Presiden Jokowi melakukan kunjungan luar negeri perdananya di masa pandemi Covid-19 dengan menggunakan pesawat Garuda Indonesia. | Laily Rachev - Biro Pers Sekretariat Presiden

Kabar Utama

Jokowi Mulai Kunjungan Perdana ke Luar Negeri

Untuk pertama kalinya sejak pandemi Covid-19, Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan ke tiga negara.

JAKARTA -- Untuk pertama kalinya sejak pandemi Covid-19 melanda dunia, Presiden Joko Widodo bertolak melakukan kunjungan ke luar negeri. Tiga negara sekaligus akan dikunjungi dalam rangkaian kali ini.

Presiden akan memulai kunjungan kerjanya ke tiga negara pada Jumat (29/10). Ia diagendakan mengunjungi Italia, Inggris Raya, dan juga Uni Emirat Arab. Jokowi menjelaskan, dua kunjungan pertamanya yakni untuk berpartisipasi pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Roma, Italia pada 30-31 Oktober 2021 dan KTT Pemimpin Dunia COP-26 di Glasgow, Skotlandia pada 1-2 November 2021.

“Selain hadir dalam acara utama G-20, saya juga telah diminta untuk berbicara dalam side event mengenai usaha mikro, usaha kecil, UMKM, dan peran perempuan,” kata Jokowi dalam konferensi pers yang disiarkan Jumat (29/10).

"Di akhir KTT, Indonesia akan menerima keketuaan Presidensi G-20 dari Italia 1 Desember 2021 hingga 30 November 2022,” kata Jokowi. Penyerahan keketuaan Indonesia merupakan kehormatan bagi Indonesia dan sekaligus tanggung jawab besar yang harus dijalankan dengan baik.

Selanjutnya, Presiden akan kunjungan kerja ke Glasgow untuk menghadiri KTT Perubahan Iklim COP-26 pada 1-2 November 2021. KTT ini akan dipimpin langsung oleh PM Inggris Boris Johnson dan bakal dihadiri sekitar 120 kepala negara dan kepala pemerintahan. 

“Beberapa hari yang lalu, PM Boris Johnson juga sudah menelepon saya guna membahas persiapan COP-26 ini,” ujar Jokowi.

Indonesia, ungkap Jokowi, memiliki peran sangat penting dan strategis dalam isu perubahan iklim. Sebab, Indonesia merupakan salah satu pemilik hutan tropis dan hutan mangrove terbesar di dunia.

Jokowi pun menegaskan posisi Indonesia untuk isu perubahan iklim sangat konsisten. “Sudah menjadi komitmen Indonesia untuk menjadi bagian solusi. Isu perubahan iklim harus terus diletakkan dalam kerangka pencapaian target SDGs sehingga hasilnya akan dapat berkelanjutan,” kata Jokowi. 

Rencananya, Presiden juga akan mengunjungi paviliun Indonesia. Di sana akan ditunjukkan berbagai capaian dan peluang kerja sama penanganan perubahan iklim. Dalam pertemuan COP-26 ini, Presiden juga akan melakukan sejumlah pertemuan bilateral serta bertemu para pimpinan di dunia bisnis dari Inggris yang berencana berinvestasi di Indonesia. 

Setelah kunjungan dari Glasgow, Presiden kemudian melanjutkan ke Uni Emirat Arab pada 3-4 November 2021. Selain bertemu putra mahkota dan para pemimpin Dubai, dalam kunjungan ini Jokowi juga berencana memperkuat kerja sama terutama di bidang perdagangan dan investasi. “Ini adalah kunjungan bilateral pertama saya di masa pandemi,” ungkapnya.

Dalam penerbangan menuju Roma, Italia, Presiden turut didampingi oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri BUMN Erick Thohir, dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung.

photo
Presiden Jokowi melakukan kunjungan luar negeri perdananya di masa pandemi Covid-19 dengan menggunakan pesawat Garuda. Pemilihan pesawat Garuda dalam kunjungan ke Italia, Inggris Raya, dan Uni Emirat Arab ini didasarkan pertimbangan keamanan maupun efisiensi. - (Istimewa)

Dalam kunjungan mancanegara kali ini, Presiden Jokowi akan menggunakan pesawat maskapai Garuda Indonesia. Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono menjelaskan pemilihan pesawat maskapai nasional ini telah dipertimbangkan secara matang, seperti pertimbangan efisiensi waktu, penghematan anggaran, dan juga protokol kesehatan.

“Dan ingat, ini adalah kunjungan kerja pertama Bapak Presiden ke luar negeri di masa pandemi. Kami harus sangat berhati-hati dalam menjalankan protokol kesehatan, termasuk pertemuan tatap muka di saat transit," kata Heru.

Di antara tiga kunjungan tersebut, KTT Pemimpin Dunia COP-26 di Glasgow akan jadi salah satu yang paling disorot. Para pemimpin dunia diharapkan menyepakati gerakan signifikan untuk menangani perubahan iklim dan pemanasan global yang belakangan menimbulkan rerupa bencana hidrometeorologi.

Merujuk the Guardian, Presiden Amerika Serikat Joe Biden menjanjikan tindakan serius guna menangkal perubahan yang bakal mengancam “keberadaan umat manusia”.

Manajer Kampanye Keadilan Iklim pada Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Yuyun Harmono mengatakan, setidaknya ada tiga isu yang harus diusung Jokowi dalam pertemuan pada 1-2 November 2021 itu. Dia yakin, Jokowi bakal berhasil membawa tiga isu itu karena Indonesia punya rekam jejak mentereng dalam politik internasional.

Pertama, Jokowi harus membahas dan mengupayakan tercapainya kesepakatan terkait kompensasi atas kerusakan akibat krisis iklim. Kesepakatan tersebut setidaknya mencakup soal skema dan sumber pendanaan kompensasi.

Yuyun menjelaskan, hal ini menjadi penting karena dampak krisis iklim sudah dirasakan langsung masyarakat. Salah satu contohnya adalah Siklon Seroja yang melanda Provinsi NTT dan NTB awal tahun ini. Bencana itu merenggut 60 nyawa lebih dan merusak ribuan rumah.

"Kalau dikalkulasikan fasilitas publik dan pribadi yang rusak, itu kerugiannya bisa triliunan rupiah. Nah, ini kan kerugian akibat krisis iklim dan seharusnya ada yang bertanggung jawab memberikan kompensasi atas kerugian tersebut," ungkap Yuyun kepada Republika, Jumat (29/10).

Yuyun meminta pihak yang membayar kompensasi itu adalah semua negara yang berkontribusi atas krisis iklim. Skema yang bisa digunakan dengan menghitung emisi kumulatif historis setiap negara sejak awal mula penggunaan energi fosil, tepatnya sejak Revolusi Industri pada pertengahan abad 18.

Adapun penghitungan emisi Indonesia tentu baru bisa dihitung sejak 1945 karena periode sebelumnya merupakan tanggung jawab Belanda. "Emisi kumulatif historis tiap negara itu kan kelihatan persen persennya. Jadi tinggal dikalkulasikan saja. Dari situ mereka harus mengumpulkan pendanaan untuk mengkompensasi si korban akibat bencana iklim ini," ungkap Yuyun.

Skema kompensasi demikian, ujar Yuyun, tak hanya penting bagi Indonesia, tapi juga bagi negara berkembang maupun negara miskin lainnya. Sebab, negara miskin berkontribusi kecil atas krisis iklim, tapi mereka mendapat bencana yang jauh lebih besar.

Padahal, yang kontributor besar atas krisis iklim adalah negara maju dan korporasi besar. "Coba bayangkan, satu benua Afrika itu kontribusinya hanya dua persen terhadap emisi global, tapi dia yang paling terdampak krisis iklim seperti kekeringan. Begitu pula Indonesia," ujarnya.

Kedua, Walhi meminta Jokowi menolak perdagangan karbon. Indonesia sudah melakukan perdagangan karbon dalam beberapa tahun terakhir.

Secara sederhana, perdagangan karbon adalah praktik jual beli kredit karbon. Satu unit kredit karbon biasanya setara dengan penurunan emisi karbon dioksida sebanyak satu ton.

Penjualnya adalah negara berkembang yang memiliki hutan luas yang berfungsi sebagai penyerap karbon dioksida. Pembeli kredit karbon biasanya negara maju atau perusahaan yang menghasilkan emisi karbon melewati ambang batas.

Menurut Yuyun, perdagangan karbon, terutama yang berbasis mekanisme pasar, harus ditolak karena praktik itu sama saja dengan mengalihkan tanggung jawab para pencemar (polluters) atas emisi karbonnya. Sebab, perusahaan/negara tak akan mengurangi emisi karbonnya selama mereka sanggup membeli kredit karbon. Dengan begitu, berarti emisi global akan tetap bertahan di angka yang persis sama.

"Alih-alih mentransformasi bisnisnya (menjadi rendah emisi), mereka justru mengelak dari tanggung jawab itu melalui skema perdagangan karbon," kata Yuyun.

Selain mengalihkan tanggung jawab polluters, ujar dia, perdagangan karbon juga mengancam hak hidup dan hak atas tanah masyarakat adat ataupun masyarakat lokal yang tinggal dekat hutan. Sebab, negara bisa saja mengonversi satu area hutan menjadi kredit karbon lalu menjualnya. Area tersebut tentu tidak bisa lagi diakses masyarakat sekitar.

Bukan tidak mungkin, kata dia, area yang dijadikan kredit karbon itu adalah hutan masyarakat adat. Padahal, masih banyak hutan adat yang belum diakui negara hingga sekarang.

"Hal ini dikenal dengan green grabbing atau perampasan tanah atas nama perubahan iklim," ujar Yuyun.

Ketiga, Walhi meminta Jokowi membahas perubahan iklim dengan berbasiskan pada hak-hak dasar masyarakat. Misalnya, hak atas lingkungan yang bersih dan sehat serta hak aman dari bencana.

"Jangan dianggap ini hanya negosiasi elite, tetapi harus didorong dengan perspektif hak rakyat. Dengan begitu, yang mendapat keuntungan dari pertemuan ini adalah rakyat seluruh dunia, bukannya korporasi atau polluters," ujar Yuyun.

Menurut Yuyun, Presiden Jokowi akan bisa membawa tiga isu itu dan menghasilkan kesepakatan antarnegara peserta. Sebab, Indonesia tercatat pernah berhasil mengonsolidasikan sekaligus memimpin Gerakan Non Blok. "Kita punya sejarah seperti itu dan negara lain pasti melihat hal tersebut," ujarnya.

Hanya saja, Jokowi dalam konferensi ini harus menjadi pemimpin, alih-alih menjadi pengekor. Jokowi harus menjadi pemimpin bagi negara-negara berkembang dan miskin dalam menghadapi negara maju.

Jangan sampai, katanya, Indonesia membebek kepada kepentingan negara maju. "Jokowi harus jadi pemimpin bagi negara kecil dan negara berkembang lainnya, yang kontribusinya terhadap perubahan iklim itu kecil, tapi dampak yang mereka alami sangat besar," kata Yuyun menegaskan.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat