Shukri Olow, seorang Muslimah yang mencalonkan diri sebagai King County Council District 5 melakukan shalat di Islamic Center of Kent, Seattle, Jumat (13/8/2021). Muslim di AS kerap dilecehkan dan diejek dengan sebutan 'teroris' sebagai imbas serangan WTC | (AP Photo/Karen Ducey)

Kisah Mancanegara

Shams: Aku Dipanggil ‘Teroris’

Shams kerap dilecehkan dan diejek dengan sebutan 'teroris' sebagai imbas serangan WTC 2001.

OLEH KAMRAN DIKARMA

Ingatan Shahana Hanif masih jernih saat diminta mengungkap pengalamannya. Saat itu, dua pekan setelah serangan teror ke gedung World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat pada 9 September 2001.

Hanif, kala itu sedang berjalan ke masjid di sekitar rumah mereka di Brooklyn, New York, AS. Mereka ingin menunaikan salat. Namun, sebuah mobil tiba-tiba menepi dan menghampiri Hanif serta adiknya. Kaca pengemudi diturunkan. Sang sopir meludah, lalu meneriaki Hanif dan adiknya "teroris".

Kala itu, Hanif dan adiknya seketika disergap rasa takut. Mereka membatalkan perjalanan ke masjid dan berlari pulang. Menjelang 20 tahun peringatan serangan gedung WTC, Hanif masih dapat merasakan kengerian sekaligus kebingungannya kala itu.

Dia heran mengapa ada orang-orang yang memandangnya sebagai ancaman. Padahal pada 2001, ia hanya anak berusia 10 tahun. "Itu (teroris) bukan kata yang bagus dan baik. Artinya kekerasan, artinya berbahaya. Itu dimaksudkan mengejutkan siapa pun yang menerimanya," ucap Hanif, dalam kisah yang dipaparkan Associated Press, Selasa (7/9).

Hanif tak seorang diri. Sebuah jajak pendapat oleh Associated Press-NORC Center for Public Affairs Research yang dilakukan menjelang peringatan 20 tahun 9/11, menemukan, 53 persen orang Amerika memiliki pandangan tak baik terhadap Islam. Sementara 42 persen lainnya berpandangan sebaliknya.

Ilmuwan politik di Christopher Newport University, Youssef Chouhoud, mengatakan, karena terbiasa diabaikan atau dibidik, komunitas Muslim yang luas dan beragam di AS menjadi sorotan.

"Perasaan tentang siapa Anda menjadi lebih terbentuk, bukan hanya Muslim tapi Muslim Amerika. Apa yang membedakan Anda sebagai seorang Muslim Amerika? Bisakah Anda sepenuhnya menjadi keduanya, atau Anda harus memilih? Ada banyak pergulatan dengan apa artinya itu," kata Chouhoud.

Guna mengikis stereotip yang disematkan pada Muslim di AS pasca-insiden 9/11, Mansoor Shams (39 tahun) memutuskan melakukan perjalanan ke berbagai wilayah di Amerika. Dalan perjalanannya, dia membawa tanda bertuliskan "Saya Muslim dan juga Marinir AS. Silakan bertanya apa saja".

Saat berdinas di Marinir AS pada 2000-2004, Shams turut terimbas peristiwa 9/11. Rekan-rekannya di kesatuan kerap melecehkan dan mengejeknya dengan sebutan "teroris", "Taliban", serta "Usamah bin Ladin". Pengalaman itu pula yang mendorongnya melakukan perjalanan melintasi AS.

photo
Foto-foto koleksi Mansoor Shams saat mengabdi pada US Marines sepanjang 2000-2004 di kediamannya di Baltimore, Jumat (13/8/2021). - (AP Photo/Jessie Wardarski)

Selain mengikis streotip, Shams ingin mengajari orang lain tentang Islam dan melawan kebencian lewat dialog. Salah satu interaksi paling berkesan terjadi saat dia mengunjungi Liberty University di Virginia pada 2019. Kala itu, Shams berdialog dengan para mahasiswa lembaga Kristen. "Ada rasa saling mencintai dan menghormati," ucapnya.

Berbeda dengan Shams, tak lama setelah 9/11, Ahmed Ali Akbar (33 tahun) dan beberapa orang dewasa di lingkungannya menggelar pertemuan di sekolahnya di Saginaw, Michigan. Dia dan siswa berbicara tentang Islam dan Muslim.

Akbar ingat, ada beberapa pertanyaan yang membuatnya bingung. Seperti menanyakan keberadaan Usama bin Ladin dan motif di balik serangan 9/11. "Bagaimana saya bisa tahu di mana Usama bin Ladin berada? Saya anak Amerika," ujar Akbar.

Kala itu, Akbar berpikir, ada orang-orang yang tak siap mendengarkan. Ia akhirnya memilih bercerita tentang Muslim Amerika di Podcast-nya, See Something Say Something. "Ada banyak humor dalam pengalaman Muslim Amerika juga. Ini bukan hanya kesedihan dan reaksi terhadap kekerasan serta rasialisme dan Islamofobia," kata Akbar tentang konten Podcast-nya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat