke Ditjen Dikti—karena riset dikaitkan dengan perguruan tinggi. Padahal, Ditjen Dikti atau Kemendikbud keseluruhan sudah kedodoran karena menghadapi banyak masalah yang berlipat ganda karena pandemi Covid-19.

Jika BRIN selesai menggabungkan seluruh balitbang di berbagai instansi dan pembentukan BRIDA, bisa dipastikan ia ibarat ‘gajah kegemukan’ yang bisa sangat susah bergerak.

Menjadi tanda tanya besar, apakah Presiden Jokowi yang bertanggung jawab membentuk BRIN dalam sisa masa pemerintahannya yang kurang dari tiga tahun lagi, sempat menyaksikan selesainya konsolidasi BRIN?

Sejak dibentuk beserta likuidasi keempat LPNK ke dalamnya, skema struktur BRIN terlihat kompleks dan rumit—tidak mengisyaratkan kelincahan.

Sementara OR-OR pengganti LPKN dipimpin pelaksana tugas (Plt) dengan memiliki wewenang terbatas belum fungsional, ketika itu pula BRIN dapat menjadi ‘malapetaka’ riset dan inovasi Indonesia sekarang dan ke depan.

Kemunculan BRIN terkait sejumlah faktor. Pertama, awalnya dalam beberapa kali kesempatan sejak akhir 2019, Presiden Jokowi mengkritik anggaran riset nasional yang terpencar di berbagai lembaga dan kementerian yang jumlahnya beragam sekitar Rp 26 triliun (‘hanya sekitar 0,26 persen Pendapan Domestik Bruto (PDB) Indonesia, yang jauh lebih kecil dibandingkan banyak negara lain).

Menurut Jokowi, tidak banyak hasilnya itu untuk kemajuan riset dan inovasi karena itu ia ingin membangun ‘rumah besar’ penelitian dan inovasi—yang kemudian bernama BRIN.

Terkait faktor ini, ada faktor lain yaitu, sekitar 40 persen anggaran penelitian habis untuk biaya operasional. Sisanya, untuk riset yang kebanyakan berupa penelitian rutin kepangkatan peneliti dan pegawai.

 
Faktor lain yang sering juga disebut terkait persaingan atau rivalitas di antara lembaga penelitian (LPNK dan litbang K/L). Kemenristek dulu tampak tidak berhasil melakukan koordinasi dan sinergi di antara mereka.
 
 

Sedikit sekali anggaran untuk riset murni untuk kemajuan, invensi, dan inovasi. Keadaan yang sama juga terjadi dalam penganggaran dan realisasi penelitian di perguruan tinggi.

Faktor lain yang sering juga disebut terkait persaingan atau rivalitas di antara lembaga penelitian (LPNK dan litbang K/L). Kemenristek dulu tampak tidak berhasil melakukan koordinasi dan sinergi di antara mereka.

Rivalitas ini, masuk ke kancah politik yang memperkuat momentum ke arah kelahiran BRIN. Pada 18 Maret 2018, Delegasi Forum Nasional Profesor Riset (FNPR) yang umumnya dari LIPI bertemu Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri.

Mereka menyampaikan kebutuhan mendesak bagi reformasi pengelolaan riset dan teknologi dan poin lain terkait RUU Sisnas-Iptek, yang sedang dibahas kalangan DPR dan publik. Tidak aneh kalau BRIN eksis sebagai lokus politisasi dan ideologisasi.

Ketua Dewan Pengarah BRIN adalah ketua umum PDIP dengan anggota beberapa menteri, anggota bukan peneliti, dan sedikit peneliti.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat