Sejumlah kendaraan antre melewati penyekatan di Jalan Margonda Raya, Depok, Jawa Barat, Kamis (8/7/2021). | ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha

Opini

Berpikir Multidimensi

Kaum agamawan yang berpikir multidimensi tak menjadi angkuh.

FAHMI AMHAR, Peneliti Utama Badan Informasi Geospasial dan Anggota Ikatan Alumni Program Habibie (IABIE)

Salah satu sebab gagalnya aneka cara mengatasi pandemi, sejak Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat adalah ketika mayoritas orang berpikir dangkal.

Berpikir dangkal, sekadar memindahkan realitas ke otak tanpa berusaha mengindera hal terkait, lalu menghubungkannya dengan info lampau yang relevan. Ini bukan cuma monopoli orang awam, ternyata juga kaum agamawan, ilmuwan atau negarawan (politisi).

Sebagian agamawan berpikir dangkal ketika malas menghubungkan agama dengan sains dan politik. Bnyak ulama buta sains sehingga saat bicara sains hasilnya “ambyar”, seperti menyangkal Covid-19 adalah pandemi atau menentang vaksinasi.

 
Sebagian agamawan berpikir dangkal ketika malas menghubungkan agama dengan sains dan politik.
 
 

Sementara itu, mereka juga buta politik, sehingga sering kurang menyadari ketika dimanfaatkan oleh para petualang politik untuk mendukung mereka meraih kekuasaan. Sebagian ilmuwan berpikir dangkal ketika malas berpikir religius dan politis.

Mereka bahkan memandang, agama hanya membawa kejumudan, bukan kemajuan sains. Sementara itu, ilmuwan juga jarang yang tertarik politik, kecuali sekadar ngerumpi di warung kopi.

Bagi mereka yang penting bisa tetap berkarya, tidak peduli apakah di bawah pemerintah kolonial atau nasional, di bawah Orde Nasakom, Orde Baru atau Orde Reformasi.

Sayangnya sebagian politisi  juga berpikir dangkal, dengan malas berpikir saintifik dan religius. Akibatnya, banyak keputusan politik ‘’ambyar’’, keliru secara saintifik, syirik menurut agama, atau menzalimi umat.

 
Sayangnya sebagian politisi  juga berpikir dangkal, dengan malas berpikir saintifik dan religius. 
 
 

Bagi politisi ini, kaum agamawan hanya diperlukan untuk meraih dukungan akar rumput. Sedang kaum ilmuwan, perlu memberi legitimasi akademis pada kekuasaan. Sementara itu, banyak kalangan hartawan atau pengusaha tak peduli agama, sains maupun politik.

Mereka akan berbuat apa saja selama menghasilkan “cuan”, sekalipun tergolong syirik atau maksiat, bertentangan dengan sains, atau itu akan meningkatkan ketergantungan kepada asing.

Karena dilandasi berpikir dangkal, maka PPKM darurat di lapangan menghasilkan hal-hal yang kontraproduktif. Misalnya, maksudnya  biar orang tidak keluyuran malam-malam, terus Penerangan Jalan Umum dimatikan.

Akibatnya yang memang malam-malam perlu beli obat, jadi takut keluar. Pesan antar juga yang akan mengantar takut. Akibatnya obat telat dan pasien dalam bahaya.

Maksudnya, biar orang asing yang ‘’tidak jelas’’ tak masuk kompleks permukiman,  diportal di mana-mana. Akibatnya, kurir layanan pesan makanan atau obat daring kesulitan. Orang-orang yang isoman jadi telat mendapatkan barang yang mereka butuhkan.

 
Solusi itu bila semua perintah dan larangan tepat dapat menyelesaikan setiap problem yang terjadi dan mungkin akan terjadi secara tuntas dan manusiawi.
 
 

Selanjutnya, maksudnya biar orang tidak berkerumun di area komersial, jalan akses masuk kawasan itu dipasang barikade. Padahal, di kawasan itu juga ada klinik. Jadi orang yang mau ke klinik ikut kesulitan.

Maksudnya, biar orang tidak bepergian, jam layanan angkutan umum dibatasi. Akibatnya, justru terjadi penumpukan. Maksudnya biar orang tak berkerumun di tengah kota, semua jalan akses utama masuk kota ditutup. Akibatnya di jalan-jalan tikus terjadi kerumunan.

Inilah “memecahkan masalah tanpa solusi”.Pemerintah memang menjalankan tugasnya dengan memberi perintah dan larangan tetapi  kalau “pokoknya” memerintah dan melarang, itu bukan solusi.

Solusi itu bila semua perintah dan larangan tepat dapat menyelesaikan setiap problem yang terjadi dan mungkin akan terjadi secara tuntas dan manusiawi. Optimal secara ilmiah, melegakan secara agama.

Padahal, di era keemasan peradaban Islam, kedangkalan berpikir seperti itu tidak banyak terjadi. Orang biasa berpikir multidimensi. Pakarnya disebut polymath. Ibaratnya kita berada di dalam sebuah kubus.

Sumbu X adalah sumbu ilmiah tempat kecerdasan intelektual diasah. Sumbu Y adalah sumbu politis, di mana dibutuhkan kecerdasan emosional. Sedang sumbu Z adalah sumbu agama, di mana kecerdasan spiritual dominan.

 
Padahal, di era keemasan peradaban Islam, kedangkalan berpikir seperti itu tidak banyak terjadi. Orang biasa berpikir multidimensi. Pakarnya disebut polymath. Ibaratnya kita berada di dalam sebuah kubus.
 
 

Ketika nilai X,Y, dan Z seimbang maka agama, sains dan politik tidak saling menegasikan. Seluruh hasil pikirannya serasi. Dia berpikir mendalam, multidimensi. Kaum agamawan yang berpikir multidimensi tak menjadi angkuh.

Sekalipun dia tetap kritis pada pemerintah, tapi tetap menaati protokol kesehatan karena berdasarkan sains. Keyakinannya pada takdir tidak menjadikan dirinya egois, karena menjaga jiwa manusia adalah bagian dari maqashid syari’ah juga.

Kaum ilmuwan yang berpikir multidimensi, tak menjadi ateis baru yang “menyembah” sains. Dia menyadari, agama bisa menginspirasi teknologi, mengarahkan agar selalu manusiawi, dan tahu diri keterbatasannya.

Dan kaum negarawan yang berpikir multidimensi, akan semakin bijak, tidak memandang agama dan sains hanya pelengkap saja, namun justru pilar utama tegaknya satu peradaban, negara yang maju dan berdaulat penuh.

Bila berpikir mendalam ini dapat membawa kita merasakan kehadiran Tuhan dan benarnya janji akhirat, di segala fenomena yang kita hadapi, bahkan di tiap embusan angin atau cahaya lembut matahari, maka kita telah berpikir tercerahkan. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat