pasukan Uni Afrika. (ilustrasi) | AP

Opini

Ironi Uni Afrika

Indonesia bisa menyuarakan keberatan negara OKI-Afrika soal status Israel sebagai pengamat di UA.

AM SIDQI; Diplomat di KBRI Riyadh Arab Saudi

Sebuah ironi yang mengejutkan muncul dari Uni Afrika (UA). Organisasi regional berbasis di Addis Ababa ini memberikan status pengamat (observer) kepada Israel pada 22 Juli 2021, yang mengakhiri dua dekade boikot diplomatik UA terhadap Israel.

Menlu Israel mengatakan, pemberian status pengamat UA adalah hari perayaan hubungan Israel-Afrika. Sontak keputusan Komisi UA ini ditolak ramai-ramai Afrika Selatan, Namibia, Aljazair, Botswana, dan belasan negara lainnya menuduh Komisi UA mengambil keputusan sepihak.  

Pemberian status Israel di UA tidak dapat diterima karena cacat prosedur dan bertentangan dengan Piagam UA—organisasi bangsa-bangsa Afrika yang lahir dari perjuangan melawan perbudakan, penjajahan, dan apartheid.

Ironisnya pada KTT ke-34, Februari 2021, UA menerbitkan resolusi dukungan kemerdekaan Palestina. Presiden Palestina merupakan kepala negara nonanggota yang sering menghadiri KTT UA dan menyerukan negara Afrika setia pada perjuangan Palestina dan memboikot Israel.

 
Pemberian status Israel di UA tidak dapat diterima karena cacat prosedur dan bertentangan dengan Piagam UA—organisasi bangsa-bangsa Afrika yang lahir dari perjuangan melawan perbudakan, penjajahan, dan apartheid.
 
 

Ketika terjadi agresi Israel terhadap Palestina, Mei 2021, ketua Komisi UA mengutuk Israel dan menegaskan dukungan untuk kemerdekaan Palestina. Namun dua bulan kemudian, organisasi yang sama malah memberikan status pengamat kepada Israel.

Bagaimana ironi ini terjadi? Apakah memengaruhi perjuangan kemerdekaan Palestina?

Aliansi pinggiran

Secara geostrategis, Israel memiliki kepentingan keamanan dan ekonomi di Tanduk Afrika sebagai pintu masuk ke Israel di Laut Merah, sumber bahan baku industri, dan pasar produk Israel. Namun yang tak kalah penting, politik pengakuan menjadi tujuan utama Israel di Afrika.

Capaian Israel tak dalam semalam sebab Afrika menjadi fokus kebijakan luar negeri sejak Israel berdiri. Pada 1950-1960-an, Israel mencetuskan “Aliansi Pinggiran” (Alliance of the Periphery), yaitu doktrin merangkul negara Muslim non-Arab.

Israel getol mendekati, antara lain Iran, Turki, Kurdi-Irak, juga Indonesia. Israel bahkan bermaksud membuka kedutaan di Jakarta pada 1950, tetapi ditanggapi dingin oleh Hatta (wakil presiden/menlu). Direspons dingin di Asia,  Aliansi Pinggiran justru disambut antusias Afrika.

 
Hasilnya tak main-main. Kini, Israel memiliki hubungan diplomatik dengan 43 negara dari 55 negara di Afrika atau 78 persen dan membuka 14 kantor kedutaan di Benua Afrika, termasuk di Addis Ababa, tempat markas UA berada.
 
 

Namun, saat konflik Israel-Arab berkecamuk, Israel dianggap kekuatan penjajah di Sinai (Mesir) dan Golan (Suriah). Poros Israel-Afrika runtuh. Sebagai PM Israel terlama (2009-2021), Benjamin Netanyahu sering ke negara Afrika demi membangun kembali poros Israel-Afrika.

Hasilnya tak main-main. Kini, Israel memiliki hubungan diplomatik dengan 43 negara dari 55 negara di Afrika atau 78 persen dan membuka 14 kantor kedutaan di Benua Afrika, termasuk di Addis Ababa, tempat markas UA berada.

Pembukaan hubungan diplomatik Israel dengan Sudan dan Maroko (2020) serta mendapatkan status observer di UA (2021) menjadi gong keberhasilan penjangkauan Israel ke Afrika.

Organisasi identik

UA dan OKI organisasi identik yang  hampir setengah (27 dari 57 negara) anggota OKI adalah anggota UA, begitu juga sebaliknya. Ketika Organisasi Persatuan Afrika (OAU) bereinkarnasi menjadi UA pada 2002, Israel ditendang dari blok ini, observer diberikan ke Palestina sejak 2013.

Sejak itu, UA dan OKI memiliki posisi yang sama mendukung Palestina. Kemiripan UA dengan OKI bertambah seiring posisi sekjen OKI akan berpindah dari Arab Saudi ke Chad pada November 2021.

Chad  akan menjabat ketua Komisi UA dan sekjen OKI sekaligus, serta dikenal sekutu terdekat Israel di Afrika. Posisi Chad yang unik ini dapat menjadi kekuatan solusi jika dikelola baik. Maka itu, perpecahan di UA dapat berdampak langsung pada OKI.

 
Mencermati hubungan intim Israel dengan banyak negara Afrika, kita perlu mengantisipasi konstelasi baru di UA, OKI, dan PBB terkait Palestina.
 
 

Memberikan status pengamat kepada Israel tak hanya memecah-belah UA, tapi juga membahayakan persatuan OKI. Ini tampak dari posisi negara OKI-Afrika pada dua resolusi yang diinisiasi beberapa anggota OKI, termasuk Indonesia pascaagresi Israel terhadap Palestina. Yakni, resolusi kondisi kesehatan Palestina di World Health Assembly (sesi ke-74, 25 Mei 2021) dan resolusi penghormatan HAM di Palestina di Dewan HAM PBB (Resolusi S-30/1, 27 Mei 2021).

Meskipun mayoritas negara anggota menyepakati kedua resolusi, jelas ada peningkatan suara menentang dan abstain dari beberapa anggota OKI-Afrika, seperti Benin, Kamerun, Chad, Gabon, Guinea, Guinea-Bissau, Mali, Nigeria, Somalia, Sudan, dan Togo.

Peran Indonesia

Mencermati hubungan intim Israel dengan banyak negara Afrika, kita perlu mengantisipasi konstelasi baru di UA, OKI, dan PBB terkait Palestina.

Sebagai pendiri OKI sejak 1969 dan pengamat di UA sejak 2012, Indonesia berperan strategis  memperkuat solidaritas OKI di Afrika. Meski tak memiliki hak suara di UA, Indonesia bisa menyuarakan keberatan negara OKI-Afrika soal status Israel sebagai  pengamat di UA.

Indonesia selalu mendukung solidaritas internasional untuk perjuangan kemerdekaan Palestina. Namun, dukungan perjuangan kemerdekaan Palestina secara bilateral dan regional di Timur Tengah saja tidak cukup. Meningkatnya pengaruh Israel di Afrika justru memperkuat tesis, Afrika aktor kunci dalam menentukan masa depan Palestina. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat