Abdul Rachman Thaha, Anggota DPD RI | Dokpri

Opini

"Teori" Teroris ala Susaningtyas 

"Teori" Susaningtyas sebagai stigmatisasi error lagi keruh.

OLEH ABDUL RACHMAN THAHA (ART)

 

Anggota Komite I DPD RI, Aktivis HMI Makassar

 

Pengamat intelijen, Susaningtyas Kertopati, menyebut sejumlah ciri-ciri teroris. Tulisan ringkas ini memuat sanggahan terhadap masing-masing ciri yang diutarakan Susaningtyas itu.

Pertama, teroris tidak menyanyikan lagu kebangsaan. 

Survei di Amerika Serikat menyimpulkan, 2 dari 3 warga negeri Paman Sam tidak hapal lagu The Star-Spangled Banner. Tapi apakah itu berarti bahwa mayoritas warga Amerika adalah teroris dan kader teroris? Tentu tidak. 

Faktanya, banyak warga di sana yang menentang segala bentuk perang dan intervensi militer Amerika Serikat di negara asing. Justru karena yang melakukan invasi adalah militer Amerika, dan personel militer diasumsikan hapal lagu kebangsaan mereka, maka justru orang-orang yang hapal lagu kebangsaan adalah para pelaku state terrorism dan penjajah. Tentu ini simpulan ngawur yang bisa dibangun kalau opini ngawur ala Susaningtyas dijadikan acuan berpikir.

Kedua, teroris tidak hapal nama-nama partai politik. 

Direktur Politik Dalam Negeri Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri mengatakan, angka partisipasi pemilih pada Pemilu 2019, hanya sebesar 81,93 persen. Kemudian, pada Pilkada 2020 hanya 76,09 persen. Bahkan bukan hanya tingkat partisipasi masyarakat dalam Pemilu yang terus anjlok. Animo untuk mengawasi Pemilu pun, menurut pengamat politik Ahmad Taufan Damanik, mengalami penurunan. 

Indikator Politik Indonesia menemukan, kurang dari 50 persen warga yang percaya pada partai politik. Mengapa masyarakat Indonesia semakin tak bergairah dengan perpolitikan nasional? Merujuk riset UGM, penyebabnya adalah sosialisasi politik yang majal, institusi politik yang porak-poranda, dan betapa masyarakat merasa bahwa kepentingan-kepentingan mereka tidak diperjuangkan oleh parpol.

Jadi bisa dipahami, ketimbang menafsirkan tidak hapal nama parpol sebagai ciri teroris, hilangnya parpol dari ingatan kolektif masyarakat adalah buah dari centang-perenangnya eksistensi serta kerja parpol selaku representasi masyarakat. Celakanya, ketika publik menemukan media-media baru sebagai kanal aspirasi dan kepentingan politik mereka, yaitu media sosial dan mural misalnya, sebagian pihak justru melakukan pembungkaman, antara lain lewat upaya kriminalisasi, terhadap anggota masyarakat yang kritis terhadap rezim. 

Pada sisi itulah Susaningtyas, selaku politisi yang acap bergonta-ganti seragam parpol, patut mawas diri. Apa yang ia dan parpolnya kerjakan selama ini sampai-sampai dilupakan oleh masyarakat, sebagaimana anggapannya sendiri? Jangan-jangan tak lebih dari sekedar membangun istana oligarki yang di dalamnya para elit asyik dengan diri mereka sendiri dan membiarkan masyarakat gigit jari.

Ketiga, teroris memakai bahasa Arab. 

Belum lama ini Pemerintah melalui Menkopolhukam menetapkan Kelompok Kriminal Bersenjata di Papua sebagai teroris. Namun sungguh bodoh jika kemudian dikatakan bahwa orang-orang yang berbahasa Papua adalah kaum teroris. Masyarakat Papua secara luas adalah masyarakat yang damai dengan sesama manusia dan dengan alam.

Juga tidak mungkin sekolah-sekolah berhenti mengajarkan lagu-lagu berbahasa daerah, termasuk Apuse. Lagu asli Papua ini memakai bahasa Papua. Tapi liriknya justru berkisah tentang keindahan budi pekerti anak Papua kepada kakek dan neneknya. Bukan tentang terorisme.

Sekarang, bagaimana dengan masyarakat kita yang berbahasa Inggris? Walau Inggris tercatat dalam sejarah sebagai negara yang mempraktikkan imperialisme dan kolonialisme, namun adalah picik untuk menyebut orang-orang berbahasa Inggris adalah manusia berjiwa penjajah.

Setali tiga uang, kini tidak sedikit sekolah yang intens mengajarkan bahasa Cina. RRC adalah negara komunis. Tapi tidak bisa serta-merta dikatakan bahwa sekolah dengan mata pelajaran bahasa Cina sama artinya dengan lembaga pendidikan yang mengajari para siswa mereka menjadi komunis.

Dari semua argumentasi dangkal yang dikemukakan Susaningtyas, saya khawatir bahwa analisisnya berangkat dari perasaan mindernya selaku pribadi dengan segala identitas yang ia sandang. Semoga pernyataan Susaningtyas tentang ciri-ciri teroris bukanlah hasil kajian pesanan yang, alih-alih untuk perkembangan ilmu pengetahuan, nantinya dipakai sebagai "justifikasi (seolah-olah) akademis" untuk menggebuk kalangan dengan ciri-ciri yang sama seperti yang Susaningtyas sampaikan di ruang publik.

Saya ingin menyebut "teori" Susaningtyas sebagai stigmatisasi error lagi keruh. Error karena bertitik tolak dari proses berpikir yang oversimplistis. Keruh karena boleh jadi mencerminkan suasana batin yang terselip di dalamnya sentimen negatif terhadap kalangan tertentu. SARA-kah itu? Nuansa kebenciankah? Mudah-mudahan tidak demikian.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat