Penyidik KPK menunjukkan barang bukti uang tunai saat konferensi pers terkait Operasi Tangkap Tangan (OTT) tindak pidana korupsi pada program bantuan sosial di Kemensos untuk penanganan Covid-19 di Gedung KPK, Jakarta, Ahad (6/12/2020) dini hari. Sepanjan | Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO

Nasional

ICW: Korupsi Sepanjang 2020 Rugikan Negara Rp 18,6 Triliun

Kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp 18,6 triliun dengan jumlah tersangka 875 orang.

JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, terdapat penindakan 444 kasus korupsi sepanjang 2020. Dari ratusan kasus tersebut, kerugian negara mencapai Rp 18,6 triliun dengan jumlah tersangka sebanyak 875 orang. 

"Paling tidak ada 444 kasus korupsi yang ditindak oleh penegak hukum sepanjang tahun 2020 dengan tersangkanya 875 orang, kerugian negara sekitar Rp 18,6 triliun," ujar Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Siti Juliantari dalam diskusi publik secara daring, Ahad (15/8). 

Selain itu, terdapat kasus suap senilai Rp 86,5 miliar dan pungutan liar senilai Rp 5,2 miliar. Aparat penegak hukum menindak sebagian besar kasus korupsi tersebut dengan menggunakan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). 

Pasal 2 menjerat setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain/korporasi yang dapat merugikan keuangan negara. Sementara, Pasal 3 menjerat setiap orang yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara. 

"Pasal 2 dan 3 ini secara jelas di pasal ini disebutkan bahwa perbuatannya itu memperkaya atau menguntungkan diri sendiri. Jadi, di situ ada kepentingan pribadi maupun kelompoknya," ujar Juliantari.

Di pasal-pasal lainnya pada UU Tipikor pun menyiratkan adanya konflik kepentingan pada tindakan korupsi. Menurut Juliantari, tindakan korupsi selalu membutuhkan konflik kepentingan, meskipun konflik kepentingan tidak selalu menyebabkan korupsi. 

Dia menjelaskan, konflik kepentingan berujung pada korupsi jika tidak dikelola. Konflik kepentingan perlu dikelola secara transparan dan akuntabel agar publik dapat mengawasi para pejabat dan memastikan segala kebijakan dikeluarkan demi kepentingan rakyat, bukan kepentingan dirinya maupun kelompoknya. 

Sebab, kepentingan pribadi mempengaruhi, mendominasi, bahkan menyingkirkan kepentingan publik. Para pejabat dapat menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangannya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. 

"Bagaimana kemudian dia terlihat lebih loyal terhadap partai politiknya, mendukung partai politiknya, dianggap setia dengan partai politik atau bahkan dianggap membantu teman untuk memenangkan atau untuk kemenangan dalam kongres-kongres partai politik itu," kata Juliantari. 

Pada masa pandemi Covid-19 ini, ICW mengkritisi beberapa kebijakan yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Pertama, kartu prakerja dengan adanya staf khusus presiden yang memiliki kegiatan usaha terlibat dalam program itu.

Selain itu, kondisi pandemi Covid-19 membuat proses pengadaan barang/jasa harus cepat. Proses pemilihan seperti tender yang tidak dilalui karena situasi darurat justru dimanfaatkan sejumlah pihak dengan tidak adanya keterbukaan proses pemilihan vendor atau perusahaan kepada publik. 

Rekrutmen pejabat

Sementara, mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laode Muhammad Syarif, mengatakan, dalam proses rekrutmen pejabat negara tak ada penyaringan konflik kepentingan. Bahkan, negara memfasilitasi hal-hal yang tidak masuk akal, seperti kepala auditor keuangan negara diberikan jabatan lain di pemerintahan.

"Kepala auditor negara tapi juga mendapatkan gaji dari yang menjadi objek audit, auditeenya," ujar Laode dalam diskusi publik secara daring, Ahad (15/8).

Hal ini merujuk kepada penunjukan Kepala Badan Pengawas Keuangan (BPKP) Muhammad Yusuf Ateh sebagai komisaris Bank Mandiri. Sebelum menjabat komisaris Bank Mandiri, Yusuf Ateh disebut telah diberhentikan dahulu dari komisaris PT PLN.

Laode mengeklaim, dahulu proses dan syarat seleksi komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) cukup berat. Konflik kepentingan calon komisioner KPK disaring sejak awal, seperti bukan pengurus partai politik, dan tidak boleh merangkap jabatan.

Sementara, kata dia, penyaringan konflik kepentingan dalam rekrutmen pejabat publik lainnnya tidak ketat. Bahkan, rekrutmen hakim ad hoc di Mahkamah Agung dapat berasal dari pengurus partai politik.

"Rekrutmen pejabat publik kita sangat-sangat tidak, ya masih jauh lah, bahkan negara itu tadi memfasilitasi sesuatu yang menurut saya tidak masuk akal," kata Laode.

Dia juga menyinggung konflik kepentingan yang tinggi di DPR. Dari 575 anggota DPR periode 2019-2024, sebanyak 262 legislator ialah seorang pebisnis.

Loade menuturkan, konflik kepentingan itu berimbas pada regulasi yang dihasilkan atau disepakati. Revisi Undang-Undang (UU) yang dipaksakan dan disahkan dalam kurun waktu cukup singkat, seperti UU KPK hanya dua pekan, UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) hanya empat pekan, serta UU Cipta Kerja dibuat demi kepentingan kelompoknya/pengusaha.

Bahkan, menurut Laode, pemerintah memfasilitasi penyelewengan uang negara dengan kebijakan atau regulasi agar seolah-olah pelanggaran itu ilegal dan membiarkan kejahatan terjadi di depan mata. Dalam konteks UU Minerba, mereka mendapatkan keuntungan pribadi dari perusakan lingkungan dan sumber daya alam.

"Lihat kenyataan Indonesia, baik eksekutif, legislatif, yang dipenuhi oleh pengusaha, lihat saja hitung dari yang tertinggi, presiden, ketua MPR, menteri-menteri, anggota DPR," kata Laode.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat